Minggu, 12 Desember 2010

Klarifikasi Hukum Nikah

Fuqaha menyebutkan bahwa pada nikah diberlakukan hukum yang lima. Sehingga bisa jadi dalam satu keadaan hukumnya wajib, pada keadaan lain hukumnya mustahab/sunnah atau hanya mubah, bahkan terkadang makruh atau haram.
Adapun hukum asal menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan riwayat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad. Sebagaimana hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama, menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyyah yang mengatakan wajib.


Nikah ini merupakan sunnah para rasul, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً


“Sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri dan anak turunan.” (Ar-Ra’d: 38)


Utsman bin Mazh’un radhiyallahu 'anhu, seorang dari sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berkata, “Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkan kami, niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar tidak memiliki syahwat terhadap wanita sehingga tidak ada kebutuhan untuk menikah, pent.). Akan tetapi beliau melarang kami dari hidup membujang (tidak menikah).” (HR. Al-Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 3390)


Bagi seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina bila tidak menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadi wajib karena syahwatnya yang kuat. Ditambah lagi bila di negerinya bebas melakukan hubungan zina. Hukum nikah baginya menjadi wajib untuk menolak mafsadat tersebut. Karena meninggalkan zina hukumnya wajib, dan kewajiban tersebut tidak akan sempurna penunaiannya kecuali dengan nikah.


Hukumnya mubah bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan harta. Mubah baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya.
Adapun orang yang tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan baginya. Karena ia tidak punya kebutuhan untuk menikah dan ia akan menanggung beban yang berat. Namun terkadang pada orang yang lemah syahwat atau tidak memiliki syahwat ini, karena usia tua atau karena impoten misalnya, diberlakukan hukum makruh tanpa membedakan ia punya harta atau tidak. Karena ia tidak dapat memberikan nafkah batin kepada istrinya, sehingga pada akhirnya dapat memudaratkan si istri.
Dan haram hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan perkara- perkara yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena, menikah disyariatkan semata-mata untuk memberikan maslahat. Kalau ada tindakan aniaya seperti ini, akan hilanglah maslahat yang diharapkan, terlebih lagi jika dia berbuat dosa dan melakukan perkara-perkara yang diharamkan.


Haram pula bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah lagi namun dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً


“Maka apabila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil (bila memiliki lebih dari satu istri) maka menikahlah dengan seorang wanita saja.” (An-Nisa`: 3)


[Bada`i’ush Shana`i’, 3/331-335, Al-Ikmal 4/524, Al-Majmu’, 17/204-205, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’, Al- Ahkamusy Syar’iyyah fil Ahwalisy Syakhshiyyah, 1/36, Asy-Syarhul Mumti’, 12/6-9)


Berikut ini ucapan sejumlah ulama dari lima mazhab [Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Zhahiriyyah] tentang hukum nikah:


 Ibnu Abidin Al-Hanafi rahimahullahu dalam Hasyiyah-nya menyatakan, nikah lebih utama daripada menyibukkan diri dengan belajar dan mengajar, dan lebih utama daripada mengkhususkan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah nafilah/sunnah. (Raddul Mukhtar ‘Alad Durril Mukhtar Syarhu Tanwiril Abshar, 4/65)


 Al-Qarafi Al-Maliki rahimahullahu berkata, “Nikah –tanpa melihat keadaan orang- orang yang menikah– hukumnya mandub (sunnah). Menurut mazhab kami (Maliki) dan menurut pendapat Asy-Syafi’i, meninggalkan nikah karena ingin mengerjakan ibadah-ibadah nafilah bagi orang yang jiwanya tidak condong kepada nikah adalah afdhal. Adapun menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, nikah lebih afdhal, karena ulama berbeda pendapat tentang kewajibannya. Minimal keadaannya adalah nikah lebih dikedepankan karena dengan nikah akan menjaga kehormatan diri sepasang suami istri, akan melahirkan anak-anak yang mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dapat membanggakan banyaknya umat beliau. Dengan demikian nikah bisa meraih maslahat-maslahat yang besar. Orang yang bisa memberikan kemanfaatan/kebaikan kepada orang lain adalah lebih utama/afdhal daripada orang yang membatasi kemanfaatan untuk dirinya sendiri. Juga, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengedepankan nikah daripada puasa sebagaimana dalam hadits:
: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ


“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060 dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu) (Adz-Dzakhirah, 4/190)


 Asy-Syairazi Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata, “Siapa yang dibolehkan untuk menikah dan jiwanya sangat berkeinginan untuk melangsungkannya sementara ia mampu memberikan mahar dan nafkah kepada wanita yang dinikahinya maka mustahab baginya untuk menikah, berdasarkan hadits Abdullah. Juga, karena dengan menikah lebih menjaga kemaluannya dan lebih menyelamatkan agamanya. Namun hukum nikah tidak sampai diwajibkan atasnya.” (Al-Muhadzdzab dengan Al-Majmu’ 17/203)


 Ibnu Qudamah Al-Hanbali rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa nikah disyariatkan. Orang-orang dalam mazhab kami berbeda pendapat tentang hukum wajibnya. Namun yang masyhur dalam mazhab ini, hukumnya tidaklah wajib kecuali bila seseorang mengkhawatirkan dirinya jatuh ke dalam perkara yang dilarang bila ia meninggalkan nikah, maka wajib baginya menjaga kehormatan dirinya. Ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha.” (Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’)


 Ibnu Hazm Azh-Zhahiri rahimahullahu berkata, “Diwajibkan kepada setiap orang yang mampu untuk jima’ bila ia mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak agar melakukan salah satunya, dan ini suatu keharusan. Namun bila ia tidak bisa mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak, hendaklah ia memperbanyak puasa.” (Al-Muhalla bil Atsar, 9/3)

Selasa, 07 Desember 2010

Fatwa Perayaan Tahun Baru Hijriyah dan Tahun Baru Masehi

Fatwa Tahun Baru Hijriyah

Tanya :
“Bagaimana hukum yang berkenaan dengan ‘ucapan selamat’ saat memasuki tahun baru hijriyah, dan bagaimana tanggapan (kita) atas mereka yang menyambut (tahun baru Hijriyah) tersebut?

Jawaban :
Jika seseorang memberikan ucapan selamat kepada anda, kemudian bereaksi terhadap dia, tetapi seseorang tersebut tidak memulainya;maka ini adalah sikap yang benar dalam kasus ini. Jika seorang laki-laki, sebagai contoh, berkata : "Kami ucapkan selamat tahun baru (hijriyah)," maka katakan, "Semoga Allah memberikan kebaikan kepada anda dan menjadikannya sebagai tahun kebaikan dan barakah." Namun, jangan engkau memulai sendiri (ucapan ini), sebab saya tidak mengetahui hal ini datang dari pendahulu (Salafus Sholih) kita, dimana mereka dulu memberi selamat satu sama lain untuk tahun baru. Bahkan, (saya) mengetahui bahwa Salaf tidak mengambil Muharram sebagai bulan pertama tahun hijriyah, kecuali setelah kepemimpinan Umar bin Khattab, semoga Allah merahmatinya. (Syaikh Muhammad Sholih Al Utsaimin)

Fatwa Tahun Baru Masehi
Lajnah Daimah atau tim ulama’ Saudi bidang fatwa dan kajian ilmiyah menyampaikan fatwa mengenai perayaan tahun baru masehi.
1. Tidak boleh hukumnya seorang Muslim yang beriman kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai agama serta Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, mengadakan perayaan-perayaan hari-hari besar yang tidak ada landasannya dalam dien Islam, termasuk diantaranya pesta 'Milenium’ rekaan. Juga, tidak boleh hadir pada acaranya, berpartisipasi dan membantu dalam pelaksanaannya dalam bentuk apapun, karena hal itu termasuk dosa dan melampaui aturan-aturan Allah.
2. Seorang Muslim tidak boleh saling tolong menolong dengan orang-orang kafir dalam bentuk apapun dalam hari-hari besar mereka.
3. Tidak boleh menjadikannya sebagai momentum-momentum yang membahagiakan atau waktu-waktu yang diberkahi, sehingga karenanya meliburkan pekerjaan, menjalin ikatan perkawinan, memulai aktifitas bisnis, membuka proyek-proyek baru dan lain sebagainya. Tidak boleh dia meyakini bahwa hari-hari seperti itu memiliki keistimewaan yang tidak ada pada hari selainnya, karena hari-hari tersebut sama saja dengan hari-hari biasa lainnya.
4. Seorang Muslim tidak boleh mengucapkan selamat terhadap hari-hari besar orang-orang kafir karena hal itu merupakan bentuk kerelaan terhadap kebatilan yang tengah mereka lakukan dan membuat mereka bergembira. Keharamannya disepakati para ulama.
5. Adalah suatu kehormatan bagi kaum Muslimin untuk berkomitmen terhadap sejarah hijrah Nabi mereka, Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang disepakati pula orang para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam secara ijma' dan mereka jadikan kalender tanpa perayaan apapun.
[Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, No. 21049, tgl. 12-08-1420]

-anshor-
7 Des '10

Kamis, 02 Desember 2010

Memberi Hadiah Kepada Orang Kafir Di Hari Raya Mereka

Seorang muslim boleh menerima hadiah dari orang kafir. Ini dilakukan sebagai bentuk ta'lif bagi mereka dan agar mereka mempunyai kecintaan terhadap islam. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah yaitu dengan menerima hadiah dari sebagian orang kafir seperti hadiah dari Muqauqis.
Demikian juga boleh bagi seorang muslim memberikan hadiah kepada orang kafir atau musyrik dengan maksud untuk ta'lif bagi mereka atau agar mereka cinta terhadap islam. Terlebih lagi orang kafir tersebut adalah saudara atau tetangga. Hal ini sebagaimana Umar bin al-Khattab memberikan hadiah kepada saudaranya yang musyrik.
Akan tetapi tidak boleh memberikan hadiah orang kafir di hari raya mereka. Karena hal tersebut dianggap sebagai pengakuan dan keikut sertaan dalam hari raya yang batil. Apabila hadiah berupa sesuatu yang membantu terhadap hari raya mereka seperti makanan, lilin atau lainnya, maka hal ini lebih diharamkan. Bahkan sebagian ahlu ilmi mengatakan bahwa hal tersebut adalah kekufuran.
Abu Hafsh al-Kabir berkata "seandainya seseorang beribadah kepada Allah selama 50 tahun kemudian mendatangi hari Nairuz (hari raya orang kafir) kemudian memberikan hadiah kepada sebagian orang kafir sebutir telur dengan maksud untuk mengagungkan hari raya tersebut maka ia telah kafir dan terhapuslah amal perbuatannya”.
Shahibul al-jami' al-ashghar berkata "apabila seorang muslim memberikan hadiah kepada saudaranya semuslim di hari raya Nairuz dan tidak bermaksud untuk mengagungkan hari tersebut maka hal ini tidak bisa mengkafirkannya. Akan tetapi sepatutnya untuk tidak melakukan hal tersebut di hari Nairuz secara khusus sehingga tidak bertasyabuh dengan mereka.
Beliau juga berkata "seseorang yang membeli sesuatu di hari Nairuz yang ia tidak membelinya sebelumnya, jika dimaksudkan dengannya mengagungkan hari tersebut dan mengagungkan orang-orang musyrik maka ia telah kafir akan tetapi kalau hanya sekedar untuk makan, minum atau hanya bersenang-senang maka tidak dikafirkan". (Fatawa al-Islam Su'al Wa Jawab, Syaikh Muhammad Shalih al-Munjid 1/6363)
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata "tidak boleh seseorang memberikan hadiah kepada seorang muslim di hari raya orang kafir lantaran hari raya tersebut, apalagi hadiah tersebut sesuatu yang dapat membantunya untuk bertasyabuh kepada orang-orang kafir" (Iqtidha' Siratil Mustaqim : 1/227).
Adapun menerima hadiah dari orang kafir di hari raya mereka tidaklah mengapa dan tidak dianggap sebagai bentuk keikutsertaan dan pengakuan terhadap pesta hari raya mereka. Akan tetapi mengambil hadiah tersebut karena bentuk kebaikan dan meniatkan untuk ta'lim atau dakwah kepada islam. Allah membolehkan untuk berbuat baik dan adil kepada orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin. Hal ini dalam surat al-Mumtahanah : 8
Berbuat baik dan adil terhadap orang kafir tidak menandakan kecintaan terhadap mereka. Karena kecintaan terhadap orang kafir tidak diperbolehkan. Al-Mumtahanah : 1, al-Mujadilah : 22
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata "adapun menerima hadiah dari orang kafir pada hari raya mereka adalah pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib beliau diberi hadiah Nairuz dan menerimanya".
Dan riwayat dari Abu Barzah bahwa beliau mendapatkan hadiah dari orang majusi di hari Nairuz dan Mahrajan lantas beliau berkata kepada keluarganya "sesuatu yang berasal dari buah-buahan maka makanlah sedangkan yang selainnya maka kembalikanlah"
Riwayat diatas menunjukkan kebolehan menerima hadiah dari orang kafir di hari raya mereka. Sehingga hukum menerima hadiah pada hari raya mereka atau hari lainnya adalah sama. Karena yang demikian tidaklah membantu syiar-syiar mereka. (Iqtidha' Siratal Mustaqim 1/251)

Kesimpulan yang bisa diambil adalah boleh menerima hadiah dari orang kafir di hari raya mereka dengan beberapa syarat :
1. Hadiah yang diterima tidak berupa sembilan yang disembelih lantaran hari raya tersebut.
2. Hadiah tersebut tidak berupa sesuatu yang dapat membantunya untuk tasyabuh kepada orang kafir di hari raya mereka seperti lilin dan lain-lain.
3. Dalam menerima hadiah disertai penjelasan tentang akidah wala' wal bara' kepada anak-anak kita sehingga tidak muncul kecintaan mereka terhadap hari raya orang kafir tersebut atau tidak adanya ketergantuangan mereka terhadap pemberi hadiah.
4. Menjadikan dakwah kepada islam sebagai tujuan dalam menerima hadiah mereka. Dan bukan karena kecintaan atau hanya sekedar basa-basi saja.
5. Apabila hadiah berupa sesuatu yang tidak boleh diterima oleh muslim maka hendaknya ditolak dengan cara halus dan menjelaskan alasan penolakan secara syar'I sehingga penolakan tersebut sekaligus sebagai dakwah kepada mereka.
(fatawa al-islam su'al wa jawab, Muhammad Shalih al-Munjid 1/6363)
Syaikh Doktor Abdullah al-Faqih berkata "boleh bagi seorang muslim menerima hadiah dari orang kafir" fatawa asy-Syubkah al-islamiyah : 4/119. boleh juga menerima hadiah berupa makanan asalkan tidak mengandung komposisi bahan yang haram. Ibid : 174/19
Imam an-nawawi menyebutkan dalam kitabnya bahwa tentang penerimaan Rasulullah hadiah dari orang kafir ada dua jalur riwayat yang seakan-akan saling bertentangan. Al-Qadhi berkata "sebagian ahlu ilmi berkata ; riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah menerima hadiah dari orang kafir telah mansukh dengan hadits-hadits yang dibawa Rasulullah tentang tidak menerimanya atau bahkan mengembalikan hadiah orang kafir kepadanya.
Adapun menurut jumhur ulama', hadits tersebut tidaklah menaskh. Sehingga Rasulullah mau menerima hadiah dari mereka yang diharapkan keislamannya adapun yang tidak diharapkan keislamannya beliau juga menolaknya. (Imam An-Nawawi syrh Imam Muslim : 6/229)

-anshor-
3 Des '10

Senin, 29 November 2010

Ilmu dulu, baru amal !

“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” (HR. Bukhari)
Demikianlah hadits yang selalu kita dengar. Tanpa terkecuali, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan kepada semua umatnya untuk belajar. Dan tentulah yang diinginkan Rasulullah adalah ilmu yang berhubungan dengan agama Islam. Ilmu yang akan membawa pemiliknya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seorang muslim yang cerdas adalah yang bijak dalam menentukan prioritas amal kehidupannya. Jika ia paham bahwa surga tidak gratis, harus dengan ibadah, dan itu pun ibadah yang Allah terima, maka ia pun harus beribadah dengan sungguh-sungguh pada Allah. Namun tidak lupa, pertama kali ia kudu mencari tahu bagaimana caranya agar ibadahnya Allah terima. Bukan asal ibadah. Sebagaimana ada orang yang beribadah, namun tidak membekali dirinya dengan ilmu mengenai ibadahnya terlebih dahulu. Ia merasa belajar tidak penting, bahkan beranggapan bahwa belajar hanya akan membuang waktu dan tenaga. Ngapain belajar, kalau mau shalat, lihat saja orang yang sedang shalat, kemudian kita contoh. Beres, selesai, simple kan? Tidak usah belajar. Makan waktu, tenaga, dan biaya. Yang penting Islam, berbuat baik tidak jahat, sudah, insya Allah masuk surga. Gak perlu ikut-ikut pengajian.!
Kasihan sekali kalau ada orang semacam itu. Coba kita perhatikan kutipan ini. Ketika salah seorang teman sujud di dalam shalatnya dengan menghamparkan tanggannya ke lantai (tangan sampai siku menempel di lantai), ia ditegur oleh temannya dan memberi tahu bahwa hal itu tidak boleh. Dia malah kebingungan, bahkan tidak percaya. Karena selama shalat puluhan tahun, baru sekarang ini ada yang menegur dan mangatakan perbuatan itu dilarang.
Contoh lain yang lebih besar dari masalah di atas pasti lebih banyak lagi. Umat Islam sendiri tidak tahu ajaran ibadahnya. Padahal syarat agar ibadah diterima Allah selain ikhlas, adalah yang sesuai dengan sunnah Rasulullah. Sedangkan ibadah yang sesuai sunnah itu sendiri adalah dapat diketahui dari belajar.
Sangat memprihatinkan memang. Terkadang kita tahu ilmu tentang sesuatu sampai sedetil-detilnya, tapi untuk permasalahan agama yang hubungannya dengan akhirat, kita tidak tahu sama sekali, walaupun hal itu kita lakukan setiap hari!! Kita ambil contoh, ada seorang bisa mempelajari masalah mesin sampai sedetil-detilnya, tapi dia tidak tahu bagaimana cara wudhu yang benar. Padahal setiap shalat harus berwudhu, lalu bagaimana dengan shalatnya ya?
Ilmu sebelum beramal sangat penting. Kita harus mengilmui apa yang akan kita amalkan. Karena kalau tidak, salah-salah kita akan terjerumus kepada bid’ah ataupun kesyirikan. Sebagaimana yang kita ketahui dari edisi pertama yang lalu.
Imam Bukhari rahimahullah pun, dalam kitab shahihnya menulis: “Bab Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.” Maksudnya, sebelum berucap dan berbuat, semuanya harus didasari dengan ilmu. Tidak asal ngomong, tidak asal ngelakoni.
Secara akal sehat, pernyataan Imam Bukhari tersebut memang benar dan logis. Misalnya dalam ilmu dunia. Bagaimana seseorang dapat menulis kalau belum pernah belajar menulis. Nah, demikian juga untuk permasalahan akhirat. Bagaimana mungkin bisa berwudhu dengan benar, sedang dia tidak pernah mau belajar berwudhu yang benar, yang berdasarkan dalil-dalil yang jelas. Bukankah orang yang mau belajar pasti lebih tahu dan lebih benar tata caranya daripada orang yang tidak pernah belajar?
Itu saja dalam masalah wudhu yang tidak beres melaksanakannya, sudah sangat merugikan pelakunya. Apa jadinya jika tidak memahami masalah aqidah? Bisa saja menjadi musuhnya Ahlus Sunnah, seperti Khowarij, Mu’tazilah, Murjiah, Qodariyah, Syi’ah, atau mubtadi’ah. Dan ini lebih berbahaya lagi !
Maka, menuntut ilmu agama adalah sebuah keniscayaan bagi semua yang beragama Islam. Laki-laki ataupun wanita, tua maupun yang muda. Hanyasanya tidak semua ilmu dalam pendidikan Islam yang diwajibkan mencarinya. Karena kalau semuanya akan dituntut, sampai akhir hayatpun tidak semuanya dapat dipelajari. Karena ilmu adalah samudera yang maha luas.
Lantas, apa yang mesti kita pelajari terlebih dahulu? Mari kita awali pembahasan “macam-macam ilmu” ini dengan menghayati nasehat Muhammad bin Al-Hasan dalam bukunya Intishar li Ahlil Hadits, hal. 31. Beliau mengatakan, “Ilmu itu empat macam. Pertama, apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya. Kedua, apa yang terdapat dalam sunah Rasulullah atau yang semacamnya. Ketiga, apa yang disepakati oleh para sahabat Nabi atau yang serupa dengannya, dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka… Keempat, apa yang diangap baik oleh para ahli fikih atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.”

-anshor-
30 Nov '10

Rabu, 17 November 2010

O..O.. SIAPA DIA...???

Siapakah orang yang paling sibuk?
Orang yang paling sibuk adalah orang yang suka menyepelekan waktu sholatnya, seolah-olah ia harus mengurus kerajaan sebesar kerajaan Nabi Sulaiman a.s

Siapakah orang yang manis senyumannya?
Orang yang mempunyai senyuman yang manis adalah orang yang ditimpa musibah lalu dia berkata "Inna lillahi wainna illaihi rajiuun." Lalu sambil berkata,"Ya Rabb, Aku ridha dengan ketentuanMu ini", sambil mengukir senyuman.

Siapakah orang yang kaya?

Orang yang kaya adalah orang yang bersyukur dengan apa yang ada dan tidak lupa akan kenikmatan dunia yang sementara ini.

Siapakah orang yang miskin?
Orang yang miskin adalah orang yang tidak puas dengan nikmat yang ada, selalu menumpuk-numpukkan harta.

Siapakah orang yang rugi?
Orang yang rugi adalah orang yang sudah sampai usia pertengahan namun masih berat untuk melakukan ibadah dan amal-amal kebaikan.

Siapakah orang yang paling cantik?
Orang yang paling cantik adalah orang yang mempunyai akhlak yang baik.

Siapakah orang yang mempunyai rumah yang paling luas?
Orang yang mempunyai rumah yang paling luas adalah orang yang mati membawa amal-amal kebaikan di mana kuburnya akan diperluaskan sejauh mata memandang.

Siapakah orang yang mempunyai rumah yang sempit lagi dihimpit?
Orang yang mempunyai rumah yang sempit adalah orang yang mati tidak membawa amal-amal kebaikan lalu kuburnya menghimpitnya.

Siapakah orang yang mempunyai akal?
Orang yang mempunyai akal adalah orang-orang yang menghuni syurga kelak
karena telah menggunakan akal sewaktu di dunia untuk menghindari siksa neraka.

-anshor-

Selasa, 16 November 2010

MENYIKAPI PERBEDAAN AROFAH DAN IDUL ADHA 1431 H, 2010 M.

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur menetapkan Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah bertepatan pada Selasa, 16 November 2010. Hari Arafah 9 Dzulhijjah bertepatan pada Senin, 15 November 2010.
Sekretaris PW Muhammadiyah Jatim Nadjib Hamid menjelaskan, kepastian ini didapat setelah pihaknya memperoleh Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 05/MLM/I.0/2010. “Dalam maklumat tersebut ditetapkan pada Minggu, 1 Dzulhijjah jatuh pada 7 November 2010. Ini karena pada saat ijtimak 29 Dhulqo’idah jatuh pada Sabtu, 6 November 2010 pukul 11.53.04 WIB.” katanya.
Tinggi hilal pada saat matahari terbenam di Yogyakarta 01 derajat 34 menit 23 detik. Selain itu, Hilal sudah wujud di Tanjung Kodok, tinggi hilal 01 derajat 27 menit, 26.11 detik. Dengan demikian, lanjut Nadjib, maka pelaksaan Hari Raya Idul Adha jatuh pada 16 November.
Sementara dalam almanak Persatuan Islam 1431 H ditetapkan bahwa 1 Dzulhijjah 1431 H bertepatan pada Senin, 8 November 2010. Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah bertepatan pada Rabu, 17 November 2010. Hari Arafah 9 Dzulhijjah bertepatan pada Selasa, 16 November 2010.
Data di atas menunjukkan bahwa Idul Adha 10 Dzulhijjah 1431 H di Indonesia berpotensi terjadi perbedaan, antara Selasa 16 November 2010 dengan Rabu 16 November 2010.
Perbedaan tersebut bukan karena berbeda hasil penghitungan, melainkan lebih disebabkan perbedaan kriteria.
Sebagaimana dimaklumi bahwa di Indonesia dikenal ada 2 kriteria umum yang digunakan oleh ormas-ormas Islam dan Badan Hisab Rukyat (BHR, terdiri dari wakil ormas dan pakar astronomi dan hisab-rukyat) sebagai perangkat Kementerian Agama. Pertama, kriteria wujudul hilal yang dianut Muhammadiyah. Menurut kriteria itu awal bulan ditandai dengan posisi bulan telah berada di atas ufuk pada saat maghrib atau bulan lebih lambat terbenam daripada matahari. Kedua, kriteria imkanurrukyat, kemungkinan bisa dirukyat yang dianut Persis dan NU (dalam hisabnya) serta BHR. Di Indonesia digunakan kesepakatan kriteria tinggi bulan minimal untuk bisa dirukyat adalah 2 derajat (walau secara astronomi dianggap terlalu rendah).
Pada saat Maghrib Sabtu 6 November 2010 (hari terjadinya ijtimak, saat bulan dan matahari segaris bujur) semua ahli sepakat menyatakan bulan telah berada di atas ufuk. Tetapi umumnya kurang dari 2 derajat. Berdasarkan kriteria wujudul hilal, hilal yang telah wujud pada 6 November itu menjadi dasar penetapan awal Dzulhijjah pada 7 November dan Idul Adha bertepatan pada Selasa 16 November 2010. Tetapi bila menggunakan kriteria imkanur rukyat (kemungkinan hilal dirukyat), hilal yang masih sangat rendah itu tidak mungkin bisa dirukyat sehingga awal Dzulhijjah sangat mungkin pada Senin 8 November dan Idul Adha bertepatan dengan Rabu 17 November 2010.
Di Arab Saudi pun tidak mungkin ada rukyat pada Sabtu 6 November 2010, sehingga awal Dzulhijjah pada Senin 8 November, wukuf diperkirakan Selasa 16 November, dan Idul Adha Rabu 17 November.
Selain perbedaan kriteria, sebab terjadinya perbedaan penetapan Idul Adha di Indonesia dipicu pula oleh perbedaan konsep Idul Adha seperti seperti Hizbut Tahrir Indonesia dan Dewan Da’wah Indonesia yang berpedoman pada penetapan hari wukuf di Arafah, namun masih menggunakan konsep hari menurut garis tanggal internasional. Menurut pendapat seperti itu hari Arafah adalah hari wukuf di Arafah (Arab Saudi) dan besoknya Idul Adha. Sedangkan pendapat umum di Indonesia hari Arafah adalah tanggal 9 Dzulhijjah, sama halnya penamaan hari Qurban 10 Dzulhijjah dan hari Tasyriq 11 – 13 Dzulhijjah yang bergantung kondisi hilal setempat.
Perbedaan di atas berimplikasi bukan saja terhadap pelaksanaan salat Iedul Adha dan waktu penyembelihan hewan kurban, melainkan terhadap seluruh aturan syariat yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya pada bulan Dzulhijjah, sebagai berikut:
A. Bagi Calon Qurbani: Makruh Memotong Rambut dan Kuku
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا. رواه مسلم
Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila masuk sepuluh hari (bulan Dzulhijjah) sedangkan ia mempunyai hewan kurban yang hendak dikurbankan (disembelih) maka janganlah memotong rambut dan kukunya. (HR. Muslim)
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ. رواه مسلم
“Apabila kalian melihat Hilal (tanggal 1) Dzulhijjah sedangkan salah seorang diantara kalian hendak berkurban maka peganglah (janganlah memotong) rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)
Secara praktik waktu pelaksanaan syariat di atas akan berbeda bergantung atas kalender mana yang dijadikan acuan. Bila mengacu pada kalender Muhamadiyah, berarti syariat diatas dilaksanakan sejak Sabtu malam saat terbenam matahari, 6 November dan Ahad 7 Nopember hingga Selasa 16 November 2010. Namun bila mengacu pada kalender Persis, berarti syariat diatas dilaksanakan sejak Ahad malam saat terbenam matahari, 7 November dan Senin 8 Nopember hingga Rabu 16 November 2010, sebelum hewan kurban disembelih.

B. Shaum Arafah
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبِلَةً ، وَصَوْمُ عَاشُوراَءَ يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً . – رواه الجماعة إلا البخاري والترمذي -
Artinya : Dari Abu Qatadah, ia berkata,”Rasulullah saw. telah bersabda,’Shaum Hari Arafah itu akan mengkifarati (menghapus dosa) dua tahun, yaitu setahun yang telah lalu dan setahun kemudian. Sedangkan shaum Asyura akan mengkifarati setahun yang lalu” (HR. al-Jama’ah kecuali al-Bukhari dan at-Tirmidzi)
Sebagaimana dimaklumi bahwa shaum Arafah disyariatkan pada 9 Dzulhijjah. Meskipun demikian, secara praktik waktu pelaksanaan shaum Arafah tahun ini akan berbeda bergantung atas kalender mana yang dijadikan acuan. Bila mengacu pada kalender Muhamadiyah, berarti shaum Arafah dilaksanakan pada Senin 15 November 2010. Namun bila mengacu pada kalender Persis, maka dilaksanakan pada Selasa 16 November 2010, ketika warga Muhamadiyah merayakan Iedul Adhha 1431 H.

C. Takbiran Iedul Adha
عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّارِ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم… وَكَانَ يُكَبِّرُ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ بَعْدَ صَلاَةَ الْغَدَاةِ وَيَقْطَعُهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ آخِرَ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ
Dari Ali dan Ammar sesungguhnya Nabi saw… dan beliau bertakbir sejak hari Arafah setelah salat shubuh dan menghentikannya pada salat Ashar di akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah). (HR. Al-Hakim, al-Mustadrak, I:439; al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra, III:312)
Hadits di atas menunjukkan bahwa bertakbir dilakukan sejak subuh 9 Dzulhijjah hingga ashar 13 dzulhijjah.
Secara praktik waktu pelaksanaan takbiran Iedul Adha tahun ini juga akan berbeda bergantung atas kalender mana yang dijadikan acuan. Bila mengacu pada kalender Muhamadiyah, berarti takbiran dilaksanakan sejak subuh Senin 15 November 2010 hingga Jumat 19 November 2010 waktu Ashar. Namun bila mengacu pada kalender Persis, maka dilaksanakan sejak subuh Selasa 16 November 2010 hingga Sabtu 20 November 2010 waktu Ashar
Dengan demikian , hendaknya ikhwatu iman memaklumi perbedaan ini dan diharapkan bersikap istiqamah, yaitu teguh pendirian dan selalu konsekuen dalam setiap tindakan. Artinya, siap menerima dan menjalankan seluruh implikasi hukum itu sesuai dengan acuan yang dipilih, bukan hanya dalam penetapan iedul Adha, sementara tanggal 1 hingga 9 Dzulhijjah menggunakan acuan yang berbeda, bahkan diabaikan.

PENDAPAT SHOUM AROFAH DAN IDHUL ADHA MENGIKUTI WUKUF
Fatwa Lajnah Daaimah, Asy-Syaikh Al-‘Ubailaan, dan Asy-Syaikh Muhammad Al-Maghrawiy tentang Puasa ‘Arafah.
Tanya :
“Apakah kami boleh berpuasa dua hari di negeri kami sini selama dua hari, yaitu untuk puasa ‘Arafah ? karena kami mendengar di radio bahwa hari ‘Arafah esok (di Saudi) bertepatan dengan tanggal delapan Dzulhijjah di sini”.
Jawab :
Hari ‘Arafah adalah hari dimana orang-orang melakukan wuquf di ‘Arafah. Dan puasa di hari tersebut disyari’atkan bagi selain orang yang menunaikan ibadah haji. Apabila engkau ingin berpuasa, maka berpuasalah pada hari ini. Jika engkau ingin berpuasa sehari sebelumnya, maka tidak mengapa. Dan jika engkau ingin sembilan hari dari awal bulan Dzulhijjah, maka itu baik, karena hari-hari itu merupakan hari-hari yang mulia yang dianjurkan untuk berpuasa berdasakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Tidak ada hari yang amal shalih dilakukan padanya lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari sepuluh ini (di bulan Dzulhijjah)’. Dikatakan : ‘Wahai Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah ?’. Beliau menjawab : ‘Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan diri dan hartanya, kemudian tidak kembali sesuatupun darinya (yaitu, orang tersebut mati syahid)’. Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy.
Wabillaahit-taufiiq, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Tanya :
“Pemerintah kami di Libya telah mengumumkan hari Rabu adalah hari ‘Arafah dan hari Kamis adalah ‘Iedul-Adlhaa; yang menyelisihi apa yang telah ditetapkan Kerajaan Saudi ‘Arabia bahwa hari ‘Arafah dan wukufnya jama’ah haji jatuh pada hari Kamis. Maka, apa hukum mengenai hal itu ?”.
Jawab :
“Alhamdulillah, wash-shalaatu ‘alaa rasuuliullah, wa ba’d :
Allah ta’ala telah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS. Al-Baqarah : 189). Dan mengenai ibadah haji, sebagaimana disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Haji itu ‘Arafah”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus-Sunan dengan sanad shahih.
Maka wajib bagi semua negeri kaum muslimin yang mengetahuinya untuk membatasinya dengan ru’yah negeri yang dituju orang-orang untuk ibadah haji, yaitu negeri Al-Haramain yang mulia.
Dan karenanya, tidak boleh bagi kalian untuk mentaati pemerintah kalian yang menjadikan ‘Ied jatuh pada hari Kamis. Dan barangsiapa yang menyembelih pada hari Kamis, maka sembelihannya itu tidak terjadi pada posisi/tempat yang syar’iy. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang orang yang menyembelih sebelum shalat ‘Ied : ‘Kambingmu itu adalah kambing yang disembelih untuk dimakan dagingnya saja (bukan kambing sembelihan kurban)’. Beliau ‘alaihish-shalaatu was-salaam bersabda : ‘Tidak ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah’. Permasalahan ini bukan seperti perselisihan dalam ru’yah hilal Ramadlaan atau Syawaal, karena puasa dan berbuka dimungkinkan untuk dilakukan di negeri manapun. Adapun hari ‘Arafah dan ‘Iedul-Adlhaa, sudah seharusnya orang-orang untuk bersatu, meskipun hanya satu bagian di waktu siang, berdasarkan ayat-ayat dan hadits. Wallaahu a’lam.

Tanya :
“Fadliilatusy-Syaikh, apakah kami boleh berpuasa ‘Arafah berdasarkan waktu setempat/lokal ataukah kami mesti mengikuti waktu Saudi, yaitu hari kedelapan Dzulhijjah jika berdasarkan waktu setempat/lokal ? Jazaakumullaahu khairan.
Jawab :
‘Arafah adalah nama gunung dimana para jama’ah haji melakukan melakukan wuquf pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah. Ia (hari ‘Arafah) merupakan hari yang satu lagi tidak berbilang. Maka, puasa yang bersamaan dengan wuqufnya jama’ah haji adalah puasa yang benar. Adapun selain itu, aku tidak mengetahui sumbernya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah”

PERNYATAAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA
Perbedaan Penetapan Idul Adha 1431 H
Sebagaimana telah diberitakan, Pemerintah RI melalui Departemen Agama telah menetapkan bahwa Idul Adha 1431 H tahun ini jatuh pada hari Rabu, 17 November 2010. Bila Idul Adha adalah 10 Dzulhijjah, maka 9 Dzulhijjah-nya atau Hari Arafah, hari dimana jamaah haji wukuf di Arafah, mestinya jatuh sehari sebelumnya, yakni 16 November 2010.
Sementara Mahkamah Agung Kerajaan Arab Saudi berdasarkan hasil ru’yah telah mengumumkan bahwa 1 Dzulhijjah jatuh bertepatan dengan tanggal 7 November 2010, maka Wukuf atau Hari Arafah (9 Dzulhijjah) jatuh pada 15 November 2010. Dengan demikian Idul Adha (10 Dzulhijjah) akan jatuh pada hari Selasa, 16 November 2010, bukan hari Rabu, 17 November 2010 seperti ketetapan Pemerintah RI.
Berkenaan dengan hal di atas, , Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
1. Bahwa bila umat Islam meyakini, bahwa pilar dan inti dari ibadah haji adalah wukuf di Arafah, sementara Hari Arafah itu sendiri adalah hari ketika jamaah haji di Tanah Suci sedang melakukan wukuf di Arafah, sebagaimana sabda Nabi saw.:
«اَلْحَجُّ عَرَفَةُ»
Ibadah haji adalah (wukuf) di Arafah. (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, al-Baihaqi, ad-Daruquthni, Ahmad, dan al-Hakim. Al-Hakim berkomentar, “Hadits ini sahih, sekalipun beliau berdua [Bukhari-Muslim] tidak mengeluarkannya.”).
Juga sabda beliau:
«فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ، وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ»

Hari Raya Idul Fitri kalian adalah hari ketika kalian berbuka (usai puasa Ramadhan), dan Hari Raya Idul Adha kalian adalah hari ketika kalian menyembelih kurban, sedangkan Hari Arafah adalah hari ketika kalian (jamaah haji) berkumpul di Arafah. (HR as-Syafii dari ‘Aisyah, dalam al-Umm, juz I, hal. 230).
Maka mestinya, umat Islam di seluruh dunia yang tidak sedang menunaikan ibadah haji menjadikan penentuan hari Arafah di tanah suci sebagai pedoman. Bukan berjalan sendiri-sendiri seperti sekarang ini. Apalagi Nabi Muhammad juga telah menegaskan hal itu. Dalam hadits yang dituturkan oleh Husain bin al-Harits al-Jadali berkata, bahwa Amir Makkah pernah menyampaikan khutbah, kemudian berkata:
«عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ e أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا»
Rasulullah saw. telah berpesan kepada kami agar kami menunaikan ibadah haji berdasarkan ru’yat (hilal Dzulhijjah). Jika kami tidak bisa menyaksikannya, kemudian ada dua saksi adil (yang menyaksikannya), maka kami harus mengerjakan manasik berdasarkan kesaksian mereka. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni. Ad-Daruquthni berkomentar, “Hadits ini isnadnya bersambung, dan sahih.”).
Hadits ini menjelaskan: Pertama, bahwa pelaksanaan ibadah haji harus didasarkan kepada hasil ru’yat hilal 1 Dzulhijjah, sehingga kapan wukuf dan Idul Adhanya bisa ditetapkan. Kedua, pesan Nabi kepada Amir Makkah, sebagai penguasa wilayah, tempat di mana perhelatan ibadah haji dilaksanakan, untuk melakukan ru’yat; jika tidak berhasil, maka ru’yat orang lain, yang menyatakan kesaksiannya kepada Amir Makkah. Berdasarkan ketentuan ru’yat global, yang dengan kemajuan teknologi informasi dewasa ini tidak sulit dilakukan, maka Amir Makkah berdasar informasi dari berbagai wilayah Islam dapat menentukan awal Dzulhijjah, Hari Arafah dan Idul Adha setiap tahunnya dengan akurat. Dengan cara seperti itu, kesatuan umat Islam, khususnya dalam ibadah haji dapat diwujudkan, dan kenyataan yang memalukan seperti sekarang ini dapat dihindari.

2. Menyerukan kepada seluruh umat Islam, khususnya di Indonesia agar kembali kepada ketentuan syariah, baik dalam melakukan puasa Arafah maupun Idul Adha 1431 H, dengan merujuk pada ketentuan ru’yat untuk wuquf di Arafah, sebagaimana ketentuan hadits di atas.

3. Menyerukan kepada umat Islam di Indonesia khususnya untuk menarik pelajaran dari peristiwa ini, bahwa demikianlah keadaan umat bila tidak bersatu. Umat akan terus berpecah belah dalam berbagai hal, termasuk dalam perkara ibadah. Bila keadaan ini terus berlangsung, bagaimana mungkin umat Islam akan mampu mewujudkan kerahmatan Islam yang telah dijanjikan Allah? Karena itu, perpecahan ini harus dihentikan. Caranya, umat Islam harus bersungguh-sungguh, dengan segala daya dan upaya masing-masing, untuk berjuang bagi tegaknya kembali Khilafah Islam. Karena hanya khalifah saja yang bisa menyatukan umat. Untuk perjuangan ini, kita dituntut untuk rela berkorban, sebagaimana pelajaran dari peristiwa besar yang selalu diingatkan kepada kita, yaitu kesediaan Nabi Ibrahim as. memenuhi perintah Allah mengorbankan putranya, Ismail as. Keduanya, dengan penuh tawakal menunaikan perintah Allah SWT itu, meski untuk itu mereka harus mengorbankan sesuatu yang paling dicintai. Allah berfirman:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ[
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyeru kalian demi sesuatu yang dapat memberikan kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfal [8]: 24).
Wassalam,
Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismailyusanto@gmail.com

PENDAPAT SHOUM AROFAH DAN IDHUL ADHA MENGIKUTI HILAL NEGRI MASING-MASING

Oelh Ibnu Mukhtar
Wukuf Bukan Muqaddamah Wujud
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Idul Adha ditetapkan berdasarkan waktu wukuf di Arafah. Dengan perkataan lain wukuf itu sebagai standar penetapan Iedul Adha. Istinbath ini ditetapkan berdasarkan sabda Nabi saw. tentang shaum ‘Arafah dalam hadis Abu Qatadah al-Anshari:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
Berdasarkan penamaan shaum ini dengan “shaumu yaumi ‘arafah” maka dipahami bahwa shaum Arafah itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah. Karena Idul Adha didahului oleh shaum hari Arafah, maka Idul Adha pun ditetapkan berdasarkan wukuf di Arafah itu.
Hemat kami, istinbath demikian tidak tepat dilihat dari beberapa aspek:
1. Latar belakang penamaan Arafah
Ibnu Abidin menjelaskan:
عَرَفَةُ إِسْمُ اليَوْمِ وَعَرَفَاتُ إِسْمُ المَكَانِ
“Arafah adalah ismul yaum (nama hari) dan Arafaat adalah ismul makan (nama tempat)” Hasyiah Raddil Mukhtar, II:192
Menurut Imam ar-Raghib, al-Baghawi, dan al-Kirmani Arafah adalah
إِسْمٌ لِلْيَوْمِ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الحِجَّةِ
“Nama hari ke-9 dari bulan Dzulhijjah.”
Hari tersebut dinamakan Arafah berkaitan dengan peristiwa mimpinya Nabi Ibrahim yang diperintah untuk menyembelih anaknya. Pada pagi harinya
فَعَرَفَ أَنَّهُ مِنَ اللهِ فَسُمِّيَ يَوْمَ عَرَفَةَ
“Maka ia mengenal/mengetahui bahwa mimpi itu benar-benar (datang) dari Allah. Maka (hari itu) dinamakan hari Arafah”. Lihat, al-Mughni, III:58
Menurut Imam al-‘Aini dan ar-Raghib Arafat adalah
عَلَمٌ لِهذَا المَكَانِ المَخْصُوصِ
“Nama bagi tempat yang khusus ini.” (Lihat, Umdatul Qari, I:263; dalam redaksi ar-Raghib: buq’ah makhshushah [tanah/daerah yang khusus] Lihat, al-Mufradat fi Gharibil Quran, hal. 969)
Adapun tempat tersebut dinamakan Arafah berkaitan dengan peristiwa ta’arufnya antara Nabi Adam dan Hawa ditempat itu, sebagaimana dijelaskan Ibnu Abas
وَتَعَارَفَا بِعَرَفَاتِ فَلِذلِكَ سُمِّيَتْ عَرَفَاتِ
“Dan keduanya ta’aruf di Arafat, karena itu dinamai ‘Arafat.” (Lihat, al-Kamil fit Tarikh, I:12). Keterangan Ibnu Abas itu dijadikan pinjakan oleh para ulama, antara lain Yaqut bin Abdullah al-Hamuwi dalam Mu’jam al-Buldan (IV:104), Ahmad bin Yahya bin al-Murtadha, dalam at-Taj al-Madzhab li Ahkam al-Madzhab, (II:89); ar-Raghib al-Ashfahani dalam al-Mufradat fi Gharibil Quran (hal. 969).
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa
a. Penamaan Arafah, baik sebagai ismul yaum maupun ismul makan, sudah digunakan sebelum disyariatkan ibadah haji.
b. Penamaan Arafah bukan karena fi’lun (wukuf dalam ibadah haji). Dengan perkataan lain, fi’lun (wukuf dalam ibadah haji) bukan muqaddamah wujud penamaan Arafah.

2. Latar belakang penamaan Shaum dengan Arafah
Nabi menyatakan:
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ
Kalimat Yaum Arafah disebut idhafah bayaniyyah, yakni bayan zamani (keterangan waktu), bukan idhafah makaniyyah, apalagi idhafah fi’liyyah. Berdasarkan latar belakang penamaan di atas maka struktur kalimat Shaum Yaum Arafah harus dipahami “Shaum pada hari ke-9 bulan Dzulhijjah yang disebut hari Arafah” Dengan demikian, penyandaran kata shaum pada kalimat Yaum ‘Arafah untuk menunjukkan bahwa Yaum Arafah (hari ke-9) itu sebagai muqaddamah wujud, yaitu syarat sahnya shaum tersebut. Dengan perkataan lain, shaum itu terikat oleh miqat zamani (ketentuan waktu). Apabila struktur kalimat Shaum Yaum Arafah akan dipahami bahwa “shaum itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah”, maka harus disertakan qarinah (keterangan pendukung), karena cara pemahaman seperti ini khilaful qiyas (menyalahi kaidah), dalam hal ini kaidah tentang idhafah bayan zamani, juga dalil-dalil tentang shaum itu. Karena dalam berbagai hadis untuk shaum ini digunakan beberapa sebutan, yaitu:
1) Tis’a Dzilhijjah (9 Dzulhijjah)
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ r قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ r يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ– رواه أبو داود وأحمد والبيهقي -
Dari sebagian istri Nabi saw., ia berkata, “Rasulullah saw. shaum tis’a Dzilhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan” H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz VI:418, No. 2081; Ahmad, Musnad Ahmad, 45:311, No. 21302, 53:424. No. 25263, dan al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:285, Syu’abul Iman, VIII:268
Dalam hadis ini disebut dengan lafal Tis’a Dzilhijjah, yang berarti tanggal 9 Dzulhijjah. Hadis ini memberikan batasan miqat zamani (ketentuan waktu pelaksanaan) shaum ini, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah.

2) Shaum al-‘Asyru
عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ : أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُولُ اللهِ e : صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَ العَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلغَدَاةِ – رواه أحمد و النسائي -
Dari Hafshah, ia berkata,” Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. : shaum Asyura, shaum arafah, shaum tiga hari setiap bulan dan dua rakaat qabla subuh.”.H.r. Ahmad, al-Musnad, X : 167. No. 26521 dan an-Nasai, Sunan an-Nasai, II : 238
Kata al-‘Asyru secara umum menunjukkan jumlah 10 hari. Berdasarkan makna umum itu, maka dapat dipahami dari hadis tersebut bahwa Rasul tidak pernah meninggalkan shaum 10 hari bulan Dzulhijjah. Namun pemahaman itu jelas bertentangan dengan ketetapan Nabi sendiri yang melarang shaum pada hari Iedul Adha (10 Dzulhijjah) (Hr. An-Nasai, as-Sunan al-Kubra, II:150) serta penjelasan Aisyah “Aku sama sekali tidak pernah melihat Nabi shaum pada 10 (Dzulhijjah)” (H.r. Muslim)
Dengan demikian kata al-Asyru pada hadis ini sama maksudnya dengan Tis’a Dzilhijjah pada hadis di atas. Adapun penamaan shaum tanggal 9 Dzulhijjah dengan al-‘Asyru, karena hari pelaksanaan shaum tersebut termasuk pada hari-hari al-‘Asyru (10 hari pertama bulan Dzulhijjah) yang agung sebagaimana dinyatakan Rasul dalam hadis sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلعم وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ – رواه الترمذي
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya ia berkata, ‘Rasulullah saw. Bersabda, ‘Tidak ada dalam hari-hari yang amal shalih padanya lebih dicintai Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini. Para sahabat bertanya, ‘(apakah) jihad fi Sabilillah juga tidak termasuk? Rasul menjawab, ‘Tidak, kecuali seseorang yang berkorban dengan jiwanya dan hartanya kemudian dia tidak mengharapkan apa-apa darinya.’ Hr. At-Tirmidzi, Tuhfah al-Ahwadzi, III: 463
Selain itu penamaan tersebut menunjukkan bahwa hari ‘Arafah itu hari yang paling agung di antara hari-hari yang sepuluh itu, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi saw.
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يَعْتِقَ اللهُ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ المَلاَئِكَةُ فَيَقُولُ : مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟ – رواه مسلم -
“Tiada hari yang Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari neraka melebihi hari Arafah, dan bahwa Ia dekat. Kemudian malaikat merasa bangga dengan mereka, mereka (malaikat) berkata, ‘Duhai apakah gerangan yang diinginkan mereka?’.” (Lihat, Shahih Muslim, I : 472)
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa
a) Penamaan Shaum itu dengan yaum Arafah, Tis’a Dzilhijjah, dan al-Asyru menunjukkan bahwa pelaksanaan shaum tersebut terikat oleh miqat zamani (tanggal 9 Dzulhijjah)
b) Penamaan shaum Arafah bukan karena fi’lun (wukuf dalam ibadah haji). Dengan perkataan lain, fi’lun (wukuf dalam ibadah haji) bukan muqaddamah wujud disyariatkannya shaum Arafah. Karena itu, penamaan tersebut tidak dapat dijadikan dalil bahwa waktu shaum itu harus bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah.

Untuk lebih mempertegas bahwa waktu shaum itu tidak disyaratkan harus bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, maka kita kaji berdasarkan Tarikh Tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha.

3. Tarikh Tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah saw. datang ke Madinah, dan mereka mempunyai dua hari yang mereka bermain-main pada keduanya pada masa jahiliyyah. Maka beliau bersabda, ‘Sungguh Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Adha dan Hari Fitri’.” H.r. Ahmad, Musnad Ahmad, XXIV:114, No. 11568; Abu Daud, Sunan Abu Daud, III:353, No. 959. Dan redaksi di atas versi Ahmad.
Sehubungan dengan hadis itu para ulama menerangkan bahwa Ied yang pertama disyariatkan adalah Iedul Fitri, kemudian Iedul Adha. Keduanya disyariatkan pada tahun ke-2 hijrah. (Lihat, Shubhul A’sya, II:444; Bulughul Amani, juz VI:119; Subulus Salam, I:60)
Dalam hal ini para ulama menerangkan:
وَإِنَّمَا كَانَ يَوْمُ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عِيدًا لِجَمِيعِ هَذِهِ الْأُمَّةِ إشَارَةً لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ قَبْلَهُ كَمَا أَنَّ يَوْمَ النَّحْرِ هُوَ الْعِيدُ الْأَكْبَرُ لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ قَبْلَهُ إذْ لَا يَوْمَ يُرَى أَكْثَرُ عِتْقًا مِنْهُ
“Yaum fitri dari Ramadhan (ditetapkan) sebagai ied bagi semua umat ini tiada lain sebagai isyarat karena banyaknya pembebasan (dari neraka), sebagaimana hari Nahar, yang dia itu ied akbar, karena banyaknya pembebasan (dari nereka) pada hari Arafah sebelum Iedul Adha. Karena tidak ada hari yang dipandang lebih banyak pembebasan daripada hari itu (Arafah)” (Lihat, Hasyiah al-Jumal, VI:203; Hasyiah al-Bajirumi ‘alal Manhaj, IV:235)
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Shaum Arafah mulai syariatkan bersamaan dengan Iedul Adha, yaitu tahun ke-2 hijriah. Keduanya disyariatkan setelah syariatkannya Shaum Ramadhan dan Iedul Fitri pada tahun yang sama.
Adapun ibadah haji (termasuk di dalamnya wukuf di Arafah) mulai disyariatkan pada tahun ke-6 hijriah sebagaimana dinyatakan oleh Jumhur ulama (lihat, Fathul Bari, III:442). Namun menurut Ibnu Qayyim disyariatkan tahun ke-9/ke-10 Hijriah. (lihat, Zaadul Ma’ad, II:101, Manarul Qari, III:64)
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa
a. Waktu tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha lebih dahulu daripada tasyri’ wukuf di Arafah.
b. Wukuf di Arafah bukan muqaddamah wujud shaum Arafah dan Iedul Adha.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan “Istinbat bahwa waktu shaum Arafah dan Iedul Adha harus berdasarkan standard pelaksanaan wukuf di Arafah” tidak berdasarkan dalil dan thuruqul istinbath yang jelas.

MA’LUMAT MA’HAD ‘ALY AN-NUUR
Sehubungan dengan pelaksanaan Shaum Arafah dan Hari Raya Idul Adha, Pengurus Ma’had ‘Aly An-Nuur Waru Baki Sukoharjo menyampaikan maklumat sebagai berikut :

1. Firman Allah Ta’ala :

يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah : "Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (Qs. Al-Baqarah:189)

2. Hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam :

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً فَلاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“(Hitungan) bulan itu adalah 29 malam, maka janganlah kamu melakukan shiyam kecuali sampai kamu melihat hilal, dan jika tidak nampak olehmu maka genapkanlah menjadi tiga puluh.” (Shahih Bukhari, hadits no. 1907; Shahih Muslim, hadits no. 1080; dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu)

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Shiyam dilaksanakan pada hari kamu (umat Islam) melaksanakan shiyam, idul fithri dilaksanakan pada hari kamu (umat Islam) beridul fithri, dan idul adha dilaksanakan pada hari kamu (umat islam) beridul adha.” (Sunan Tirmidzi, hadits no. 697; Sunan Abu Daud, hadits no. 2324; Sunan Ibnu Majah, hadits no.1660; dari sahabat Abu Hurairah. Shahih menurut Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, hadits no. 224).
Imam Tirmidzi berkata : “Hadits ini ditafsirkan oleh sebagian ahlul ilmi, bahwa maknanya adalah pelaksanaan shiyam dan berbuka dilakukan bersama komunitas dan kebanyakan manusia.” (Sunan Tirmidzi, II/163, Darul Fikr, 1414-1994)

3. Pendapat dan Fatwa Ulama’.

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728 H.)

قال : يصومون التاسع في الظاهر المعروف عند الجماعة، وإن كان في نفس الأمر يكون عاشراً، ولو قدر ثبوت تلك الرؤية. فان فـي السنن عن أبي هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم أنه قال : (( صومكم يوم تصومون ، وفطركم يوم تفطرون ، وأضحاكم يوم تضحون )) أخرجه أبو داود، وابن ماجه، والترمذي وصححه. وعن عائشة - رضي الله عنها - أنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( الفطر يوم يفطر الناس ، والأضحى يوم يضح الناس )) رواه الترمذي ، وعلى هذا العمل عند أئمة المسلمين كلهم.

وقال : وصوم اليوم الذي يشك فيه : هل هو تاسع ذي الحجة ؟ أو عاشر ذي الحجة ؟ جائز بلا نزاع بين العلماء ..

“Mereka hendaknya melaksanakan shiyam pada tanggal sembilan dzulhijjah seperti yang nampak lagi diketahui oleh kebanyakan orang, bisa jadi sebenarnya itu tanggal sepuluh, jika perkiraan hasil rukyah sudah dipastikan. Karena sesungguhnya di dalam kitab-kitab As-Sunan disebutkan, bersumber dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda : ((Pelaksanaan shiyam kamu jatuh pada hari kamu shiyam. Pelaksanaan idul fithri kamu jatuh pada hari kamu beridul fithri. Pelaksanaan idul adha kamu jatuh pada hari kamu beridul adha)). Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan dinyatakan shahih olehnya. Dan juga hadits yang bersumber dari Aisyah radhiyallâhu anha bahwasanya dia berkata : Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda : ((Idul fithri itu jatuh pada hari (kebanyakan) manusia beridul fithri, dan idul adha itu jatuh pada hari (kebanyakan) manusia beridul adha)). Diriwayatkan oleh Tirmidzi. Dan berdasarkan amalan inilah para a’immatul muslimin seluruhnya melaksanakan.” (Majmu’ Fatawa, XXV/202)

“Dan shiyam yang dilakukan pada hari yang diragukan kepastian harinya, apakah pada tanggal sembilan atau sepuluh dzulhijjah ? Shiyam tersebut boleh dilakukan tanpa ada pertentangan di antara para ulama’.” (Majmu’ Fatawa, XXV/203)

2. Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (Mufti Kerajaan Arab Saudi)

قال : والذي يظهر لي أن اختلافها لا يؤثر ، وأن الواجب هو العمل برؤية الهلال صوماً وإفطاراً وتضحية متى تثبت رؤيته ثبوتاً شرعياً في أي بلد ما ؛ لعموم الأحاديث ..

وقال : وإذا قلنا باعتبار اختلاف المطالع في الحكم أو لم نقل به ، فالظاهر أن الحكم في رمضان والأضحى سواء ، لا فرق بينهما فيما أعلمه من الشرع .

“Dan yang kuat menurut saya adalah adanya perbedaan terbitnya hilal tidak berpengaruh kepada keabsahannya sebagai sandaran hukum. Dan yang wajib adalah bersandar kepada rukyah hilal dalam masalah shiyam, idul fithri dan idul adha, yaitu tatkala rukyah sudah diputuskan secara syar’i, di negeri manapun juga; berdasarkan keumumam hadits-hadits rukyah.”
“Dan apabila kita berpendapat bahwa perbedaan terbitnya hilal itu sah sebagai sandaran hukum ataupun tidak, yang jelas hukum dalam menentukan Ramadhan dan Idul Adha ini adalah sama, tidak ada perbedaan di antara keduanya, sepanjang yang saya ketahui dari dalil-dalil syari’i.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Bâz, XV/79)

3. Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin.

سئل فضيلة الشيخ ـ رحمه الله تعالى ـ :
إذا اختلف يوم عرفة نتيجة لاختلاف المناطق المختلفة في مطالع الهلال فهل نصوم تبع رؤية البلد التي نحن فيها أم نصوم تبع رؤية الحرمين

فأجاب فضيلته بقوله : هذا يبنى على اختلاف أهل العلم : هل الهلال واحد في الدنيا كلها أم هو يختلف باختلاف المطالع ؟ والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع، فمثلاً إذا كان الهلال قد رؤي بمكة، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد. وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة، هذا هو القول الراجح، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول : « إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا » وهؤلاء الذين لم يُر في جهتهم لم يكونوا يرونه، وكما أن الناس بالإجماع يعتبرون طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها، فكذلك التوقيت الشهري يكون كالتوقيت اليومي.

وقال : وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه ، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه

Syaikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Bila hari Arofah itu berbeda dikarenakan perbedaan negara dalam melihat hilal. Apakah kita shaum mengikuti rukyah hilal di negeri kita tinggal, ataukah mengikuti rukyah Haramain?”
Beliau menjawab, “Hal ini berdasar pada perselisihan ulama, “Apakah hilal di dunia itu satu ataukah berbeda sebagaimana perbedaan mathla’ (terbitnya hilal)? Dan yang benar, bahwa hal itu bisa berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’. Contoh mudah, bila hilal telah dilihat di Makkah dan ketika itu hari ke-9, tapi di negeri lain terlihatnya sehari sebelum Makkah, dan hari Arafah menurut negeri itu adalah hari ke-10, maka tidak boleh bagi mereka shaum pada hari ini karena sudah hari ied. Demikian juga bila diperkirakan rukyah mereka lebih lambat daripada Makkah, yang menurut mereka hari ke-9 di Makkah adalah hari ke-8 di negeri mereka. Maka hendaknya mereka shaum pada hari ke-9 menurut mereka dan hari ke-10 menurut Makkah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallah bersabda, “Bila kalian melihatnya (rukyah hilal) maka shaum, dan bila kalian melihatnya (rukyah hilal) maka berbukalah.” Dan di negeri mereka yang belum terlihat hilal, tentunya mereka belum melihatnya. Sebagaimana berdasarkan ijma’ jika manusia menjadikan terbitnya fajar dan terbenamnya matahari sebagai patokan berdasarkan masing-masing negeri dan tempat, maka begitu juga dengan hitungan waktu perbulan, sama dengan hitungan waktu perhari.” (Fatawa wa Rasa’il Ibnu Utsaimin, XX/47-48)
Beliau juga pernah memfatwakan, “Berdasarkan ini semua, maka lakukanlah shiyam dan idul fithri seperti yang dilakukan oleh penduduk negeri yang kamu tempati, walaupun (rukyah negeri lain) bisa sama atau berbeda dengan rukyah negeri yang kamu tempati. Dan begitu juga hari Arafah, ikuti saja negeri yang kamu bertempat tinggal di dalamnya.” (Fatawa wa Rasa’il Ibnu Utsaimin, XIX/41)

4. Hasil keputusan Dewan Itsbat tentang rukyah hilal yang memutuskan tidak terlihatnya hilal Dzulqa’dah .

Maka kami menetapkan bahwa shaum Arafah jatuh pada hari Selasa, 09 Dzulhijjah 1431 H, bertepatan dengan tanggal 16 November 2010. Dan Iedul Adha 1431 H. jatuh pada hari Rabu, 10 Dzulhijjah 1431 H., bertepatan pada tanggal 17 November 2010.
Demikian maklumat ini kami sampaikan, semoga menjadi perhatian bagi kita semua.

Sukoharjo, 5 Dzulhijjah 1431H.
Mudir Ma’had ‘Aly An-Nuur,
Ust. Imtihan Asy Syafi’i, M.IF

-anshorullah-

Reference Website terkait:
1. http://rendyasylum.wordpress.com/2010/11/08/penentuan-shaum-arafah-dan-iedul-adha-berdasarkan-wukuf/
2. Fatwa dari Asy-Syaikh Dr. Muhammad Al-Maghrawiy hafidhahullah http://www.darcoran.org/?taraf=fatawi&file=displayfatawi&id=119
3. http://hizbut-tahrir.or.id/2010/11/12/perbedaan-penetapan-idul-adha-1431-h/
4. Fatwa dari Asy-Syaikh Al-‘Ubailaan hafidhahullah
http://kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=97989
5. Fatwa Lajnah Daaimah 10/393, ketua : ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Baaz, anggota : ‘Abdullah bin Ghudayaan - http://dean4me.com/play-130.html
6. http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/11/fatwa-lajnah-daaimah-asy-syaikh-al.html

Minggu, 14 November 2010

MA’LUMAT MA’HAD ALY AN-NUUR TENTANG SHOUM AROFAH & IDUL ADLHA 1431 H

Sehubungan dengan pelaksanaan Shaum Arafah dan Hari Raya Idul Adha, kami Pengurus Ma’had ‘Aly An-Nuur Waru Baki Sukoharjo menyampaikan maklumat sebagai berikut :



1. Firman Allah Ta’ala :

يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah : "Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (Qs. Al-Baqarah:189)



2. Hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam :

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً فَلاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ

Artinya : “(Hitungan) bulan itu adalah 29 malam, maka janganlah kamu melakukan shiyam kecuali sampai kamu melihat hilal, dan jika tidak nampak olehmu maka genapkanlah menjadi tiga puluh.” (Shahih Bukhari, hadits no. 1907; Shahih Muslim, hadits no. 1080; dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu)

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

Artinya : “Shiyam dilaksanakan pada hari kamu (umat Islam) melaksanakan shiyam, idul fithri dilaksanakan pada hari kamu (umat Islam) beridul fithri, dan idul adha dilaksanakan pada hari kamu (umat islam) beridul adha.” (Sunan Tirmidzi, hadits no. 697; Sunan Abu Daud, hadits no. 2324; Sunan Ibnu Majah, hadits no.1660; dari sahabat Abu Hurairah. Shahih menurut Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, hadits no. 224).

Imam Tirmidzi berkata : “Hadits ini ditafsirkan oleh sebagian ahlul ilmi, bahwa maknanya adalah pelaksanaan shiyam dan berbuka dilakukan bersama komunitas dan kebanyakan manusia.” (Sunan Tirmidzi, II/163, Darul Fikr, 1414-1994)



3. Pendapat dan Fatwa Ulama’.

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728 H.)

قال : يصومون التاسع في الظاهر المعروف عند الجماعة، وإن كان في نفس الأمر يكون عاشراً، ولو قدر ثبوت تلك الرؤية. فان فـي السنن عن أبي هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم أنه قال : (( صومكم يوم تصومون ، وفطركم يوم تفطرون ، وأضحاكم يوم تضحون )) أخرجه أبو داود، وابن ماجه، والترمذي وصححه. وعن عائشة - رضي الله عنها - أنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( الفطر يوم يفطر الناس ، والأضحى يوم يضح الناس )) رواه الترمذي ، وعلى هذا العمل عند أئمة المسلمين كلهم.

وقال : وصوم اليوم الذي يشك فيه : هل هو تاسع ذي الحجة ؟ أو عاشر ذي الحجة ؟ جائز بلا نزاع بين العلماء ..

Mereka hendaknya melaksanakan shiyam pada tanggal sembilan dzulhijjah seperti yang nampak lagi diketahui oleh kebanyakan orang, bisa jadi sebenarnya itu tanggal sepuluh, jika perkiraan hasil rukyah sudah dipastikan. Karena sesungguhnya di dalam kitab-kitab As-Sunan disebutkan, bersumber dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda : ((Pelaksanaan shiyam kamu jatuh pada hari kamu shiyam. Pelaksanaan idul fithri kamu jatuh pada hari kamu beridul fithri. Pelaksanaan idul adha kamu jatuh pada hari kamu beridul adha)). Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan dinyatakan shahih olehnya. Dan juga hadits yang bersumber dari Aisyah radhiyallâhu anha bahwasanya dia berkata : Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda : ((Idul fithri itu jatuh pada hari (kebanyakan) manusia beridul fithri, dan idul adha itu jatuh pada hari (kebanyakan) manusia beridul adha)). Diriwayatkan oleh Tirmidzi. Dan berdasarkan amalan inilah para a’immatul muslimin seluruhnya melaksanakan.” (Majmu’ Fatawa, XXV/202)

Dan shiyam yang dilakukan pada hari yang diragukan kepastian harinya, apakah pada tanggal sembilan atau sepuluh dzulhijjah ? Shiyam tersebut boleh dilakukan tanpa ada pertentangan di antara para ulama’.” (Majmu’ Fatawa, XXV/203)



1. Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (Mufti Kerajaan Arab Saudi)

قال : والذي يظهر لي أن اختلافها لا يؤثر ، وأن الواجب هو العمل برؤية الهلال صوماً وإفطاراً وتضحية متى تثبت رؤيته ثبوتاً شرعياً في أي بلد ما ؛ لعموم الأحاديث ..

وقال : وإذا قلنا باعتبار اختلاف المطالع في الحكم أو لم نقل به ، فالظاهر أن الحكم في رمضان والأضحى سواء ، لا فرق بينهما فيما أعلمه من الشرع .

“Dan yang kuat menurut saya adalah adanya perbedaan terbitnya hilal tidak berpengaruh kepada keabsahannya sebagai sandaran hukum. Dan yang wajib adalah bersandar kepada rukyah hilal dalam masalah shiyam, idul fithri dan idul adha, yaitu tatkala rukyah sudah diputuskan secara syar’i, di negeri manapun juga; berdasarkan keumumam hadits-hadits rukyah.”

“Dan apabila kita berpendapat bahwa perbedaan terbitnya hilal itu sah sebagai sandaran hukum ataupun tidak, yang jelas hukum dalam menentukan Ramadhan dan Idul Adha ini adalah sama, tidak ada perbedaan di antara keduanya, sepanjang yang saya ketahui dari dalil-dalil syari’i.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Bâz, XV/79)



1. Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin.

سئل فضيلة الشيخ ـ رحمه الله تعالى ـ : إذا اختلف يوم عرفة نتيجة لاختلاف المناطق المختلفة في مطالع الهلال فهل نصوم تبع رؤية البلد التي نحن فيها أم نصوم تبع رؤية الحرمين ؟

فأجاب فضيلته بقوله : هذا يبنى على اختلاف أهل العلم : هل الهلال واحد في الدنيا كلها أم هو يختلف باختلاف المطالع ؟ والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع، فمثلاً إذا كان الهلال قد رؤي بمكة، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد. وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة، هذا هو القول الراجح، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول : « إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا » وهؤلاء الذين لم يُر في جهتهم لم يكونوا يرونه، وكما أن الناس بالإجماع يعتبرون طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها، فكذلك التوقيت الشهري يكون كالتوقيت اليومي.

وقال : وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه ، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه

Syaikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Bila hari Arofah itu berbeda dikarenakan perbedaan negara dalam melihat hilal. Apakah kita shaum mengikuti rukyah hilal di negeri kita tinggal, ataukah mengikuti rukyah Haramain?”

Beliau menjawab, “Hal ini berdasar pada perselisihan ulama, “Apakah hilal di dunia itu satu ataukah berbeda sebagaimana perbedaan mathla’ (terbitnya hilal)? Dan yang benar, bahwa hal itu bisa berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’. Contoh mudah, bila hilal telah dilihat di Makkah dan ketika itu hari ke-9, tapi di negeri lain terlihatnya sehari sebelum Makkah, dan hari Arafah menurut negeri itu adalah hari ke-10, maka tidak boleh bagi mereka shaum pada hari ini karena sudah hari ied. Demikian juga bila diperkirakan rukyah mereka lebih lambat daripada Makkah, yang menurut mereka hari ke-9 di Makkah adalah hari ke-8 di negeri mereka. Maka hendaknya mereka shaum pada hari ke-9 menurut mereka dan hari ke-10 menurut Makkah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallah bersabda, “Bila kalian melihatnya (rukyah hilal) maka shaum, dan bila kalian melihatnya (rukyah hilal) maka berbukalah.” Dan di negeri mereka yang belum terlihat hilal, tentunya mereka belum melihatnya. Sebagaimana berdasarkan ijma’ jika manusia menjadikan terbitnya fajar dan terbenamnya matahari sebagai patokan berdasarkan masing-masing negeri dan tempat, maka begitu juga dengan hitungan waktu perbulan, sama dengan hitungan waktu perhari.” (Fatawa wa Rasa’il Ibnu Utsaimin, XX/47-48)

Beliau juga pernah memfatwakan, “Berdasarkan ini semua, maka lakukanlah shiyam dan idul fithri seperti yang dilakukan oleh penduduk negeri yang kamu tempati, walaupun (rukyah negeri lain) bisa sama atau berbeda dengan rukyah negeri yang kamu tempati. Dan begitu juga hari Arafah, ikuti saja negeri yang kamu bertempat tinggal di dalamnya.” (Fatawa wa Rasa’il Ibnu Utsaimin, XIX/41)



1. 4. Hasil keputusan Dewan Itsbat tentang rukyah hilal yang memutuskan tidak terlihatnya hilal Dzulqa’dah .

Maka kami menetapkan bahwa shaum Arafah jatuh pada hari Selasa, 09 Dzulhijjah 1431 H, bertepatan dengan tanggal 16 November 2010. Dan Iedul Adha 1431 H. jatuh pada hari Rabu, 10 Dzulhijjah 1431 H., bertepatan pada tanggal 17 November 2010.

Demikian maklumat ini kami sampaikan, semoga menjadi perhatian bagi kita semua.



Sukoharjo, 5 Dzulhijjah 1431H.


Mudir Ma’had ‘Aly An-Nuur,


Ust. Imtihan Asy Syafi’i, M.IF

Rabu, 10 November 2010

Bukan orang baik yang nggak paham ilmu Agama

“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapat kebaikan, maka Allah jadikan dia paham agama ini.”
Hadits di atas barangkali jarang kita dengarkan, atau malah baru pertama kali. Tapi tidak mengapa, karena tidak ada yang perlu disesali jika waktu usia kita dahulu sudah berusaha mencari ilmu, namun belum ketemu ilmu mana yang benar, yang sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Semoga sampai saat ini pun, kita masih tetap mencari ilmu yang sesuai dengan sunnah yang benar, merujuk pada pemahaman Salafus sholeh, Ahlus Sunnah Waljama’ah.
Jika kita perhatikan sabda Rasulullah saw di atas, maka jelaslah bahwa orang yang Allah taqdirkan menjadi orang baik dan senantiasa mendapat kebaikan adalah orang yang Allah berikan kepadanya ilmu agama.
Kita perhatikan apa yang disampaikan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullah dalam kitabnya, Fathul Bari (I/222). Beliau mengatakan, “Dari hadits ini dapat dipahami, bahwa orang-orang yang tidak paham agama dan dasar-dasarnya, ia tidak akan mendapat kebaikan sedikitpun.”
Kita setuju dengan yang beliau sampaikan. Bahwa tidak bisa dikatakan orang muslim yang baik, manakala ia tidak mengetahui ilmu tentang agamanya. Alasannya adalah, karena muslim yang baik adalah jika ia telah beribadah dalam rangka melaksanakan tujuan penciptaannya kepada Allah swt, dengan ibadah yang benar. Bagaimana jadinya jika tak paham agama, kemudian melaksanakan ibadah kepada Allah. Shalat, namun tidak paham tata cara shalat. Berwudhu, tapi tidak tahu bahwa buang angin itu membatalkan wudhunya. Dan begitu juga rangkaian ibadah-ibadah lainnya.
Terlebih jika berkenaan dengan perkara aqidah yang erat kaitannya dengan iman kita. Padahal yang kita ketahui, bahwa dengan aqidahnyalah seseorang akan mendapat gelar mukmin ataukah mubtadi’ (pelaku bid’ah), atau kafir dan munafik. Semuanya tergantung aqidah yang diyakini dalam hati. Maka, jika ada orang yang tidak memahami dasar aqidahnya, bisa saja orang itu sudah tidak lagi pantas mendapat gelar mukmin yang sejati. Tanpa sadar bisa menjadi mubtadi’, atau zindik, munafik, mu’tazilah, murjiah, khowarij, atau bahkan kafir!
Semuanya sangat berpotensi menjadi bagian dari sekte dalam Islam itu, karena aqidah yang tidak dipahami, atau salah memahami perkara aqidah. Dia bersyahadat dan menyatakan diri sebagai seorang muslim, namun tak mengerti pembatal syahadat dan keislamannya, dan akhirnya pun melaksanakan pembatal keimanan keislamannya. Sungguh naas sekali nasib seorang muslim yang demikian ini. Ibarat saat melaksanakan shalat, seseorang buang angin, namun tidak mengerti bahwa shalatnya sudah batal dengan batalnya wudhunya. Ia terus saja shalat hingga selesai, dan berkeyakinan bahwa shalatnya sah. Kita tentunya tidak mungkin mau menjadi orang Islam, yang ternyata telah melaksanakan perbuatan yang membatalkan keislaman, dan menyangka kita masih Islam dan Islam kita sah, padahal sebaliknya. Wal’iyadzu billah.
Diceritakan ada seorang ahli ibadah yang sangat rajin beribadah dan besar rasa takutnya kepada Allah. Suatu ketika, ia tidak sengaja membunuh tikus, dan hal itu membuatnya tidak tenang dan sangat takut pada Allah Ta’ala. Sebagai bentuk taubatnya pada Allah Ta’ala, ia membawa bangkai tikus itu saat shalat.
Apakah shalatnya sah? Jawabnya tentu tidak, karena bangkai adalah najis. Tidaklah berguna amalan dan rasa takutnya pada Allah swt, karena Allah tidak memberikan ilmu agama kepadanya.
Hanya dengan ilmu Islamlah seseorang akan menjadi baik di dunia. Jikalau ada seorang muslim yang baik budi pekertinya, namun ia sama sekali tidak mengenal ajaran Islam yang benar, maka sebenarnya akhlaknya yang baik itu hanyalah kebiasaan yang tidak membuahkan pahala. Karena seorang muslim akan beramal sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Bukan karena faktor lingkungan, adat, atau yang sejenisnya. Hanya untuk Allah seorang muslim beramal. Hanya berdasarkan syari’at dan sunnah sajalah seorang muslim beribadah.
Seorang muslim yang tidak Allah pahamkan kepadanya ilmu agama, antara kebaikannya dengan keburukan yang dikerjakanya, lebih dominan keburukannya. Shalat terkadang dilakukan, terkadang tidak. Shalat, tapi tak berjilbab dan makan yang haram. Puasa juga demikian diremehkan. Apatah lagi qiyamullail dan amalan-amalan sunnah lainnya, mungkin sama sekali tidak dilirik.
Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah akan memberikan kebaikan dan menjadikan seseorang baik, diawali dengan diberikannya pemahaman yang baik atas agamanya. Artinya, orang itu tidaklah orang yang baik, jika ia tak tahu soal agama, sekalipun dia Islam (istilah kerennya, islam KTP). Sampai ia paham soal agamanya, baru bisa tergolong orang yang baik. Dan tentunya, ilmu agama yang dimaksud adalah ilmu berkenaan dengan aqidah atau keyakinannya, dan ilmu agama yang berhubungan dengan ibadah yang ia lakukan.
Dari sinilah para ulama’ membagi macam ilmu sesuai dengan hukum menuntutnya. Jangan salah memilih ilmu, sebelum mengetahui hukum ilmu yang akan dicari. Jangan mencari ilmu yang hukumnya sunnah, sedangkan yang wajib belum dicari. Jangan pula asal memilih tempat mengkaji dan mendapat ilmu, sebelum mengetahui tempat kajian itu adalah yang berpegang pada manhaj ahlus sunnah wal jama’ah. Wallahu a’lam. (-Anshorullah-)

Berdo’alah kepada Allah

"Ya Allah, jangan kembalikan aku ke keluargakau, dan limpahkanlah kepadaku kesyahidan."
Doa itu keluar dari mulut `Amru bin Jumuh, ketika ia bersiap-siap mengenakan baju perang dan bermaksud berangkat bersama kaum Muslimin ke medan Uhud. Ini adalah kali pertama bagi `Amru terjun ke medan perang, karena dia kakinya pincang. Didalam Al-Quran disebutkan, “Tiada dosa atas orang-orang buta, atas orang-orang pincang dan atas orang sakit untuk tidak ikut berperang.” (QS. Al-Fath: 17)
Karena kepincangannya itu maka `Amru tidak wajib ikut berperang, di samping keempat anaknya telah pergi ke medan perang. Tidak seorangpun menduga `Amru dengan keadaannya yang seperti itu akan memanggul senjata dan bergabung dengan kaum Muslimin lainnya untuk berperang.
Sebenarnya, kaumnya telah mencegah dia dengan mengatakan, “Sadarilah hai `Amru, bahwa engkau pincang. Tak usahlah ikut berperang bersama Nabi.”
Namun `Amru menjawab, “Mereka semua pergi ke surga, apakah aku harus duduk-duduk bersama kalian?”
Meski `Amru berkeras, kaumnya tetap mencegahnya pergi ke medan perang. Karena itu `Amru kemudian menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, Kaumku mencegahku pergi berperang bersama Tuan. Demi Allah, aku ingin menginjak surga dengan kakiku yang pincang ini.”
“Engkau dimaafkan. Berperang tidak wajib atas dirimu.” Kata Nabi mengingatkan.
“Aku tahu itu, wahai Rasulullah. Tetapi aku ingin berangkat ke sana.” Kata `Amru tetap berkeras.
Melihat semangat yang begitu kuat, Rasulullah kemudian bersabda kepada kaum `Amru, “Biarlah dia pergi. Semoga Allah menganugerahkan kesyahidan kepadanya.”
Dengan terpincang-pincang `Amru akhirnya ikut juga berperang di barisan depan bersama seorang anaknya. Mereka berperang dengan gagah berani, seakan-akan berteriak, “Aku mendambakan surga, aku mendambakan mati, sampai akhirnya ajal menemui mereka.”
Setelah perang usai, kaum wanita yang ikut ke medan perang semuanya pulang. Di antara mereka adalah ‘Aisyah. Di tengah perjalanan pulang itu `Aisyah melihat Hindun, istri `Amru bin Jumuh sedang menuntun unta ke arah Madianh. `Aisyah bertanya, “Bagaimana beritanya?”
“Baik-baik, Rasulullah selamat. Musibah yang ada hanya ringan-ringan saja. Sedang orang-orang kafir pulang dengan kemarahan.” Jawab Hindun.
“Mayat siapakah di atas unta itu?”
“Saudaraku, anakku dan suamiku.”
“Akan dibawa ke mana?”
“Akan dikubur di Madinah.”
Setelah itu Hindun melanjutkan perjalanan sambil menuntun untanya ke arah Madinah. Namun untanya berjalan terseot-seot lalu merebah.
“Barangkali terlalu berat,” kata `Aisyah.
“Tidak. Unta ini kuat sekali. Mungkin ada sebab lain.” Jawab Hindun.
Ia kemudian memukul unta tersebut sampai berdiri dan berjalan kembali. Namun binatang itu berjalan dengan cepat ke arah Uhud dan lagi-lagi merebah ketika di belokkan ke arah Madinah.
Menyaksikan pemandangan aneh itu, Hindun kemudian menghadap kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan peristiwa yang dialaminya, “Hai Rasulullah. Jasad saudaraku, anakku dan suamiku akan kubawa dengan unta ini untuk dikuburkan di Madinah. Tapi binatang ini tak mau berjalan bahkan berbalik ke Uhud dengan cepat.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Hindun, “Sungguh unta ini sangat kuat. Apakah suamimu tidak berkata apa-apa ketika hendak ke Uhud?”
“Benar ya Rasulullah. Ketika hendak berangkat dia menghadap ke kiblat dan berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau kembalikan aku ke keluargaku dan limpahkanlah kepadaku kesyahidan.”
“Karena itulah unta ini tidak mau berangkat ke Medinah. Allah Ta’ala tidak mau mengembalikan jasad ini ke Madinah.” kata beliau lagi.
“Sesungguhnya diantara kamu sekalian ada orang-orang jika berdoa kepada Allah benar-benar dikabulkan. Diantara mereka itu adalah suamimu, `Amru bin Jumuh,” sambung Nabi.
Setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar ketiga jasad itu dikuburkan di Uhud. Selanjutnya beliau berkata kepada Hindun, “Mereka akan bertemu di surga. `Amru bin Jumuh, suamimu; Khulad, anakmu; dan Abdullah, saudaramu.”
“Ya Rasulullah. Doakan aku agar Allah mengumpulkan aku bersama mereka.” kata Hindun memohon kepada Nabi.
Dalam kisah yang lain, dan mungkin kita pernah mendengar, bahwa imam Ahmad pernah mendo’akan seorang ibu yang lumpuh. Seketika itu ibu tersebut sembuh dari sakitnya.
Imam al-Lalika`iy meriwayatkan di dalam kitabnya Syarh as-Sunnah dan Ghanjar di dalam kitabnya Taariikh Bukhaara mengisahkan sebagai berikut:
”Sejak kecil imam Al-Bukhary kehilangan penglihatan pada kedua matanya alis buta. Suatu malam di dalam mimpi, ibunya melihat Nabi Allah, al-Khalil, Ibrahim yang berkata kepadanya, ‘Wahai wanita, Allah telah mengembalikan penglihatan anakmu karena begitu banyaknya kamu berdoa.”
Pada pagi harinya, ia melihat anaknya dan ternyata benar, Allah telah mengembalikan penglihatannya.
Kisah tentang betapa ampuhnya do’a tersebut amat banyak kita dapatkan pada masa salaf. Bahkan sahabat Sa’ad bin Abi Waqosh adalah sorang sahabat yang dikenal sebagai orang yang tidak pernah tertolak do’anya.
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seorang Nabi yang senantiasa memohon pada Allah Ta’ala. Bahkan dalam satu hadits diriwayatkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja yang tidak meminta (memohon) kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.”
Maka, mulai sekarang juga marilah kita mulai bersungguh-sungguh dan sesering mungkin untuk berdoa kepada Allah. Semoga Allah memudahkan segala urusan kita. Amin.. (-Anshorullah-)

Rabu, 03 November 2010

Mbah Marijan dan Merapi

Indah betul gunung merapi. Walaupun baru satu kali mendakinya (Agustus tahun 2008 lalu), keindahannya tak terlupakan di memori ingatanku. Berbeda dengan gunung-gunung lainnya, setelah melewati pos terakhir -pasar Bubrah-, tak ada lagi pepohonan. Yang ada hanya batu-baru besar dan pasir tanah.
Cukup seru memang, apalagi waktu menjelang subuh, saya dan teman-teman tepat berada di tengah-tengah jalur ke puncak Garuda, padahal jalur yang kami pilih salah. Yang benar jalur kiri. Maka tak heran jika orang-orang di depan kami yang kami ikuti menginjak batu besar -sebesar kepala mobil- dan menjatuhkan tanpa sengaja batu besar itu. seketika orang-orang menjerit -termasuk saya- agar yang berada di bawah dan yang sedang mendaki lewat jalur tengah berhati-hati.
Bayanganku sepertinya ada yang kena batu itu. karena sangat banyak orang yang juga mengikuti jejak kami lewat jalur tengah. Tapi alhamdulillah gak ada satu pun korban. Gak kebayang jika ada yang ditabrak batu segede itu.
Sampai akhirnya, satu persatu pendaki turun tidak melanjutkan ke puncak. karena trauma kejadian batu besar tadi, termasuk teman aku sendiri, Mr. Fajar. Ia pelan-pelan turun ke pasar Bubrah, takut dapat batu yang serupa dan menjatuhkannya lagi.
Luar biasa memang, sholat subuh pun kami di tengah-tengah kepanikan yang sangat. "Tadz, kita subuhan di mana? turun ngeri, naek apalagi?" Hehe, tanya salah seorang anggota kita. Ya, saya jawab saja, "Di sini, pake tayammum en ndak perlu jama'ah, darurat, ne kita gak bisa bergerak."
Tapi, kayaknya gak perlu berpanjang lebar nyeritain pengalaman ndaki gunung merapi. Yang penting ending ceritanya 'Kami semua sampai puncak Garuda'. Takbir.......
So, kalau teringat gunung merapi, jadi pengen berbagi nasehat kepada masyarakat setempat yang sedang ditimpa musibah gunung meletus, atau juga kepada semua pembaca. Karena saya rasa pesan ini, di saat baru saja mendapat kejadian merapi kemaren, sangat dibutuhkan oleh saudara-saudara seislam saya di mana pun berada.
Saya mulai dari nasehatnya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah. Beliau pernah berkata, "Sesungguhnya engkau saksikan banyak dari manusia yang tertimpa sedikit dari musibah, dia mengatakan, 'Wahai Tuhanku, apa dosaku hingga engkau memberikan musibah seberat ini kepadaku?' Dia berprasangka buruk kepada Allah dan merasa dirinya suci, bebas dari dosa. Padahal manusia tidak terlepas dari dosa dan khilaf."
Mungkin ada sebagian masyarakat yang mengucapkan demikian saat mendapatkan musibah. Rasa tidak terima terhadap musibah yang datang, menyebabkan mereka bersangka buruk terhadap Allah yang berkuasa menimpakn segala musibah. merka beranggapan bahwa selayaknya musibah itu diberikan hanya kepada merka yang selalunya berbuat dosa. Padahal tidaklah demikian. Justru jika seseorang semakin mantap imannya kepada Allah, ia akan mendapatkan cobaan seberat kadar keimanannya, dan termasuk bentuk cobaan itu adalah dengan didatangkannya musibah.
Namun lebih parah lagi jika ada yang menisbatkan musibah kepada selain Allah. Bukan lagi keyakinan dzat yang mendatangkan musibah adalah Allah, tetapi berubah menisbatkannya kepada selain Allah. seperti kepada juru kunci gunung, dewa-dewa, dan makhluk-makhluk ghaib sangkaan lainnya.
Kejadian letusan gunung merapi yang baru saja terjadi di akhir pekan bulan lalu, menyisakan banyak khurofat dan paham-paham bid'ah yang rusak. Mulai dari keyakinan penyebab meletusnya gunung, dewa-dewa atau makhluk ghaib penjaga gunung, sampai keyakinan terhadap sang juru kunci gunung merapi, mbah Marijan.
Keyakinan-keyakinan batil seperti di atas, sudah selayaknya dihindari oleh kaum muslimin. Karena sudah sangat jelas ketidakbenarannya di sisi syari'at yang mencacatkan tauhid Rububiyahnya kepada Allah. Tapi namanya juga manusia yang selalunya berkeluh kesah dan cenderung kepada nafsu, semuanya menjadi kesempatan yang empuk untuk dijadikan peluang emas oleh setan.
Sungguh indah apa yang disampaikan Ibnu Qoyyim rohimahullah. Beliau berkata, "Orang yang bodoh mengeluhkan tentang Allah kepada manusia. Orang yang bijak adalah orang yang mengeluh kepada Allah. Sebijak-bijak manusia adalah orang yang mengeluh kepada Allah tentang dirinya; dia mengeluh kepada Allah tentang penindasan dan musibah yang menimpanya itu tidak lain disebabkan dirinya sendiri (bukan karena keyakinan karena Allah menzhaliminya).
Teladanilah para Nabi 'alaihimus salam yang mendapat pujian Allah karena mereka mengeluh hanya kepada Allah. Allah berfirman tentang nabi Ya'kub 'alaihis salam,
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Ya'qub menjawab, "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya."
Sampai akhirnya nabi Ya'qub 'alaihis salam dapat melihat kembali setelah sebelumnya beliau buta (lihat surah Yusuf ayat 96). Dan beliau pun dapat berjumpa kembali dangan nabi Yusuf 'alaihis salam yang sangat dirindukannya (lihat surah Yusuf ayat 99-100).
Mengeluh kepada manusia atas musibah yang menimpanya menodai kesabaran dan keridhoan, bahkan dapat menghilangkannya. Para salafush sholeh jika tertimpa musibah, mereka menyembunyikannya dan tidak menampakkkannya kepada manusia. Imam Al-Manabi berkata, "Maksud dari pembicaraan ini adalah menyembunyikan musibah adalah puncak kesabaran."
Lantas, bagaimana jadinya jika musibah yang menimpa masyarakat gunung merapi kemudian mereka mengeluhkannya kepada manusia lantaran manusia itu -seperti mbah Marijan- berpengaruh terhadap letusan gunung ? Jawabnya adalah; hal itu merupakan kesyirikan yang bisa mengeluarkannya dari Islam. Karena mengeluh saat dapat musibah kepada manusia yang tidak diyakini sebagai biang musibah saja adalah dilarang, apalagi mengeluhnya kepada manusia yang diyakini berpengaruh terhadap musibah

3 Nov 2010...

Sabtu, 16 Oktober 2010

Apakah bedanya antara alkohol dengan khomer ?

Khomer adalah zat yang mengandung alkohol, sedangkan alkohol tidak selamanya disebut khomer. Jadi khomer lebih umum dari pada alkohol. Disebut khomer adalah jika suatu benda mengandung alkohol yang berkadar tinggi. Sedangkan alkohol bisa bersifat alami, seperti yang ada pada buah-buahan atau perasan buah-buahan. Namun perasan buah itu tidak serta merta menjadi khomer. Tape disebut khomer jika kadar alkholnya telah banyak dan menyebabkan mabuk.
Maka, jika khomer adalah haram hukumnya, berbeda dengan alkohol yang berkadar sedikit ia tidak diharamkan. Sebagaimana tape, nabidz dan yang semisalnya. Wallohu a’lam.

SEMOGA BERMANFAAT...

Apakah hukum memanfaatkan benda najis dan haram secara umum dan menjadikan benda najis sebagai obat ?

Mengenai permasalahan ini para fuqoha’ telah sepakat tentang tidak bolehnya seseorang berobat dengan sesuatu yang haram dan najis secara global. Karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan." (HR. Bukhari dan Baihaqi, dan dishohihkan Ibnu Hibban)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda pula, "Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Dawud)
Para ’ulama mazdahib berbeda pendapat di dalam menentukan status hukum berobat dengan sesuatu yang najis. madzhab Hanafi mensyaratkan pembolehannya jika diketahui dengan jelas di dalamnya ada syifa' (kesembuhan), dan tidak ditemukan obat yang lain. Mereka berpendapat bahwa ’berobat dengan yang haram hukumnya haram’ ini tidak berlaku secara mutlak. Dan bahwasannya tidak diperbolehkan berobat dengan yang haram jika tidak diketahui di dalamnnya akan mendatangkan kesembuhan.
Madzhab Maliki lebih mengglobalkan keharamannnya dan berlaku pada setiap najis dan sesuatu yang haram. Baik itu khomer, bangkai, atau sesuatu yang diharamkan Allah. Baik cara pengobatannya dengan jalan meminumkannya, atau dengan mengusap pada tubuh, baik dengan cara merubahnya, atau mencampurnya dengan obat yang lain. Dan hanya diperbolehkan dalam satu kondisi saja, yaitu ketika dikhawatirkan akan menyebabkan kematian jika tidak mengkomsumsinya (darurat).
Adapun menurut madzhab Syafi'i hukumnya haram menggunakan sesuatu yang haram dan najis dalam pengobatan. Akan tetapi jika dicampur dengan obat yang lain maka diperbolehkan berobat dengannya dengan dua syarat; hendaknya orang yang mencampurnya paham ilmu pengobatan meskipun dia termasuk orang fasik, dan obat ini harus dibedakan jenisnya. Menurut madzhab ini diperbolehkan berobat dengan sesuatu yang najis dan haram untuk mempercepat kesembuhan dengan syarat yang sudah ditetapkan.
Sedangkan menurut madzhab Hambali, bahwa setiap sesuatu yang menjijikkan dikategorikan najis dan haram untuk dikonsumsi. Seperti air kencing hewan yang dagingnya boleh dimakan atau yang selainnya. Kecuali air kencingnya onta, diperbolehkan untuk berobat dengannya. Diperbolehkan pula berobat dengan sesuatu yang beracun jika kemungkinan besar akan mendatangkan keselamatan, yaitu yang jelas manfaatnya. Sehingga diperbolehkannya untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar darinya. Diperbolehkan pula menurut madzhab ini berobat dengan sesuatu yang haram dan najis jika tidak dimakan atau diminum.
Imam Nawawi, beliau menambahkan dengan menukil pendapat pengikut madzhab syafii bahwa diperbolehkan berobat dengan sesuatu yang najis, ”Jika tidak ditemukan sesuatu yang thohir (suci) yang menggantikan kedudukannya. Jika ditemukan sesuatu yang thohir yang mampu menggantikan fungsinya, maka menggunakan sesuatu yang najis untuk pengobatan maka hukumnya haram. Berdasarkan kepada sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam, ”Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak menjadikan kesembuhan kalian pada sesuatu yang diharamkan kepada kalian."
Di dalam hadits ini disimpulkan bahwa haram berobat dengan sesuatu yang najis ketika ada sesuatu yang lain yang mampu menggantikan kedudukannya. Dan keharaman ini tidak berlaku jika tidak ditemukan sesuatu yang lain yang menggantikan kedudukannya.
Dalam masalah ini para ’ulama memang berbeda pendapat. Ada pendapat yang mengharamkan, membolehkannya, membolehkan dalam keadaan darurat dan ada pula yang memakruhkannya.
An-Nabhani, beliau telah menjelaskan kemakruhannya, dengan jalan mengkompromikan dua kelompok hadits yang nampak bertentangan/kontradiktif (ta’arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi, ada hadits-hadits yang melarang berobat dengan yang haram dan najis, misalnya hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan." (HR. Bukhari dan Baihaqi, dan dishohihkan Ibnu Hibban)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda pula, "Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Dawud)
Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram. Misalnya hadits bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam membolehkan berobat dengan meminum air kencing onta. Diriwayatkan oleh Qatadah dari Anas -Rodhiyallohu ’anhu-, ada satu rombongan dari dari suku ‘Ukl dan ‘Uraynah yang mendatangi Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam dan berbincang seputar agama Islam. Lalu mereka terkena penyakit perut. Kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan mereka untuk mencari gerombolan onta dan meminum air susu dan air kencingnya. (HR. Muslim)
Dalam hadits lain dari Anas -Rodhiyallohu ’anhu-, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair dan Abdurrahman bin Auf -Rodhiyallohu ’anhuma- untuk memakai kain sutera karena menderita penyakit gatal-gatal. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits membolehkan berobat dengan benda yang haram (dipakai), sebabnya adalah bahwa sutera haram dipakai oleh laki-laki. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengkompromikan (men-jama’) keduanya. Menurut beliau, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam untuk tidak berobat dengan yang haram “janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram” tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan perbuatan (thalab tarki fi’lin). Dalam hal ini, tuntutan yang ada adalah agar tidak berobat dengan yang haram. Lalu, tuntutan ini apakah akan bersifat tegas (jazim), sehingga hukumnya haram atau tidak tegas (ghairu jazim), sehingga hukumnya makruh, masih membutuhkan dalil lain (qarinah) yang menunjukkan sifat tuntutan tersebut. Dua hadits di atas yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, oleh An-Nabhani dijadikan qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya, tuntutan tersebut adalah tuntutan yang tidak tegas, sehingga hukum syara’ yang dihasilkan adalah makruh, bukan haram.
Maka yang benar adalah menggunakan benda najis sebagai obat adalah diperbolehkan jika tidak ada lagi obat yang lain. Dengan dasar hadits-hadits yang telah lalu. Atau hukumnya adalah makruh sebagaimana yang disimpulkan dari cara penggabungan dua dalil yang bertentangan oleh An-Nabhani. Wallohu a’lam

Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an, hal: 168
Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/110
www.ahlalhdeeth.com
Al-Majmu' Syarhul Muhadzzab

SEMOGA BERMANFAAT.. Allohumma taqobbal,,

Apakah Khomer itu Najis ?

Imam Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Ahmad bin Hambal) sepakat mengatakan bahwa khomer itu adalah najis karena memabukkan. Berdalil pada firman Allah Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung." (QS. Al Maidah: 90)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa khomer termasuk rijs yang diartikan sebagai najis. Najis adalah kotor maka harus dijauhi. Atas dasar ini, mereka menetapkan bahwa semua yang memabukkan adalah najis, sebagaimana khomer.
Pendapat mayoritas ulama’ ini juga pernah disampaikan DR. Shalah Sawi, ”Telah terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang najis atau sucinya khomer, sedangkan jumhur ulama berpendapat alkohol itu najis...”
Berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain, seperti; Imam Rabi'ah (guru Imam Malik), Imam Laits bin Sa'd, Al-Muzany (murid Imam Syafi'i) dan selain mereka dari ulama salaf serta sebagian ulama' al-mutaakhkhirun (kontemporer) berpendapat, bahwa khomer adalah suci. Pendapat ini pula yang telah dianggap lebih rojih (kuat) oleh Imam Syaukani, As-Shon'ani, Ahmad Syakir dan Al-Albani. Pendapat ini mengambil dalil dari perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam membuang air khomer di jalan-jalan umum ketika turun ayat yang mengharamkannya.
Dalil dan alasan pendapat yang menyatakan bahwa alkohol adalah bukan najis:
1. Dalam ayat tersebut tidak ada yang menunjukkan najisnya khomer, di mana hal ini ditinjau dari beberapa segi;
a) Makna lafazh rijsun mempunyai banyak makna. Di antaranya; kotoran, sesuatu yang haram, keburukan, adzab, laknat, kekufuran, keburukan, dosa dan najis serta makna yang lainnya.
b) Khomer termaktub dalam ayat berpasangan dengan al-ansab (berjudi), Azlam (mengundi nasib), semua memiliki makna rjis. Namun tidak najis secara Syar'i seperti yang tertera dalam firman Allah Ta’ala, "Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah najis," (QS. At-Taubah: 28), hal ini seperti tertera dalam dalil–dalil yang shahih yang memiliki makna bahwa sebenarnya orang-orang musyrik tidak najis.
c) Sesungguhnya pengharaman terhadap khomer tidak menunjukkan hukum najisnya khomer itu sendiri, namun hukum najis yang dimaksud untuk hukum haram pada hal-hal tersebut. Oleh karena itu, diharamkannya mengenakan sutera dan emas untuk orang laki-laki tidak menunjukkan keduanya najis. Sebab keduanya adalah suci baik ditinjau secara syara' dan ijma'.
d) Lafazh rijs termaktub dalam al-qura'an tidak hanya pada satu tempat, ia terdapat pada tiga tempat dan tidak satu pun yang memaknai rijs sebagai sesuatu yang najis.
e) Ar-Rijs yang ada pada ayat tersebut dikaitkan dengan kalimat "min amalis syaithan" yaitu bentuk amal yang najis, artinya jelek, haram atau dosa, karena hal ini memang hukumnya najis.

2. Di antara dalil yang dijadikan dasar kesucian khomer adalah hadits Anas -Rodhiyallohu ’anhu-, di dalamnya terdapat kalimat; "….maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan dengan berseru, 'Bukankah khomer telah diharamkan.?' Ia berkata, "Maka aku pun mengeluarkan dan menumpahkannya sampai berceceran di jalan-jalan Madinah.
3. Hukum asal dari khomer adalah suci dan tidak ada perubahan dari kesucian itu melainkan dengan perubahan yang benar, serta belum ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Dengan demikian hal ini tetap pada hukum asalnya.
4. Jika khomer itu najis, pasti Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk menyiram dengan air pada tanah itu guna mensucikannya. Sebagaimana Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk menyiram air seni seorang Badui, dan juga Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam pasti memerintahkan untuk senantiasa berhati-hati dan menjaga darinya.
Pendapat yang benar
Yang benar bahwa makna kata najis di atas bukanlah najis secara hakiki, tetapi najis secara maknawi (najis pada makna di dalamnya). Diartikan demikian karena judi, berhala, undian pada ayat tersebut tidaklah dikatakan najis secara hakiki. Maka alkohol (khomer) boleh disentuh (tidak najis), sebagaimana juga berhala dan lainnya. Bahkan terdapat dalil tentang sucinya alkohol dalam hadits dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri -Rodhiyallohu ’anhu-, bahwa ketika ayat pelarangan khomer itu turun, para sahabat menumpahkan khomer-khomer mereka di jalan-jalan kota Madinah (HR. Muslim)
Sekalipun Imam Madzhab yang empat sepakat mengatakan bahwa alkohol itu adalah najis, akan tetapi ada riwayat-riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam pernah menggunakan hal-hal yang najis, seperti :
a. Maimunah binti Harits Al-Hilaliyah -Rodhiyallohu ’anha- mengemukakan hadits Dabghul Ihab (menyamak kulit), yakni perintah Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam agar menyamak kulit bangkai kambing dan memanfaatkannya.
b. Hadits Abu Hurairah -Rodhiyallohu ’anhu- tentang perintah menenggelamkan lalat atau bangkai lalat yang masuk dalam air minum.
c. HR. Ibnu Kuwaiz Mandad, bahwa seseorang bertanya pada Nabi perihal pemanfaatan bulu babi hutan untuk keperluan jahit-menjahit, dan Nabi berkata tidak apa-apa.
Hal ini dikuatkan oleh pendapatnya Syaikh Al-Albani mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu isyarat tentang sucinya khomer sekalipun haram hukumnya. Sebab seandainya khomer tidak suci, tentu para sahabat tidak akan menuangkannya di jalan-jalan dan tempat lewat banyak orang, tetapi mereka akan membuangnya ke tempat yang jauh sebagaimana layaknya barang-barang najis lainnya.
Dari kaidah fiqhiyyah dapat juga dibuktikan bahwa alkohol tidaklah najis. Sebagaimana Syaikh Ibnu ’Utsaimin juga mengatakan, “Tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya zat khomer. Dan jika tidak ada dalil yang menunjukan demikian maka zat khomer adalah suci karena (kaidah mengatakan) asal segala sesuatu adalah suci dan tidak setiap yang haram itu najis, sebagaimana racun itu haram namun tidak najis.” Jika telah jelas bahwa zat alkohol tidaklah najis, maka tidaklah wajib untuk mencuci sesuatu yang terkena alkohol.” Wallohu a’lam.

Shohih fiqh sunnah, 1/75-76
Al Jami’u li Ahkamil Qur’an, 2/223

SEMOGA BERMANFAAT..

Jumat, 15 Oktober 2010

Apakah Setiap Sholat Makmum Membaca Al-Fatihah ?

Tiga imam madzhab sepakat bahwa membaca Al-Fatihah hukumnya adalah wajib di setiap roka’at, baik sholat fardhu atau sholat sunnah. Bagi yang menyengaja untuk tidak membacanya maka sholatnya batal. Berbeda jika ditinggalkan karena lupa, maka ia harus melengkapi bilangan roka’atnya sebanyak jumlah roka’at yang terlupakan untuk membaca Al-Fatihah.
Lain halnya dengan madzhab jumhur, madzhab Hanafi mengatakan, “Hukum membaca Al-Fatihah ketika sholat bukan fardhu, melainkan wajib. Bila mau engkau bisa mengatakan bahwa hukumnya adalah sunnah muakkadah, yang apabila ditinggalkan dengan sengaja, sholatnya tidak batal.”
Dengan demikian, bagi makmum yang mengikuti imam ketika sholat berjama’ah, apakah juga wajib untuk membaca Al-Fatihah?

a. Makmum tidak perlu membaca apapun
Pendapat ini adalah riwayat dari Zaid bin Tsabit dan Jabir rodhiyallohu ‘anhuma. Ibnu Umar mengatakan, “Apabila salah seorang dari kalian sholat di belakang imam, maka cukuplah bacaan imam baginya.” Demikian pula yang dikatakan oleh Sufyan Ats-Tsaury dan Ash-habur ro’yi.
Ulama’ lain yang berpendapat demikian ini antara lain; Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, Jabir bin Abdillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Mas’ud, Imam Abu Hanifah dan lainnya.
Ulama’ Hanafiyun, Ats-Tsauri, dan Ibnu Wahab Al-Maliki mengatakan, “Makmum tidak membaca di belakang imam pada sholat Sirriyah ataupun Jahriyah. Karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan apabila dibacakan Al-Qur'an maka dengarkanlah dan diamlah…” (QS: Al-A'rof: 204) maksudnya, dengarkanlah pada waktu sholat jahriyah dan diamlah ketika sholat sirriyah, dan itu adalah karena ta'sis (kembali kepada makna dasar) lebih baik daripada ta’kid…”
Bahkan ulama’ yang berpendapat dengan madzhab imam Abu Hanifah itu mengatakan, “Sesungguhnya bacaan makmum di belakang imam adalah makruh tahrim pada sholat sirriyah atau jahriyah. Berdasarkan hadits Nabi , “Siapa yang berimam, maka bacaan imam adalah bacaan baginya.” Dan hadits ini diriwayatkan dari banyak jalur periwayatan.”
Mereka menambahkan, “Pendapat ini -yang melarang makmum untuk membaca di belakang imam- adalah sebagaimana yang telah diriwayatkan dari delapan puluh sahabat senior, diantaranya adalah Al-Murtadho dan ‘Ubadalah.”
Ibnul Mundzir menyebutkan, “Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah dan sekelompok dari penduduk Kufah mengatakan, “tidak ada bacaan untuk makmum.”
Yang wajib bagi makmum hanyalah membaca sesuatu yang mudah dari Al-Qur'an. Mereka berhujjah dengan surat Al-Muzammil ayat ke-20,
Artinya: “Bacalah sesuatu yang mudah dari Al-Qur'an.”
Dan sabda Nabi  kepada seseorang, “Bacalah sesutu yang mudah bagimu dari Al-Qur'an.”

Hujjah mereka adalah:
* Hadits Rasulullah ,
“Barangsiapa yang mempunyai imam, maka bacaan imam adalah bacaan baginya.”

* Seorang laki-laki pernah membaca di belakang Rasulullah  maka seorang laki-laki (lain) memberi isyarat kepadanya supaya dia tidak membaca. (Orang itu tidak menurut), dan tetap membaca. Setelah Rasulullah  selesai (salam), maka laki-laki itu berkata kepada orang tersebut, "Mengapa engkau membaca di belakang Imam ?". Ia menjawab, "Mengapa engkau melarang aku membaca ?". Maka Rasulullah  bersabda, "Apabila engkau mengikuti imam, maka sesungguhnya bacaan Imam itu menjadi bacaan bagimu".

b. Makmum wajib membaca pada shalat sirr tapi tidak pada shalat jahr
Pendapat ini diriwayatkan dari Abdullah bin Umar , Urwah bin Zubair, Al-Qosim bin Muhammad, Nafi’ bin Jubair, Az-Zuhry, Malik, Ibnul Mubarok, Ahmad, Ishaq, dan pendapatnya Asy-Syafi’i.
Az-Zuhri, Malik, Ibnul Mubarok, Ahmad, dan Ishaq menyatakan, “Makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah pada sholat jahriyah, namun di wajibkan pada sholat sirriyah.”
Ibnu Umar  mengatakan, “Apabila salah seorang dari kalian sholat di belakang imam maka cukuplah baginya bacaan imam. Dan apabila ia sholat sendirian maka hendaklah ia membaca. Nafi' berkata, “Adalah Ibnu Umar  tidak membaca di belakang imam. Riwayat ini dari Malik dan Ath-Thohawi.”
Ubaidullah bin Muqsim pernah bertanya kepada Abdullah bin Umar , Zaid bin Tsabit  dan Jabir bin Abdillah  (tentang hal ini), mereka mengatakan, “Janganlah kamu membaca apapun di belakang imam pada saat sholat. Diriwayatkan Ath-Thohawi.”
Dr. Wahbah Az-Zuhaily menyebutkan, “Adapun bagi makmum, maka ia membaca Al-Fatihah dan surat pada sholat sirriyah, dan tidak membaca apapun pada waktu sholat jahriyah menurut pendapat Malikiyah dan Hanabilah.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Dan dikatakan tidak diharuskan bagi makmum untuk membaca Al-Fatihah tatkala bacaan imam jahr jikalau dia mendengar bacaan itu, tidak bacaan Al-Fatihah ataupun selainnya. Ini adalah pendapat Jumhur salaf dan kholaf, juga madzhab Malik dan Ahmad…”
Syaikh Ridho Ahmad Ash-Shamadi pernah menulis sebagai bantahannya terhadap ulama’ yang mewajibkan makmum membaca Al-Fatihah dalam kitabnya yang bejudul “Ar-Radd ‘alaa Man Aujaba Qiraa’atal-Fatihah ‘alal-Ma’muum fii Shalatil-Jahriyyah”. Sebagaimana judulnya, Syaikh berpendapat bahwa makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah ketika sholat jahriyah.
Bagi ulama’ yang condong kepada pendapat ini, bahwa seorang makmum dibelakang imam yang membaca dengan jahr, maka ia wajib diam dan memperhatikan bacaan imam tersebut.
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan tidak sah shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah, itu maksudnya ialah: Pertama, bagi imam, baik ia membaca jahr atau sir. Kedua, bagi makmum yang imamnya membaca dengan sir atau meskipun jahr tetapi tidak mendengar (misalnya sebab tempatnya terlalu jauh). Ketiga, bagi orang yang shalat munfarid (sendirian).

Dalil yang di jadikan hujjah pendapat ini adalah;
• Firman Allah Ta’ala dalam surat al A'raaf: 204
“Jika dibacakan Al-Qur’an maka dengarlah dan diamlah agar kamu diberi rahmat.”

• Hadits Abu Musa Al-Asy’ari 
“Rasulullah  berkhutbah di hadapan kami, kemudian beliau menjelaskan kepada kami sunnah-sunnah dan mengajarkan kami sholat. beliau  bersabda, “Luruskan shof-shof kalian kemudian hendaklah seorang dari kalian mengimami kalian semua, apabila ia bertakbir maka bertakbirlah, dan apabila ia membaca maka diamlah.”

• Hadits Malik dari Abi Hurairah 
“Adalah Rasulullah  selesai dari shalat yang beliau mengersakan bacaannya. Lalu beliau bertanya, "Adakah di antara kalian yang ikut membaca juga tadi?". Seorang menjawab, "Ya, saya ya Rasulullah". Beliau menjawab, "Aku berkata mengapa aku harus melawan Al-Quran?". Maka orang-orang berhenti dari membaca bacaan shalat bila Rasulullah  mengeraskan bacaan shalatnya (shalat jahriyah).”

• Dari Jabir  Rasulullah  berkata,
“Siapa shalat di belakang imam, maka bacaannya adalah bacaan imam.” Juga hadits yang senada berikut ini, "Apabila imam membaca maka diamlah”

• Dari Abu Hurairah  ia berkata, Rasulullah  bersabda, “Hanyasanya imam itu dijadikan untuk diturut, jika dia bertakbir maka bertakbirlah dan jika dia membaca (Al-Qur'an) maka diam dan perhatikanlah.”

c. Makmum Wajib Membaca Pada Shalat Siir Dan Jahr
Pendapat ini diriwayatkan dari Umar , Utsman , Ali , Ibnu Abbas , Mu’adz , Ubay bin Ka’ab , Mak-hul, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, dan Abu Tsaur. Apabila memungkinkan, maka makmum membaca pada saat diamnya imam, namun apabila tidak memungkinkan maka ia membaca bersamaan saat imam membaca.”

Ulama’ yang juga berpendapat seperti ini antara lain; Ubadah bin Shamit, Abdullah bin Amr bin ‘Ash ,Abu Hurairah radhiallahu ‘anhum jami’an, Imam Syafi’i dalam qoul jadidnya, Ishaq bin Rahawaih, Imam Al-Bukhari, dan Imam Asy-Syaukani. Diriwayatkan juga dari madzhab Syafi’i dan Ahmad.

Penulis Al-Muhadzdzab menyatakan, “Apabila pada waktu sholat sirriyah maka hukum membaca Al-Fatihah adalah wajib. Tetapi jika pada waktu sholat jahriyah, ada dua pendapat; pendapat pertama terdapat dalam Al-Umm dan Al-Buwaiti, hukumnya adalah wajib dengan dalil hadits Ubadah bin Shomit, sedangkan pendapat kedua terdapat pada qoul qodim Syafi’i, yaitu tidak wajib berdasarkan hadits Abu Hurairoh .”
Imam An-Nawawi dalam mensyarh pendapat penulis Al-Muhadzdzab di atas, beliau menyatakan, “Adapun hukum dalam permasalahan membaca Al-Fatihah hukumnya adalah wajib bagi imam dan orang yang sholat sendirian di setiap roka’at. Dan hukumnya tidak berbeda bagi makmum masbuq yang mendapati imam dalam keadaan apapun. Karena bagi makmum, sesuai madzhab yang benar adalah wajib baginya untuk membaca Al-Fatihah setiap roka’at, baik pada waktu sholat sirriyah atau jahriyah.”
Beliau Rohimahulloh menyebutkan bahwa pendapat ini juga di riwayatkan dari Ibnu ‘Aun, Al-Auza’i, dan Abu Tsaur.
Syafi’iyah mengatakan, “Makmum diwajibkan membaca Al-Fatihah di belakang imam. Kecuali bagi masbuq yang ketinggalan (tidak sempat) membaca Al-Fatihah.”
Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al-‘Utsaimin mengatakan, “Bacaan Al-Fatihah adalah rukun bagi imam, makmum dan munfarid (shalat sendirian), baik dalam shalat sirriyah maupun shalat jahriyah, atau makmum masbuq ataupun atas orang yang menjadi makmum sejak awal.”
Ibnul Jauzi mengatakan, “…ta’awudz dan doa iftitah yang dilakukannya hukumnya adalah sunnah sedangkan bacaan Al-Fatihah yang ditinggalkannya adalah wajib. Makmum pun wajib membacanya menurut sebagian ulama…”

Dalil yang di jadikan hujjah pendapat ini adalah;
* Hadits yang berbunyi,
"Tidak ada shalat kecuali dengan membaca al-Fatihah."

* Hadits Ubdah bin Shamit , Rasulullah  shalat mengimami kami di siang hari, maka bacaannya terasa berat baginya. Ketika selesai beliau berkata, "Aku melihat kalian membaca di belakang imam". Kami menjawab, "Ya ". Beliau berkata, "Jangan baca apa-apa kecuali Al-Fatihah saja."

* Ibnu Majah meriwayatkan dari Muhammad bin Yahya Bin Abi Umar al-Maki Abu Abdillah al-Adani dan Ali Ibnu Hajar keduanya berkata dari Sufyan Bin Uyainah dari az-Zuhri dari Mahmud Bin Rabi' dari Ubadah Bin Shamit  dari Nabi  bersabda,“Tidak sah shalat seseorang jika tidak membaca al-Fatihah.”

* Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Awanah, bahwa Nabi  bersabda,
"Orang yang shalat tanpa membaca Al-Fatihah shalatnya buntung, shalatnya buntug, shalatnya buntung, tidak sempurna."

d. Makmum disunnahkan (mandub) membaca pada sholat sir dan makruh pada sholat jahr
Ini adalah salahsatu riwayat dari pendapatnya ulama’ madzhab Maliki. Dan hal itu dikecualikan apabila makmum meniatkan untuk membenarkan bacaan imam, maka membaca di belakang imam hukumnya sunnah.

e. Makmum dianjurkan (mustahab) membaca pada sholat sir dan di saat imam diam (setelah Al-Fatihah) pada sholat jahr, dan dimakruhkan ketika imam membaca pada sholat jahr
Pendapat ini disampaikan oleh kalangan ulama’ Hanabilah dalam salah satu riwayat dari mereka.

foot Note-nya tdk ikut,,, knp yaww..
OK, insya Allah saya perbaiki,, utk sementara di bawah ini footnotenya,,
jazakumullah...

Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahibil Arba’ah, 1/207
Madzhab Hanafi membedakan antara wajib dengan fardhu. Fardhu adalah hukum wajib yang ditetapkan dengan dalil qoth’i, seperti sholat. Sedangkan wajib adalah yang ditetapkan dengan dalil zhonni, seperti zakat fitri. (Lihat Al-Wajiz fi Ushulil Fiqh, hal: 125. Dr. Wahbah Az-Zuhaily)
Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahibil Arba’ah, 1/207
Syarhus Sunnah, 2/257-258
Hukmu Qiroatil Fatihah Lil Makmum, Abu Ishaq http://salafyitb.wordpress.com
Ad-Dinul Kholish 1/284
Maksudnya adalah sebagaimana dijelaskan Dr. Wahbah Az-Zuhaily, “Makruh tahrim berbeda dengan haram. Haram, larangan ditetapkan dengan dalil qoth’i; Al-Quran dan Sunnah Mutawatiroh atau Masyhur. Seperti mencuri, riba, zina, minum khomer, memakai pakaian sutra dan emas bagi laki-laki, yang dikafirkan orang yang mengingkarinya. Adapun makruh tahrim, tidak dikafirkan orang yang mengingkarinya, dan pada hakikatnya ia lebih dekat kepada haram. Sebagaimana dikatakan oleh dua Syaikh, Abu Hanifah dan Abu Yusuf.” (Lihat Al-Wajiz fi Ushulil Fiqh, hal: 132.). Selanjutnya beliau menambahkan bahwa makruh tahrim penetapannya dengan dalil zhonni. (Lihat Al-Wajiz fi Ushulil Fiqh, hal: 133)
Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahibil Arba’ah, 1/208
Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/312
HR. Bukhori dan Muslim
HR.Ibnu Majah (850), Ahmad (14116). Daruquthni dan Ibnu Abi Syaibah. Dho’if (Lihat Shohih Fiqh Sunnah
HR. Al-Khallal dari Abdullah bin Syaddad
Syarhus Sunnah, 2/257
Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/312. Lihat Rowai’ul Bayan, 1/45
Syarhu Ma'anil Atsar, 1/129 (Lihat Ad-Dinul Kholish, 1/284-285)
Syarhu Ma'anil Atsar, 1/129 (Lihat Ad-Dinul Kholish, 1/284-285)
Al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu, 1/649, 653
Majmu’ Fatawa, 22/294-295
HR. Muslim (404)
HR. Tirmidzi (312). Abu Daud (826), At-Tirmidzi berkata, “Ini hadits hasan”.
HR.Ibnu Majah (850), Ahmad (14116), Daruquthni dan Ibnu Abi Syaibah. Dho’if (Lihat Shohih Fiqh Sunnah
HR. Ahmad dan Ibnu Majah
HR. Khamsah kecuali Tirmidzi, Muslim berkata, "Hadits itu Shahih", Nailul Authar Juz II hal 240
Syarhus Sunnah, 2/257
http://salafyitb.wordpress.com/
Rowai’ul Bayan, 1/44
Imam Al-Fairuzzabady Asy-Syairozy
Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/310
Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/311
Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/312-313
Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahibil Arba’ah, 1/208
Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al-‘Utsaimin, Kitab Majmu' Fatawa, hal: 360
Talbis Iblis, hal: 139
HR. Bukhori dan Muslim
Ibnu Abdil berkata bahwa hadits itu riwayat Makhul dn lainnya dengan isnad yang tersambung shahih
No:395
Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahibil Arba’ah, 1/208
Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahibil Arba’ah, 1/208

Presentasi Semester 3 lalu.
Semoga Bermanfaat...