Sabtu, 16 Oktober 2010

Apakah bedanya antara alkohol dengan khomer ?

Khomer adalah zat yang mengandung alkohol, sedangkan alkohol tidak selamanya disebut khomer. Jadi khomer lebih umum dari pada alkohol. Disebut khomer adalah jika suatu benda mengandung alkohol yang berkadar tinggi. Sedangkan alkohol bisa bersifat alami, seperti yang ada pada buah-buahan atau perasan buah-buahan. Namun perasan buah itu tidak serta merta menjadi khomer. Tape disebut khomer jika kadar alkholnya telah banyak dan menyebabkan mabuk.
Maka, jika khomer adalah haram hukumnya, berbeda dengan alkohol yang berkadar sedikit ia tidak diharamkan. Sebagaimana tape, nabidz dan yang semisalnya. Wallohu a’lam.

SEMOGA BERMANFAAT...

Apakah hukum memanfaatkan benda najis dan haram secara umum dan menjadikan benda najis sebagai obat ?

Mengenai permasalahan ini para fuqoha’ telah sepakat tentang tidak bolehnya seseorang berobat dengan sesuatu yang haram dan najis secara global. Karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan." (HR. Bukhari dan Baihaqi, dan dishohihkan Ibnu Hibban)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda pula, "Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Dawud)
Para ’ulama mazdahib berbeda pendapat di dalam menentukan status hukum berobat dengan sesuatu yang najis. madzhab Hanafi mensyaratkan pembolehannya jika diketahui dengan jelas di dalamnya ada syifa' (kesembuhan), dan tidak ditemukan obat yang lain. Mereka berpendapat bahwa ’berobat dengan yang haram hukumnya haram’ ini tidak berlaku secara mutlak. Dan bahwasannya tidak diperbolehkan berobat dengan yang haram jika tidak diketahui di dalamnnya akan mendatangkan kesembuhan.
Madzhab Maliki lebih mengglobalkan keharamannnya dan berlaku pada setiap najis dan sesuatu yang haram. Baik itu khomer, bangkai, atau sesuatu yang diharamkan Allah. Baik cara pengobatannya dengan jalan meminumkannya, atau dengan mengusap pada tubuh, baik dengan cara merubahnya, atau mencampurnya dengan obat yang lain. Dan hanya diperbolehkan dalam satu kondisi saja, yaitu ketika dikhawatirkan akan menyebabkan kematian jika tidak mengkomsumsinya (darurat).
Adapun menurut madzhab Syafi'i hukumnya haram menggunakan sesuatu yang haram dan najis dalam pengobatan. Akan tetapi jika dicampur dengan obat yang lain maka diperbolehkan berobat dengannya dengan dua syarat; hendaknya orang yang mencampurnya paham ilmu pengobatan meskipun dia termasuk orang fasik, dan obat ini harus dibedakan jenisnya. Menurut madzhab ini diperbolehkan berobat dengan sesuatu yang najis dan haram untuk mempercepat kesembuhan dengan syarat yang sudah ditetapkan.
Sedangkan menurut madzhab Hambali, bahwa setiap sesuatu yang menjijikkan dikategorikan najis dan haram untuk dikonsumsi. Seperti air kencing hewan yang dagingnya boleh dimakan atau yang selainnya. Kecuali air kencingnya onta, diperbolehkan untuk berobat dengannya. Diperbolehkan pula berobat dengan sesuatu yang beracun jika kemungkinan besar akan mendatangkan keselamatan, yaitu yang jelas manfaatnya. Sehingga diperbolehkannya untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar darinya. Diperbolehkan pula menurut madzhab ini berobat dengan sesuatu yang haram dan najis jika tidak dimakan atau diminum.
Imam Nawawi, beliau menambahkan dengan menukil pendapat pengikut madzhab syafii bahwa diperbolehkan berobat dengan sesuatu yang najis, ”Jika tidak ditemukan sesuatu yang thohir (suci) yang menggantikan kedudukannya. Jika ditemukan sesuatu yang thohir yang mampu menggantikan fungsinya, maka menggunakan sesuatu yang najis untuk pengobatan maka hukumnya haram. Berdasarkan kepada sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam, ”Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak menjadikan kesembuhan kalian pada sesuatu yang diharamkan kepada kalian."
Di dalam hadits ini disimpulkan bahwa haram berobat dengan sesuatu yang najis ketika ada sesuatu yang lain yang mampu menggantikan kedudukannya. Dan keharaman ini tidak berlaku jika tidak ditemukan sesuatu yang lain yang menggantikan kedudukannya.
Dalam masalah ini para ’ulama memang berbeda pendapat. Ada pendapat yang mengharamkan, membolehkannya, membolehkan dalam keadaan darurat dan ada pula yang memakruhkannya.
An-Nabhani, beliau telah menjelaskan kemakruhannya, dengan jalan mengkompromikan dua kelompok hadits yang nampak bertentangan/kontradiktif (ta’arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi, ada hadits-hadits yang melarang berobat dengan yang haram dan najis, misalnya hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan." (HR. Bukhari dan Baihaqi, dan dishohihkan Ibnu Hibban)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda pula, "Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Dawud)
Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram. Misalnya hadits bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam membolehkan berobat dengan meminum air kencing onta. Diriwayatkan oleh Qatadah dari Anas -Rodhiyallohu ’anhu-, ada satu rombongan dari dari suku ‘Ukl dan ‘Uraynah yang mendatangi Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam dan berbincang seputar agama Islam. Lalu mereka terkena penyakit perut. Kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan mereka untuk mencari gerombolan onta dan meminum air susu dan air kencingnya. (HR. Muslim)
Dalam hadits lain dari Anas -Rodhiyallohu ’anhu-, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair dan Abdurrahman bin Auf -Rodhiyallohu ’anhuma- untuk memakai kain sutera karena menderita penyakit gatal-gatal. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits membolehkan berobat dengan benda yang haram (dipakai), sebabnya adalah bahwa sutera haram dipakai oleh laki-laki. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengkompromikan (men-jama’) keduanya. Menurut beliau, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam untuk tidak berobat dengan yang haram “janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram” tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan perbuatan (thalab tarki fi’lin). Dalam hal ini, tuntutan yang ada adalah agar tidak berobat dengan yang haram. Lalu, tuntutan ini apakah akan bersifat tegas (jazim), sehingga hukumnya haram atau tidak tegas (ghairu jazim), sehingga hukumnya makruh, masih membutuhkan dalil lain (qarinah) yang menunjukkan sifat tuntutan tersebut. Dua hadits di atas yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, oleh An-Nabhani dijadikan qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya, tuntutan tersebut adalah tuntutan yang tidak tegas, sehingga hukum syara’ yang dihasilkan adalah makruh, bukan haram.
Maka yang benar adalah menggunakan benda najis sebagai obat adalah diperbolehkan jika tidak ada lagi obat yang lain. Dengan dasar hadits-hadits yang telah lalu. Atau hukumnya adalah makruh sebagaimana yang disimpulkan dari cara penggabungan dua dalil yang bertentangan oleh An-Nabhani. Wallohu a’lam

Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an, hal: 168
Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/110
www.ahlalhdeeth.com
Al-Majmu' Syarhul Muhadzzab

SEMOGA BERMANFAAT.. Allohumma taqobbal,,

Apakah Khomer itu Najis ?

Imam Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Ahmad bin Hambal) sepakat mengatakan bahwa khomer itu adalah najis karena memabukkan. Berdalil pada firman Allah Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung." (QS. Al Maidah: 90)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa khomer termasuk rijs yang diartikan sebagai najis. Najis adalah kotor maka harus dijauhi. Atas dasar ini, mereka menetapkan bahwa semua yang memabukkan adalah najis, sebagaimana khomer.
Pendapat mayoritas ulama’ ini juga pernah disampaikan DR. Shalah Sawi, ”Telah terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang najis atau sucinya khomer, sedangkan jumhur ulama berpendapat alkohol itu najis...”
Berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain, seperti; Imam Rabi'ah (guru Imam Malik), Imam Laits bin Sa'd, Al-Muzany (murid Imam Syafi'i) dan selain mereka dari ulama salaf serta sebagian ulama' al-mutaakhkhirun (kontemporer) berpendapat, bahwa khomer adalah suci. Pendapat ini pula yang telah dianggap lebih rojih (kuat) oleh Imam Syaukani, As-Shon'ani, Ahmad Syakir dan Al-Albani. Pendapat ini mengambil dalil dari perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam membuang air khomer di jalan-jalan umum ketika turun ayat yang mengharamkannya.
Dalil dan alasan pendapat yang menyatakan bahwa alkohol adalah bukan najis:
1. Dalam ayat tersebut tidak ada yang menunjukkan najisnya khomer, di mana hal ini ditinjau dari beberapa segi;
a) Makna lafazh rijsun mempunyai banyak makna. Di antaranya; kotoran, sesuatu yang haram, keburukan, adzab, laknat, kekufuran, keburukan, dosa dan najis serta makna yang lainnya.
b) Khomer termaktub dalam ayat berpasangan dengan al-ansab (berjudi), Azlam (mengundi nasib), semua memiliki makna rjis. Namun tidak najis secara Syar'i seperti yang tertera dalam firman Allah Ta’ala, "Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah najis," (QS. At-Taubah: 28), hal ini seperti tertera dalam dalil–dalil yang shahih yang memiliki makna bahwa sebenarnya orang-orang musyrik tidak najis.
c) Sesungguhnya pengharaman terhadap khomer tidak menunjukkan hukum najisnya khomer itu sendiri, namun hukum najis yang dimaksud untuk hukum haram pada hal-hal tersebut. Oleh karena itu, diharamkannya mengenakan sutera dan emas untuk orang laki-laki tidak menunjukkan keduanya najis. Sebab keduanya adalah suci baik ditinjau secara syara' dan ijma'.
d) Lafazh rijs termaktub dalam al-qura'an tidak hanya pada satu tempat, ia terdapat pada tiga tempat dan tidak satu pun yang memaknai rijs sebagai sesuatu yang najis.
e) Ar-Rijs yang ada pada ayat tersebut dikaitkan dengan kalimat "min amalis syaithan" yaitu bentuk amal yang najis, artinya jelek, haram atau dosa, karena hal ini memang hukumnya najis.

2. Di antara dalil yang dijadikan dasar kesucian khomer adalah hadits Anas -Rodhiyallohu ’anhu-, di dalamnya terdapat kalimat; "….maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan dengan berseru, 'Bukankah khomer telah diharamkan.?' Ia berkata, "Maka aku pun mengeluarkan dan menumpahkannya sampai berceceran di jalan-jalan Madinah.
3. Hukum asal dari khomer adalah suci dan tidak ada perubahan dari kesucian itu melainkan dengan perubahan yang benar, serta belum ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Dengan demikian hal ini tetap pada hukum asalnya.
4. Jika khomer itu najis, pasti Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk menyiram dengan air pada tanah itu guna mensucikannya. Sebagaimana Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk menyiram air seni seorang Badui, dan juga Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam pasti memerintahkan untuk senantiasa berhati-hati dan menjaga darinya.
Pendapat yang benar
Yang benar bahwa makna kata najis di atas bukanlah najis secara hakiki, tetapi najis secara maknawi (najis pada makna di dalamnya). Diartikan demikian karena judi, berhala, undian pada ayat tersebut tidaklah dikatakan najis secara hakiki. Maka alkohol (khomer) boleh disentuh (tidak najis), sebagaimana juga berhala dan lainnya. Bahkan terdapat dalil tentang sucinya alkohol dalam hadits dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri -Rodhiyallohu ’anhu-, bahwa ketika ayat pelarangan khomer itu turun, para sahabat menumpahkan khomer-khomer mereka di jalan-jalan kota Madinah (HR. Muslim)
Sekalipun Imam Madzhab yang empat sepakat mengatakan bahwa alkohol itu adalah najis, akan tetapi ada riwayat-riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam pernah menggunakan hal-hal yang najis, seperti :
a. Maimunah binti Harits Al-Hilaliyah -Rodhiyallohu ’anha- mengemukakan hadits Dabghul Ihab (menyamak kulit), yakni perintah Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam agar menyamak kulit bangkai kambing dan memanfaatkannya.
b. Hadits Abu Hurairah -Rodhiyallohu ’anhu- tentang perintah menenggelamkan lalat atau bangkai lalat yang masuk dalam air minum.
c. HR. Ibnu Kuwaiz Mandad, bahwa seseorang bertanya pada Nabi perihal pemanfaatan bulu babi hutan untuk keperluan jahit-menjahit, dan Nabi berkata tidak apa-apa.
Hal ini dikuatkan oleh pendapatnya Syaikh Al-Albani mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu isyarat tentang sucinya khomer sekalipun haram hukumnya. Sebab seandainya khomer tidak suci, tentu para sahabat tidak akan menuangkannya di jalan-jalan dan tempat lewat banyak orang, tetapi mereka akan membuangnya ke tempat yang jauh sebagaimana layaknya barang-barang najis lainnya.
Dari kaidah fiqhiyyah dapat juga dibuktikan bahwa alkohol tidaklah najis. Sebagaimana Syaikh Ibnu ’Utsaimin juga mengatakan, “Tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya zat khomer. Dan jika tidak ada dalil yang menunjukan demikian maka zat khomer adalah suci karena (kaidah mengatakan) asal segala sesuatu adalah suci dan tidak setiap yang haram itu najis, sebagaimana racun itu haram namun tidak najis.” Jika telah jelas bahwa zat alkohol tidaklah najis, maka tidaklah wajib untuk mencuci sesuatu yang terkena alkohol.” Wallohu a’lam.

Shohih fiqh sunnah, 1/75-76
Al Jami’u li Ahkamil Qur’an, 2/223

SEMOGA BERMANFAAT..

Jumat, 15 Oktober 2010

Apakah Setiap Sholat Makmum Membaca Al-Fatihah ?

Tiga imam madzhab sepakat bahwa membaca Al-Fatihah hukumnya adalah wajib di setiap roka’at, baik sholat fardhu atau sholat sunnah. Bagi yang menyengaja untuk tidak membacanya maka sholatnya batal. Berbeda jika ditinggalkan karena lupa, maka ia harus melengkapi bilangan roka’atnya sebanyak jumlah roka’at yang terlupakan untuk membaca Al-Fatihah.
Lain halnya dengan madzhab jumhur, madzhab Hanafi mengatakan, “Hukum membaca Al-Fatihah ketika sholat bukan fardhu, melainkan wajib. Bila mau engkau bisa mengatakan bahwa hukumnya adalah sunnah muakkadah, yang apabila ditinggalkan dengan sengaja, sholatnya tidak batal.”
Dengan demikian, bagi makmum yang mengikuti imam ketika sholat berjama’ah, apakah juga wajib untuk membaca Al-Fatihah?

a. Makmum tidak perlu membaca apapun
Pendapat ini adalah riwayat dari Zaid bin Tsabit dan Jabir rodhiyallohu ‘anhuma. Ibnu Umar mengatakan, “Apabila salah seorang dari kalian sholat di belakang imam, maka cukuplah bacaan imam baginya.” Demikian pula yang dikatakan oleh Sufyan Ats-Tsaury dan Ash-habur ro’yi.
Ulama’ lain yang berpendapat demikian ini antara lain; Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, Jabir bin Abdillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Mas’ud, Imam Abu Hanifah dan lainnya.
Ulama’ Hanafiyun, Ats-Tsauri, dan Ibnu Wahab Al-Maliki mengatakan, “Makmum tidak membaca di belakang imam pada sholat Sirriyah ataupun Jahriyah. Karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan apabila dibacakan Al-Qur'an maka dengarkanlah dan diamlah…” (QS: Al-A'rof: 204) maksudnya, dengarkanlah pada waktu sholat jahriyah dan diamlah ketika sholat sirriyah, dan itu adalah karena ta'sis (kembali kepada makna dasar) lebih baik daripada ta’kid…”
Bahkan ulama’ yang berpendapat dengan madzhab imam Abu Hanifah itu mengatakan, “Sesungguhnya bacaan makmum di belakang imam adalah makruh tahrim pada sholat sirriyah atau jahriyah. Berdasarkan hadits Nabi , “Siapa yang berimam, maka bacaan imam adalah bacaan baginya.” Dan hadits ini diriwayatkan dari banyak jalur periwayatan.”
Mereka menambahkan, “Pendapat ini -yang melarang makmum untuk membaca di belakang imam- adalah sebagaimana yang telah diriwayatkan dari delapan puluh sahabat senior, diantaranya adalah Al-Murtadho dan ‘Ubadalah.”
Ibnul Mundzir menyebutkan, “Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah dan sekelompok dari penduduk Kufah mengatakan, “tidak ada bacaan untuk makmum.”
Yang wajib bagi makmum hanyalah membaca sesuatu yang mudah dari Al-Qur'an. Mereka berhujjah dengan surat Al-Muzammil ayat ke-20,
Artinya: “Bacalah sesuatu yang mudah dari Al-Qur'an.”
Dan sabda Nabi  kepada seseorang, “Bacalah sesutu yang mudah bagimu dari Al-Qur'an.”

Hujjah mereka adalah:
* Hadits Rasulullah ,
“Barangsiapa yang mempunyai imam, maka bacaan imam adalah bacaan baginya.”

* Seorang laki-laki pernah membaca di belakang Rasulullah  maka seorang laki-laki (lain) memberi isyarat kepadanya supaya dia tidak membaca. (Orang itu tidak menurut), dan tetap membaca. Setelah Rasulullah  selesai (salam), maka laki-laki itu berkata kepada orang tersebut, "Mengapa engkau membaca di belakang Imam ?". Ia menjawab, "Mengapa engkau melarang aku membaca ?". Maka Rasulullah  bersabda, "Apabila engkau mengikuti imam, maka sesungguhnya bacaan Imam itu menjadi bacaan bagimu".

b. Makmum wajib membaca pada shalat sirr tapi tidak pada shalat jahr
Pendapat ini diriwayatkan dari Abdullah bin Umar , Urwah bin Zubair, Al-Qosim bin Muhammad, Nafi’ bin Jubair, Az-Zuhry, Malik, Ibnul Mubarok, Ahmad, Ishaq, dan pendapatnya Asy-Syafi’i.
Az-Zuhri, Malik, Ibnul Mubarok, Ahmad, dan Ishaq menyatakan, “Makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah pada sholat jahriyah, namun di wajibkan pada sholat sirriyah.”
Ibnu Umar  mengatakan, “Apabila salah seorang dari kalian sholat di belakang imam maka cukuplah baginya bacaan imam. Dan apabila ia sholat sendirian maka hendaklah ia membaca. Nafi' berkata, “Adalah Ibnu Umar  tidak membaca di belakang imam. Riwayat ini dari Malik dan Ath-Thohawi.”
Ubaidullah bin Muqsim pernah bertanya kepada Abdullah bin Umar , Zaid bin Tsabit  dan Jabir bin Abdillah  (tentang hal ini), mereka mengatakan, “Janganlah kamu membaca apapun di belakang imam pada saat sholat. Diriwayatkan Ath-Thohawi.”
Dr. Wahbah Az-Zuhaily menyebutkan, “Adapun bagi makmum, maka ia membaca Al-Fatihah dan surat pada sholat sirriyah, dan tidak membaca apapun pada waktu sholat jahriyah menurut pendapat Malikiyah dan Hanabilah.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Dan dikatakan tidak diharuskan bagi makmum untuk membaca Al-Fatihah tatkala bacaan imam jahr jikalau dia mendengar bacaan itu, tidak bacaan Al-Fatihah ataupun selainnya. Ini adalah pendapat Jumhur salaf dan kholaf, juga madzhab Malik dan Ahmad…”
Syaikh Ridho Ahmad Ash-Shamadi pernah menulis sebagai bantahannya terhadap ulama’ yang mewajibkan makmum membaca Al-Fatihah dalam kitabnya yang bejudul “Ar-Radd ‘alaa Man Aujaba Qiraa’atal-Fatihah ‘alal-Ma’muum fii Shalatil-Jahriyyah”. Sebagaimana judulnya, Syaikh berpendapat bahwa makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah ketika sholat jahriyah.
Bagi ulama’ yang condong kepada pendapat ini, bahwa seorang makmum dibelakang imam yang membaca dengan jahr, maka ia wajib diam dan memperhatikan bacaan imam tersebut.
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan tidak sah shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah, itu maksudnya ialah: Pertama, bagi imam, baik ia membaca jahr atau sir. Kedua, bagi makmum yang imamnya membaca dengan sir atau meskipun jahr tetapi tidak mendengar (misalnya sebab tempatnya terlalu jauh). Ketiga, bagi orang yang shalat munfarid (sendirian).

Dalil yang di jadikan hujjah pendapat ini adalah;
• Firman Allah Ta’ala dalam surat al A'raaf: 204
“Jika dibacakan Al-Qur’an maka dengarlah dan diamlah agar kamu diberi rahmat.”

• Hadits Abu Musa Al-Asy’ari 
“Rasulullah  berkhutbah di hadapan kami, kemudian beliau menjelaskan kepada kami sunnah-sunnah dan mengajarkan kami sholat. beliau  bersabda, “Luruskan shof-shof kalian kemudian hendaklah seorang dari kalian mengimami kalian semua, apabila ia bertakbir maka bertakbirlah, dan apabila ia membaca maka diamlah.”

• Hadits Malik dari Abi Hurairah 
“Adalah Rasulullah  selesai dari shalat yang beliau mengersakan bacaannya. Lalu beliau bertanya, "Adakah di antara kalian yang ikut membaca juga tadi?". Seorang menjawab, "Ya, saya ya Rasulullah". Beliau menjawab, "Aku berkata mengapa aku harus melawan Al-Quran?". Maka orang-orang berhenti dari membaca bacaan shalat bila Rasulullah  mengeraskan bacaan shalatnya (shalat jahriyah).”

• Dari Jabir  Rasulullah  berkata,
“Siapa shalat di belakang imam, maka bacaannya adalah bacaan imam.” Juga hadits yang senada berikut ini, "Apabila imam membaca maka diamlah”

• Dari Abu Hurairah  ia berkata, Rasulullah  bersabda, “Hanyasanya imam itu dijadikan untuk diturut, jika dia bertakbir maka bertakbirlah dan jika dia membaca (Al-Qur'an) maka diam dan perhatikanlah.”

c. Makmum Wajib Membaca Pada Shalat Siir Dan Jahr
Pendapat ini diriwayatkan dari Umar , Utsman , Ali , Ibnu Abbas , Mu’adz , Ubay bin Ka’ab , Mak-hul, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, dan Abu Tsaur. Apabila memungkinkan, maka makmum membaca pada saat diamnya imam, namun apabila tidak memungkinkan maka ia membaca bersamaan saat imam membaca.”

Ulama’ yang juga berpendapat seperti ini antara lain; Ubadah bin Shamit, Abdullah bin Amr bin ‘Ash ,Abu Hurairah radhiallahu ‘anhum jami’an, Imam Syafi’i dalam qoul jadidnya, Ishaq bin Rahawaih, Imam Al-Bukhari, dan Imam Asy-Syaukani. Diriwayatkan juga dari madzhab Syafi’i dan Ahmad.

Penulis Al-Muhadzdzab menyatakan, “Apabila pada waktu sholat sirriyah maka hukum membaca Al-Fatihah adalah wajib. Tetapi jika pada waktu sholat jahriyah, ada dua pendapat; pendapat pertama terdapat dalam Al-Umm dan Al-Buwaiti, hukumnya adalah wajib dengan dalil hadits Ubadah bin Shomit, sedangkan pendapat kedua terdapat pada qoul qodim Syafi’i, yaitu tidak wajib berdasarkan hadits Abu Hurairoh .”
Imam An-Nawawi dalam mensyarh pendapat penulis Al-Muhadzdzab di atas, beliau menyatakan, “Adapun hukum dalam permasalahan membaca Al-Fatihah hukumnya adalah wajib bagi imam dan orang yang sholat sendirian di setiap roka’at. Dan hukumnya tidak berbeda bagi makmum masbuq yang mendapati imam dalam keadaan apapun. Karena bagi makmum, sesuai madzhab yang benar adalah wajib baginya untuk membaca Al-Fatihah setiap roka’at, baik pada waktu sholat sirriyah atau jahriyah.”
Beliau Rohimahulloh menyebutkan bahwa pendapat ini juga di riwayatkan dari Ibnu ‘Aun, Al-Auza’i, dan Abu Tsaur.
Syafi’iyah mengatakan, “Makmum diwajibkan membaca Al-Fatihah di belakang imam. Kecuali bagi masbuq yang ketinggalan (tidak sempat) membaca Al-Fatihah.”
Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al-‘Utsaimin mengatakan, “Bacaan Al-Fatihah adalah rukun bagi imam, makmum dan munfarid (shalat sendirian), baik dalam shalat sirriyah maupun shalat jahriyah, atau makmum masbuq ataupun atas orang yang menjadi makmum sejak awal.”
Ibnul Jauzi mengatakan, “…ta’awudz dan doa iftitah yang dilakukannya hukumnya adalah sunnah sedangkan bacaan Al-Fatihah yang ditinggalkannya adalah wajib. Makmum pun wajib membacanya menurut sebagian ulama…”

Dalil yang di jadikan hujjah pendapat ini adalah;
* Hadits yang berbunyi,
"Tidak ada shalat kecuali dengan membaca al-Fatihah."

* Hadits Ubdah bin Shamit , Rasulullah  shalat mengimami kami di siang hari, maka bacaannya terasa berat baginya. Ketika selesai beliau berkata, "Aku melihat kalian membaca di belakang imam". Kami menjawab, "Ya ". Beliau berkata, "Jangan baca apa-apa kecuali Al-Fatihah saja."

* Ibnu Majah meriwayatkan dari Muhammad bin Yahya Bin Abi Umar al-Maki Abu Abdillah al-Adani dan Ali Ibnu Hajar keduanya berkata dari Sufyan Bin Uyainah dari az-Zuhri dari Mahmud Bin Rabi' dari Ubadah Bin Shamit  dari Nabi  bersabda,“Tidak sah shalat seseorang jika tidak membaca al-Fatihah.”

* Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Awanah, bahwa Nabi  bersabda,
"Orang yang shalat tanpa membaca Al-Fatihah shalatnya buntung, shalatnya buntug, shalatnya buntung, tidak sempurna."

d. Makmum disunnahkan (mandub) membaca pada sholat sir dan makruh pada sholat jahr
Ini adalah salahsatu riwayat dari pendapatnya ulama’ madzhab Maliki. Dan hal itu dikecualikan apabila makmum meniatkan untuk membenarkan bacaan imam, maka membaca di belakang imam hukumnya sunnah.

e. Makmum dianjurkan (mustahab) membaca pada sholat sir dan di saat imam diam (setelah Al-Fatihah) pada sholat jahr, dan dimakruhkan ketika imam membaca pada sholat jahr
Pendapat ini disampaikan oleh kalangan ulama’ Hanabilah dalam salah satu riwayat dari mereka.

foot Note-nya tdk ikut,,, knp yaww..
OK, insya Allah saya perbaiki,, utk sementara di bawah ini footnotenya,,
jazakumullah...

Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahibil Arba’ah, 1/207
Madzhab Hanafi membedakan antara wajib dengan fardhu. Fardhu adalah hukum wajib yang ditetapkan dengan dalil qoth’i, seperti sholat. Sedangkan wajib adalah yang ditetapkan dengan dalil zhonni, seperti zakat fitri. (Lihat Al-Wajiz fi Ushulil Fiqh, hal: 125. Dr. Wahbah Az-Zuhaily)
Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahibil Arba’ah, 1/207
Syarhus Sunnah, 2/257-258
Hukmu Qiroatil Fatihah Lil Makmum, Abu Ishaq http://salafyitb.wordpress.com
Ad-Dinul Kholish 1/284
Maksudnya adalah sebagaimana dijelaskan Dr. Wahbah Az-Zuhaily, “Makruh tahrim berbeda dengan haram. Haram, larangan ditetapkan dengan dalil qoth’i; Al-Quran dan Sunnah Mutawatiroh atau Masyhur. Seperti mencuri, riba, zina, minum khomer, memakai pakaian sutra dan emas bagi laki-laki, yang dikafirkan orang yang mengingkarinya. Adapun makruh tahrim, tidak dikafirkan orang yang mengingkarinya, dan pada hakikatnya ia lebih dekat kepada haram. Sebagaimana dikatakan oleh dua Syaikh, Abu Hanifah dan Abu Yusuf.” (Lihat Al-Wajiz fi Ushulil Fiqh, hal: 132.). Selanjutnya beliau menambahkan bahwa makruh tahrim penetapannya dengan dalil zhonni. (Lihat Al-Wajiz fi Ushulil Fiqh, hal: 133)
Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahibil Arba’ah, 1/208
Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/312
HR. Bukhori dan Muslim
HR.Ibnu Majah (850), Ahmad (14116). Daruquthni dan Ibnu Abi Syaibah. Dho’if (Lihat Shohih Fiqh Sunnah
HR. Al-Khallal dari Abdullah bin Syaddad
Syarhus Sunnah, 2/257
Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/312. Lihat Rowai’ul Bayan, 1/45
Syarhu Ma'anil Atsar, 1/129 (Lihat Ad-Dinul Kholish, 1/284-285)
Syarhu Ma'anil Atsar, 1/129 (Lihat Ad-Dinul Kholish, 1/284-285)
Al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu, 1/649, 653
Majmu’ Fatawa, 22/294-295
HR. Muslim (404)
HR. Tirmidzi (312). Abu Daud (826), At-Tirmidzi berkata, “Ini hadits hasan”.
HR.Ibnu Majah (850), Ahmad (14116), Daruquthni dan Ibnu Abi Syaibah. Dho’if (Lihat Shohih Fiqh Sunnah
HR. Ahmad dan Ibnu Majah
HR. Khamsah kecuali Tirmidzi, Muslim berkata, "Hadits itu Shahih", Nailul Authar Juz II hal 240
Syarhus Sunnah, 2/257
http://salafyitb.wordpress.com/
Rowai’ul Bayan, 1/44
Imam Al-Fairuzzabady Asy-Syairozy
Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/310
Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/311
Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/312-313
Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahibil Arba’ah, 1/208
Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al-‘Utsaimin, Kitab Majmu' Fatawa, hal: 360
Talbis Iblis, hal: 139
HR. Bukhori dan Muslim
Ibnu Abdil berkata bahwa hadits itu riwayat Makhul dn lainnya dengan isnad yang tersambung shahih
No:395
Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahibil Arba’ah, 1/208
Kitabul Fiqh ‘Alal Madzahibil Arba’ah, 1/208

Presentasi Semester 3 lalu.
Semoga Bermanfaat...

Hukum Memindahkan Bagian Tubuh Manusia Kepada Manusia

1. Pemindahan dan pencangkokan dari manusia kepada manusia
2. Pemindahan dan pencangkokan dari manusia kepada selainnya

Pemindahan dan pencangkokan dari manusia kepada manusia

Yang mendorong seseorang untuk melakukan hal ini adalah, baik karena darurat atau karena kebutuhan.
Alasan darurat misalnya adalah operasi pemindahan atau pencangkokan jantung dan ginjal.
Sedangkan contoh alasan karena kebutuhan adalah, operasi pemindahan kulit yang dilakukan dokter untuk mengobati tubuh yang sakit (cacat atau terbakar) kemudian dokter memindahkan dan menanamkannya kepad kulit yang akan diobati.
Hukumnya adalah diperbolehkan.

Pemindahan dan pencangkokan dari manusia kepada selainnya
• Pemindahan dari manusia yang masih hidup kepada manusia yang juga hidup
Apabila pemindahan itu dilakukan dan mengakibatkan kepada kematian orang yang akan diambil salah satu organ tubuhnya, maka hukum melakukannya adalah haram.
Apabila pemindahan itu dilakukan dan tidak mengakibatkan kepada kematian orang yang dipindahkan darinya organ tubuhnya, maka ulama’ berbeda pendapat.

• Pemindahan dari manusia yang telah mati kepada manusia yang masih hidup
Pertama-tama dibedakan dulu pengertian mati, yaitu apakah kematian otak tanpa jantung dihukumi kematian pemiliknya? Jika dikatakan mati, maka hukumnya boleh, dan apabila sebaliknya maka hukumnya pun tidak diperbolehkan.
Yang rojih apakah kematian otak tanpa jantung dihukumi kematian pemiliknya adalah manusia yang seperti itu tidak dianggap sebagai mayit.
Adapun hukum pemindahan organ tubuh dari manusia yang telah mati kepada manusia yang masih hidup, ulama’ berbeda pendapat;
Yang tidak memperbolehkan : Syaikh Asy-Sya’rowi, Al-Ghimari, As-Sunbahli, As-Saqof, Dr. Abdussalam Abdurrohim As-Sukri, Dr. Hasan Ali Asy-Syadzili.
Yang membolehkan : Muktamar Islam Ad-Dauli di Malaysia (April 1969 M), Majma’ Fiqh Islami (Makkah, 28 Robi’ul Awwal sampai 7 Jumadil Ula 1405 H), Hai’ah Kibar Ulama Saudi (6/11, tahun 1402 H, no 99), Lajnah Fatwa Yordaniyah Hasyimiyah.

SAYA RINGKAS DARI Ahkamul Jarrohah At-Tibbiyah, Hal 334

Operasi Kecantikan

Dua macam operasi kecantikan :
1. Ikhtiyari (karena sebab pilihan)
2. Dhoruri (karena darurat)
Operasi kecantikan dhoruri, para dokter ahli tidak membedakan antara kebutuhan tingkat darurat dan kebutuhan tingkat hajiyat sebagaimana istilahnya para Fuqoha’.
Tujuan operasi ini ialah untuk menghilangkan ‘aib baik karena kekurangan dalam bentuk tubuh, atau hilangnya sebagian tubuh, atau cacat. Dengan alasan demikian ini, maka operasi tersebut disebut dhoruri.
‘Aib yang ada pada tubuh ada dua macam :
1. ‘Uyub Kholqiyah. Yaitu ‘aib yang ada pada tubuh karena sebab internal bukan dari sebab external.
a) Aib kholqiyah yang ada sejak lahir
Contohnya : Asy-Syafah Al-Maflujah (bibir sumbing), jari-jari tangan atau kaki yang bergampit, dan yang semisalnya.
b) Aib nasyi’ah, yaitu yang disebabkan penyakit yang merusak tubuh.
Contoh :
2. ‘Uyub Muktasabah. Yaitu aib yang disebabkan dari luar tubuh seperti kecelakaan dan semisalnya.
Contohnya : Kulit cacat akibat kebakaran atau terpotong alat pemotong, dan semisalnya.

Aib-aib tersebut bisa diizinkan untuk melakukan operasi untuk menghilangkannya dengan alasan :
• Aib tersebut meliputi dhoror hissi (bentuk kemadhorotan bersifat kongkrit) dan juga ma’nawi (bentuk kemadhorotan bersifat abstrak). Hal mana aib tersebut akan mendapatkan rukhsoh –keringanan- untuk melakukan operasi karena dianggap sebagai hajah –kebutuhan-. Sebagaimana terdapat dalam qo’idah syar’iyah, “Al-Hajah tanzilu manzilatad dhoruroh ‘amatan kanat au khosotan.” Kebutuhan itu akan menduduki posisi (hukumnya) sebagai madhorot, baik yang umum atau yang khusus.
Operasi kecantikan karena darurat, apakah masuk dalam larangan merubah ciptaan??
Imam An-Nawawi menyatakan, “Adapun hadits al-mutaffilajat lilhusn wanita yang merubah ciptaan untuk menjadi cantik, maknanya adalah mereka melakukan hal itu karena semata-mata untuk mempercantik diri, dan dalam hadits tersebut ada isyarat yang menunjukkan bahwa yang diharamkan adalah orang yang minta untuk dipercantik dengan merubah sebagian ciptaan. Adapun jika dibutuhkan untuk penyembuhan atau karena aib di gigi dan semisalnya, maka tidak mengapa.
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa yang diharamkan adalah apabila maksud dari operasi kecantikan itu hanya untuk tajmil –mempercantik diri- dan menambah kecantikan. Adapun jika terdapat kebutuhan yang mengharuskannya untuk melakukan operasi, maka tidak termasuk yang dilarang dan yang diharamkan.
Kebutuhan yang dimaksud adalah yang dibutuhkan penggunaannya, seperti jari-jari yang bergampitan, bibir sumbing, semuanya merupakan kebutuhan. Maka hal tersebut dikecualikan dari taghyirul kholqiyah –merubah ciptaan-.


SAYA RINGKAS DARI Akamul Jarrohah At-Tibbiyah, Dr. Ahmad Al-Mukhtar Al-Jukni. Hal;182 Senin 12 April ‘10 Lalu,,
SEMOGA BERMANFAAT