Rabu, 03 November 2010

Mbah Marijan dan Merapi

Indah betul gunung merapi. Walaupun baru satu kali mendakinya (Agustus tahun 2008 lalu), keindahannya tak terlupakan di memori ingatanku. Berbeda dengan gunung-gunung lainnya, setelah melewati pos terakhir -pasar Bubrah-, tak ada lagi pepohonan. Yang ada hanya batu-baru besar dan pasir tanah.
Cukup seru memang, apalagi waktu menjelang subuh, saya dan teman-teman tepat berada di tengah-tengah jalur ke puncak Garuda, padahal jalur yang kami pilih salah. Yang benar jalur kiri. Maka tak heran jika orang-orang di depan kami yang kami ikuti menginjak batu besar -sebesar kepala mobil- dan menjatuhkan tanpa sengaja batu besar itu. seketika orang-orang menjerit -termasuk saya- agar yang berada di bawah dan yang sedang mendaki lewat jalur tengah berhati-hati.
Bayanganku sepertinya ada yang kena batu itu. karena sangat banyak orang yang juga mengikuti jejak kami lewat jalur tengah. Tapi alhamdulillah gak ada satu pun korban. Gak kebayang jika ada yang ditabrak batu segede itu.
Sampai akhirnya, satu persatu pendaki turun tidak melanjutkan ke puncak. karena trauma kejadian batu besar tadi, termasuk teman aku sendiri, Mr. Fajar. Ia pelan-pelan turun ke pasar Bubrah, takut dapat batu yang serupa dan menjatuhkannya lagi.
Luar biasa memang, sholat subuh pun kami di tengah-tengah kepanikan yang sangat. "Tadz, kita subuhan di mana? turun ngeri, naek apalagi?" Hehe, tanya salah seorang anggota kita. Ya, saya jawab saja, "Di sini, pake tayammum en ndak perlu jama'ah, darurat, ne kita gak bisa bergerak."
Tapi, kayaknya gak perlu berpanjang lebar nyeritain pengalaman ndaki gunung merapi. Yang penting ending ceritanya 'Kami semua sampai puncak Garuda'. Takbir.......
So, kalau teringat gunung merapi, jadi pengen berbagi nasehat kepada masyarakat setempat yang sedang ditimpa musibah gunung meletus, atau juga kepada semua pembaca. Karena saya rasa pesan ini, di saat baru saja mendapat kejadian merapi kemaren, sangat dibutuhkan oleh saudara-saudara seislam saya di mana pun berada.
Saya mulai dari nasehatnya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah. Beliau pernah berkata, "Sesungguhnya engkau saksikan banyak dari manusia yang tertimpa sedikit dari musibah, dia mengatakan, 'Wahai Tuhanku, apa dosaku hingga engkau memberikan musibah seberat ini kepadaku?' Dia berprasangka buruk kepada Allah dan merasa dirinya suci, bebas dari dosa. Padahal manusia tidak terlepas dari dosa dan khilaf."
Mungkin ada sebagian masyarakat yang mengucapkan demikian saat mendapatkan musibah. Rasa tidak terima terhadap musibah yang datang, menyebabkan mereka bersangka buruk terhadap Allah yang berkuasa menimpakn segala musibah. merka beranggapan bahwa selayaknya musibah itu diberikan hanya kepada merka yang selalunya berbuat dosa. Padahal tidaklah demikian. Justru jika seseorang semakin mantap imannya kepada Allah, ia akan mendapatkan cobaan seberat kadar keimanannya, dan termasuk bentuk cobaan itu adalah dengan didatangkannya musibah.
Namun lebih parah lagi jika ada yang menisbatkan musibah kepada selain Allah. Bukan lagi keyakinan dzat yang mendatangkan musibah adalah Allah, tetapi berubah menisbatkannya kepada selain Allah. seperti kepada juru kunci gunung, dewa-dewa, dan makhluk-makhluk ghaib sangkaan lainnya.
Kejadian letusan gunung merapi yang baru saja terjadi di akhir pekan bulan lalu, menyisakan banyak khurofat dan paham-paham bid'ah yang rusak. Mulai dari keyakinan penyebab meletusnya gunung, dewa-dewa atau makhluk ghaib penjaga gunung, sampai keyakinan terhadap sang juru kunci gunung merapi, mbah Marijan.
Keyakinan-keyakinan batil seperti di atas, sudah selayaknya dihindari oleh kaum muslimin. Karena sudah sangat jelas ketidakbenarannya di sisi syari'at yang mencacatkan tauhid Rububiyahnya kepada Allah. Tapi namanya juga manusia yang selalunya berkeluh kesah dan cenderung kepada nafsu, semuanya menjadi kesempatan yang empuk untuk dijadikan peluang emas oleh setan.
Sungguh indah apa yang disampaikan Ibnu Qoyyim rohimahullah. Beliau berkata, "Orang yang bodoh mengeluhkan tentang Allah kepada manusia. Orang yang bijak adalah orang yang mengeluh kepada Allah. Sebijak-bijak manusia adalah orang yang mengeluh kepada Allah tentang dirinya; dia mengeluh kepada Allah tentang penindasan dan musibah yang menimpanya itu tidak lain disebabkan dirinya sendiri (bukan karena keyakinan karena Allah menzhaliminya).
Teladanilah para Nabi 'alaihimus salam yang mendapat pujian Allah karena mereka mengeluh hanya kepada Allah. Allah berfirman tentang nabi Ya'kub 'alaihis salam,
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Ya'qub menjawab, "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya."
Sampai akhirnya nabi Ya'qub 'alaihis salam dapat melihat kembali setelah sebelumnya beliau buta (lihat surah Yusuf ayat 96). Dan beliau pun dapat berjumpa kembali dangan nabi Yusuf 'alaihis salam yang sangat dirindukannya (lihat surah Yusuf ayat 99-100).
Mengeluh kepada manusia atas musibah yang menimpanya menodai kesabaran dan keridhoan, bahkan dapat menghilangkannya. Para salafush sholeh jika tertimpa musibah, mereka menyembunyikannya dan tidak menampakkkannya kepada manusia. Imam Al-Manabi berkata, "Maksud dari pembicaraan ini adalah menyembunyikan musibah adalah puncak kesabaran."
Lantas, bagaimana jadinya jika musibah yang menimpa masyarakat gunung merapi kemudian mereka mengeluhkannya kepada manusia lantaran manusia itu -seperti mbah Marijan- berpengaruh terhadap letusan gunung ? Jawabnya adalah; hal itu merupakan kesyirikan yang bisa mengeluarkannya dari Islam. Karena mengeluh saat dapat musibah kepada manusia yang tidak diyakini sebagai biang musibah saja adalah dilarang, apalagi mengeluhnya kepada manusia yang diyakini berpengaruh terhadap musibah

3 Nov 2010...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar