Senin, 29 November 2010

Ilmu dulu, baru amal !

“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” (HR. Bukhari)
Demikianlah hadits yang selalu kita dengar. Tanpa terkecuali, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan kepada semua umatnya untuk belajar. Dan tentulah yang diinginkan Rasulullah adalah ilmu yang berhubungan dengan agama Islam. Ilmu yang akan membawa pemiliknya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seorang muslim yang cerdas adalah yang bijak dalam menentukan prioritas amal kehidupannya. Jika ia paham bahwa surga tidak gratis, harus dengan ibadah, dan itu pun ibadah yang Allah terima, maka ia pun harus beribadah dengan sungguh-sungguh pada Allah. Namun tidak lupa, pertama kali ia kudu mencari tahu bagaimana caranya agar ibadahnya Allah terima. Bukan asal ibadah. Sebagaimana ada orang yang beribadah, namun tidak membekali dirinya dengan ilmu mengenai ibadahnya terlebih dahulu. Ia merasa belajar tidak penting, bahkan beranggapan bahwa belajar hanya akan membuang waktu dan tenaga. Ngapain belajar, kalau mau shalat, lihat saja orang yang sedang shalat, kemudian kita contoh. Beres, selesai, simple kan? Tidak usah belajar. Makan waktu, tenaga, dan biaya. Yang penting Islam, berbuat baik tidak jahat, sudah, insya Allah masuk surga. Gak perlu ikut-ikut pengajian.!
Kasihan sekali kalau ada orang semacam itu. Coba kita perhatikan kutipan ini. Ketika salah seorang teman sujud di dalam shalatnya dengan menghamparkan tanggannya ke lantai (tangan sampai siku menempel di lantai), ia ditegur oleh temannya dan memberi tahu bahwa hal itu tidak boleh. Dia malah kebingungan, bahkan tidak percaya. Karena selama shalat puluhan tahun, baru sekarang ini ada yang menegur dan mangatakan perbuatan itu dilarang.
Contoh lain yang lebih besar dari masalah di atas pasti lebih banyak lagi. Umat Islam sendiri tidak tahu ajaran ibadahnya. Padahal syarat agar ibadah diterima Allah selain ikhlas, adalah yang sesuai dengan sunnah Rasulullah. Sedangkan ibadah yang sesuai sunnah itu sendiri adalah dapat diketahui dari belajar.
Sangat memprihatinkan memang. Terkadang kita tahu ilmu tentang sesuatu sampai sedetil-detilnya, tapi untuk permasalahan agama yang hubungannya dengan akhirat, kita tidak tahu sama sekali, walaupun hal itu kita lakukan setiap hari!! Kita ambil contoh, ada seorang bisa mempelajari masalah mesin sampai sedetil-detilnya, tapi dia tidak tahu bagaimana cara wudhu yang benar. Padahal setiap shalat harus berwudhu, lalu bagaimana dengan shalatnya ya?
Ilmu sebelum beramal sangat penting. Kita harus mengilmui apa yang akan kita amalkan. Karena kalau tidak, salah-salah kita akan terjerumus kepada bid’ah ataupun kesyirikan. Sebagaimana yang kita ketahui dari edisi pertama yang lalu.
Imam Bukhari rahimahullah pun, dalam kitab shahihnya menulis: “Bab Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.” Maksudnya, sebelum berucap dan berbuat, semuanya harus didasari dengan ilmu. Tidak asal ngomong, tidak asal ngelakoni.
Secara akal sehat, pernyataan Imam Bukhari tersebut memang benar dan logis. Misalnya dalam ilmu dunia. Bagaimana seseorang dapat menulis kalau belum pernah belajar menulis. Nah, demikian juga untuk permasalahan akhirat. Bagaimana mungkin bisa berwudhu dengan benar, sedang dia tidak pernah mau belajar berwudhu yang benar, yang berdasarkan dalil-dalil yang jelas. Bukankah orang yang mau belajar pasti lebih tahu dan lebih benar tata caranya daripada orang yang tidak pernah belajar?
Itu saja dalam masalah wudhu yang tidak beres melaksanakannya, sudah sangat merugikan pelakunya. Apa jadinya jika tidak memahami masalah aqidah? Bisa saja menjadi musuhnya Ahlus Sunnah, seperti Khowarij, Mu’tazilah, Murjiah, Qodariyah, Syi’ah, atau mubtadi’ah. Dan ini lebih berbahaya lagi !
Maka, menuntut ilmu agama adalah sebuah keniscayaan bagi semua yang beragama Islam. Laki-laki ataupun wanita, tua maupun yang muda. Hanyasanya tidak semua ilmu dalam pendidikan Islam yang diwajibkan mencarinya. Karena kalau semuanya akan dituntut, sampai akhir hayatpun tidak semuanya dapat dipelajari. Karena ilmu adalah samudera yang maha luas.
Lantas, apa yang mesti kita pelajari terlebih dahulu? Mari kita awali pembahasan “macam-macam ilmu” ini dengan menghayati nasehat Muhammad bin Al-Hasan dalam bukunya Intishar li Ahlil Hadits, hal. 31. Beliau mengatakan, “Ilmu itu empat macam. Pertama, apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya. Kedua, apa yang terdapat dalam sunah Rasulullah atau yang semacamnya. Ketiga, apa yang disepakati oleh para sahabat Nabi atau yang serupa dengannya, dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka… Keempat, apa yang diangap baik oleh para ahli fikih atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.”

-anshor-
30 Nov '10

Rabu, 17 November 2010

O..O.. SIAPA DIA...???

Siapakah orang yang paling sibuk?
Orang yang paling sibuk adalah orang yang suka menyepelekan waktu sholatnya, seolah-olah ia harus mengurus kerajaan sebesar kerajaan Nabi Sulaiman a.s

Siapakah orang yang manis senyumannya?
Orang yang mempunyai senyuman yang manis adalah orang yang ditimpa musibah lalu dia berkata "Inna lillahi wainna illaihi rajiuun." Lalu sambil berkata,"Ya Rabb, Aku ridha dengan ketentuanMu ini", sambil mengukir senyuman.

Siapakah orang yang kaya?

Orang yang kaya adalah orang yang bersyukur dengan apa yang ada dan tidak lupa akan kenikmatan dunia yang sementara ini.

Siapakah orang yang miskin?
Orang yang miskin adalah orang yang tidak puas dengan nikmat yang ada, selalu menumpuk-numpukkan harta.

Siapakah orang yang rugi?
Orang yang rugi adalah orang yang sudah sampai usia pertengahan namun masih berat untuk melakukan ibadah dan amal-amal kebaikan.

Siapakah orang yang paling cantik?
Orang yang paling cantik adalah orang yang mempunyai akhlak yang baik.

Siapakah orang yang mempunyai rumah yang paling luas?
Orang yang mempunyai rumah yang paling luas adalah orang yang mati membawa amal-amal kebaikan di mana kuburnya akan diperluaskan sejauh mata memandang.

Siapakah orang yang mempunyai rumah yang sempit lagi dihimpit?
Orang yang mempunyai rumah yang sempit adalah orang yang mati tidak membawa amal-amal kebaikan lalu kuburnya menghimpitnya.

Siapakah orang yang mempunyai akal?
Orang yang mempunyai akal adalah orang-orang yang menghuni syurga kelak
karena telah menggunakan akal sewaktu di dunia untuk menghindari siksa neraka.

-anshor-

Selasa, 16 November 2010

MENYIKAPI PERBEDAAN AROFAH DAN IDUL ADHA 1431 H, 2010 M.

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur menetapkan Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah bertepatan pada Selasa, 16 November 2010. Hari Arafah 9 Dzulhijjah bertepatan pada Senin, 15 November 2010.
Sekretaris PW Muhammadiyah Jatim Nadjib Hamid menjelaskan, kepastian ini didapat setelah pihaknya memperoleh Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 05/MLM/I.0/2010. “Dalam maklumat tersebut ditetapkan pada Minggu, 1 Dzulhijjah jatuh pada 7 November 2010. Ini karena pada saat ijtimak 29 Dhulqo’idah jatuh pada Sabtu, 6 November 2010 pukul 11.53.04 WIB.” katanya.
Tinggi hilal pada saat matahari terbenam di Yogyakarta 01 derajat 34 menit 23 detik. Selain itu, Hilal sudah wujud di Tanjung Kodok, tinggi hilal 01 derajat 27 menit, 26.11 detik. Dengan demikian, lanjut Nadjib, maka pelaksaan Hari Raya Idul Adha jatuh pada 16 November.
Sementara dalam almanak Persatuan Islam 1431 H ditetapkan bahwa 1 Dzulhijjah 1431 H bertepatan pada Senin, 8 November 2010. Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah bertepatan pada Rabu, 17 November 2010. Hari Arafah 9 Dzulhijjah bertepatan pada Selasa, 16 November 2010.
Data di atas menunjukkan bahwa Idul Adha 10 Dzulhijjah 1431 H di Indonesia berpotensi terjadi perbedaan, antara Selasa 16 November 2010 dengan Rabu 16 November 2010.
Perbedaan tersebut bukan karena berbeda hasil penghitungan, melainkan lebih disebabkan perbedaan kriteria.
Sebagaimana dimaklumi bahwa di Indonesia dikenal ada 2 kriteria umum yang digunakan oleh ormas-ormas Islam dan Badan Hisab Rukyat (BHR, terdiri dari wakil ormas dan pakar astronomi dan hisab-rukyat) sebagai perangkat Kementerian Agama. Pertama, kriteria wujudul hilal yang dianut Muhammadiyah. Menurut kriteria itu awal bulan ditandai dengan posisi bulan telah berada di atas ufuk pada saat maghrib atau bulan lebih lambat terbenam daripada matahari. Kedua, kriteria imkanurrukyat, kemungkinan bisa dirukyat yang dianut Persis dan NU (dalam hisabnya) serta BHR. Di Indonesia digunakan kesepakatan kriteria tinggi bulan minimal untuk bisa dirukyat adalah 2 derajat (walau secara astronomi dianggap terlalu rendah).
Pada saat Maghrib Sabtu 6 November 2010 (hari terjadinya ijtimak, saat bulan dan matahari segaris bujur) semua ahli sepakat menyatakan bulan telah berada di atas ufuk. Tetapi umumnya kurang dari 2 derajat. Berdasarkan kriteria wujudul hilal, hilal yang telah wujud pada 6 November itu menjadi dasar penetapan awal Dzulhijjah pada 7 November dan Idul Adha bertepatan pada Selasa 16 November 2010. Tetapi bila menggunakan kriteria imkanur rukyat (kemungkinan hilal dirukyat), hilal yang masih sangat rendah itu tidak mungkin bisa dirukyat sehingga awal Dzulhijjah sangat mungkin pada Senin 8 November dan Idul Adha bertepatan dengan Rabu 17 November 2010.
Di Arab Saudi pun tidak mungkin ada rukyat pada Sabtu 6 November 2010, sehingga awal Dzulhijjah pada Senin 8 November, wukuf diperkirakan Selasa 16 November, dan Idul Adha Rabu 17 November.
Selain perbedaan kriteria, sebab terjadinya perbedaan penetapan Idul Adha di Indonesia dipicu pula oleh perbedaan konsep Idul Adha seperti seperti Hizbut Tahrir Indonesia dan Dewan Da’wah Indonesia yang berpedoman pada penetapan hari wukuf di Arafah, namun masih menggunakan konsep hari menurut garis tanggal internasional. Menurut pendapat seperti itu hari Arafah adalah hari wukuf di Arafah (Arab Saudi) dan besoknya Idul Adha. Sedangkan pendapat umum di Indonesia hari Arafah adalah tanggal 9 Dzulhijjah, sama halnya penamaan hari Qurban 10 Dzulhijjah dan hari Tasyriq 11 – 13 Dzulhijjah yang bergantung kondisi hilal setempat.
Perbedaan di atas berimplikasi bukan saja terhadap pelaksanaan salat Iedul Adha dan waktu penyembelihan hewan kurban, melainkan terhadap seluruh aturan syariat yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya pada bulan Dzulhijjah, sebagai berikut:
A. Bagi Calon Qurbani: Makruh Memotong Rambut dan Kuku
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا. رواه مسلم
Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila masuk sepuluh hari (bulan Dzulhijjah) sedangkan ia mempunyai hewan kurban yang hendak dikurbankan (disembelih) maka janganlah memotong rambut dan kukunya. (HR. Muslim)
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ. رواه مسلم
“Apabila kalian melihat Hilal (tanggal 1) Dzulhijjah sedangkan salah seorang diantara kalian hendak berkurban maka peganglah (janganlah memotong) rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)
Secara praktik waktu pelaksanaan syariat di atas akan berbeda bergantung atas kalender mana yang dijadikan acuan. Bila mengacu pada kalender Muhamadiyah, berarti syariat diatas dilaksanakan sejak Sabtu malam saat terbenam matahari, 6 November dan Ahad 7 Nopember hingga Selasa 16 November 2010. Namun bila mengacu pada kalender Persis, berarti syariat diatas dilaksanakan sejak Ahad malam saat terbenam matahari, 7 November dan Senin 8 Nopember hingga Rabu 16 November 2010, sebelum hewan kurban disembelih.

B. Shaum Arafah
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبِلَةً ، وَصَوْمُ عَاشُوراَءَ يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً . – رواه الجماعة إلا البخاري والترمذي -
Artinya : Dari Abu Qatadah, ia berkata,”Rasulullah saw. telah bersabda,’Shaum Hari Arafah itu akan mengkifarati (menghapus dosa) dua tahun, yaitu setahun yang telah lalu dan setahun kemudian. Sedangkan shaum Asyura akan mengkifarati setahun yang lalu” (HR. al-Jama’ah kecuali al-Bukhari dan at-Tirmidzi)
Sebagaimana dimaklumi bahwa shaum Arafah disyariatkan pada 9 Dzulhijjah. Meskipun demikian, secara praktik waktu pelaksanaan shaum Arafah tahun ini akan berbeda bergantung atas kalender mana yang dijadikan acuan. Bila mengacu pada kalender Muhamadiyah, berarti shaum Arafah dilaksanakan pada Senin 15 November 2010. Namun bila mengacu pada kalender Persis, maka dilaksanakan pada Selasa 16 November 2010, ketika warga Muhamadiyah merayakan Iedul Adhha 1431 H.

C. Takbiran Iedul Adha
عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّارِ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم… وَكَانَ يُكَبِّرُ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ بَعْدَ صَلاَةَ الْغَدَاةِ وَيَقْطَعُهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ آخِرَ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ
Dari Ali dan Ammar sesungguhnya Nabi saw… dan beliau bertakbir sejak hari Arafah setelah salat shubuh dan menghentikannya pada salat Ashar di akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah). (HR. Al-Hakim, al-Mustadrak, I:439; al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra, III:312)
Hadits di atas menunjukkan bahwa bertakbir dilakukan sejak subuh 9 Dzulhijjah hingga ashar 13 dzulhijjah.
Secara praktik waktu pelaksanaan takbiran Iedul Adha tahun ini juga akan berbeda bergantung atas kalender mana yang dijadikan acuan. Bila mengacu pada kalender Muhamadiyah, berarti takbiran dilaksanakan sejak subuh Senin 15 November 2010 hingga Jumat 19 November 2010 waktu Ashar. Namun bila mengacu pada kalender Persis, maka dilaksanakan sejak subuh Selasa 16 November 2010 hingga Sabtu 20 November 2010 waktu Ashar
Dengan demikian , hendaknya ikhwatu iman memaklumi perbedaan ini dan diharapkan bersikap istiqamah, yaitu teguh pendirian dan selalu konsekuen dalam setiap tindakan. Artinya, siap menerima dan menjalankan seluruh implikasi hukum itu sesuai dengan acuan yang dipilih, bukan hanya dalam penetapan iedul Adha, sementara tanggal 1 hingga 9 Dzulhijjah menggunakan acuan yang berbeda, bahkan diabaikan.

PENDAPAT SHOUM AROFAH DAN IDHUL ADHA MENGIKUTI WUKUF
Fatwa Lajnah Daaimah, Asy-Syaikh Al-‘Ubailaan, dan Asy-Syaikh Muhammad Al-Maghrawiy tentang Puasa ‘Arafah.
Tanya :
“Apakah kami boleh berpuasa dua hari di negeri kami sini selama dua hari, yaitu untuk puasa ‘Arafah ? karena kami mendengar di radio bahwa hari ‘Arafah esok (di Saudi) bertepatan dengan tanggal delapan Dzulhijjah di sini”.
Jawab :
Hari ‘Arafah adalah hari dimana orang-orang melakukan wuquf di ‘Arafah. Dan puasa di hari tersebut disyari’atkan bagi selain orang yang menunaikan ibadah haji. Apabila engkau ingin berpuasa, maka berpuasalah pada hari ini. Jika engkau ingin berpuasa sehari sebelumnya, maka tidak mengapa. Dan jika engkau ingin sembilan hari dari awal bulan Dzulhijjah, maka itu baik, karena hari-hari itu merupakan hari-hari yang mulia yang dianjurkan untuk berpuasa berdasakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Tidak ada hari yang amal shalih dilakukan padanya lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari sepuluh ini (di bulan Dzulhijjah)’. Dikatakan : ‘Wahai Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah ?’. Beliau menjawab : ‘Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan diri dan hartanya, kemudian tidak kembali sesuatupun darinya (yaitu, orang tersebut mati syahid)’. Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy.
Wabillaahit-taufiiq, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Tanya :
“Pemerintah kami di Libya telah mengumumkan hari Rabu adalah hari ‘Arafah dan hari Kamis adalah ‘Iedul-Adlhaa; yang menyelisihi apa yang telah ditetapkan Kerajaan Saudi ‘Arabia bahwa hari ‘Arafah dan wukufnya jama’ah haji jatuh pada hari Kamis. Maka, apa hukum mengenai hal itu ?”.
Jawab :
“Alhamdulillah, wash-shalaatu ‘alaa rasuuliullah, wa ba’d :
Allah ta’ala telah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS. Al-Baqarah : 189). Dan mengenai ibadah haji, sebagaimana disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Haji itu ‘Arafah”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus-Sunan dengan sanad shahih.
Maka wajib bagi semua negeri kaum muslimin yang mengetahuinya untuk membatasinya dengan ru’yah negeri yang dituju orang-orang untuk ibadah haji, yaitu negeri Al-Haramain yang mulia.
Dan karenanya, tidak boleh bagi kalian untuk mentaati pemerintah kalian yang menjadikan ‘Ied jatuh pada hari Kamis. Dan barangsiapa yang menyembelih pada hari Kamis, maka sembelihannya itu tidak terjadi pada posisi/tempat yang syar’iy. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang orang yang menyembelih sebelum shalat ‘Ied : ‘Kambingmu itu adalah kambing yang disembelih untuk dimakan dagingnya saja (bukan kambing sembelihan kurban)’. Beliau ‘alaihish-shalaatu was-salaam bersabda : ‘Tidak ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah’. Permasalahan ini bukan seperti perselisihan dalam ru’yah hilal Ramadlaan atau Syawaal, karena puasa dan berbuka dimungkinkan untuk dilakukan di negeri manapun. Adapun hari ‘Arafah dan ‘Iedul-Adlhaa, sudah seharusnya orang-orang untuk bersatu, meskipun hanya satu bagian di waktu siang, berdasarkan ayat-ayat dan hadits. Wallaahu a’lam.

Tanya :
“Fadliilatusy-Syaikh, apakah kami boleh berpuasa ‘Arafah berdasarkan waktu setempat/lokal ataukah kami mesti mengikuti waktu Saudi, yaitu hari kedelapan Dzulhijjah jika berdasarkan waktu setempat/lokal ? Jazaakumullaahu khairan.
Jawab :
‘Arafah adalah nama gunung dimana para jama’ah haji melakukan melakukan wuquf pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah. Ia (hari ‘Arafah) merupakan hari yang satu lagi tidak berbilang. Maka, puasa yang bersamaan dengan wuqufnya jama’ah haji adalah puasa yang benar. Adapun selain itu, aku tidak mengetahui sumbernya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah”

PERNYATAAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA
Perbedaan Penetapan Idul Adha 1431 H
Sebagaimana telah diberitakan, Pemerintah RI melalui Departemen Agama telah menetapkan bahwa Idul Adha 1431 H tahun ini jatuh pada hari Rabu, 17 November 2010. Bila Idul Adha adalah 10 Dzulhijjah, maka 9 Dzulhijjah-nya atau Hari Arafah, hari dimana jamaah haji wukuf di Arafah, mestinya jatuh sehari sebelumnya, yakni 16 November 2010.
Sementara Mahkamah Agung Kerajaan Arab Saudi berdasarkan hasil ru’yah telah mengumumkan bahwa 1 Dzulhijjah jatuh bertepatan dengan tanggal 7 November 2010, maka Wukuf atau Hari Arafah (9 Dzulhijjah) jatuh pada 15 November 2010. Dengan demikian Idul Adha (10 Dzulhijjah) akan jatuh pada hari Selasa, 16 November 2010, bukan hari Rabu, 17 November 2010 seperti ketetapan Pemerintah RI.
Berkenaan dengan hal di atas, , Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
1. Bahwa bila umat Islam meyakini, bahwa pilar dan inti dari ibadah haji adalah wukuf di Arafah, sementara Hari Arafah itu sendiri adalah hari ketika jamaah haji di Tanah Suci sedang melakukan wukuf di Arafah, sebagaimana sabda Nabi saw.:
«اَلْحَجُّ عَرَفَةُ»
Ibadah haji adalah (wukuf) di Arafah. (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, al-Baihaqi, ad-Daruquthni, Ahmad, dan al-Hakim. Al-Hakim berkomentar, “Hadits ini sahih, sekalipun beliau berdua [Bukhari-Muslim] tidak mengeluarkannya.”).
Juga sabda beliau:
«فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ، وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ»

Hari Raya Idul Fitri kalian adalah hari ketika kalian berbuka (usai puasa Ramadhan), dan Hari Raya Idul Adha kalian adalah hari ketika kalian menyembelih kurban, sedangkan Hari Arafah adalah hari ketika kalian (jamaah haji) berkumpul di Arafah. (HR as-Syafii dari ‘Aisyah, dalam al-Umm, juz I, hal. 230).
Maka mestinya, umat Islam di seluruh dunia yang tidak sedang menunaikan ibadah haji menjadikan penentuan hari Arafah di tanah suci sebagai pedoman. Bukan berjalan sendiri-sendiri seperti sekarang ini. Apalagi Nabi Muhammad juga telah menegaskan hal itu. Dalam hadits yang dituturkan oleh Husain bin al-Harits al-Jadali berkata, bahwa Amir Makkah pernah menyampaikan khutbah, kemudian berkata:
«عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ e أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا»
Rasulullah saw. telah berpesan kepada kami agar kami menunaikan ibadah haji berdasarkan ru’yat (hilal Dzulhijjah). Jika kami tidak bisa menyaksikannya, kemudian ada dua saksi adil (yang menyaksikannya), maka kami harus mengerjakan manasik berdasarkan kesaksian mereka. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni. Ad-Daruquthni berkomentar, “Hadits ini isnadnya bersambung, dan sahih.”).
Hadits ini menjelaskan: Pertama, bahwa pelaksanaan ibadah haji harus didasarkan kepada hasil ru’yat hilal 1 Dzulhijjah, sehingga kapan wukuf dan Idul Adhanya bisa ditetapkan. Kedua, pesan Nabi kepada Amir Makkah, sebagai penguasa wilayah, tempat di mana perhelatan ibadah haji dilaksanakan, untuk melakukan ru’yat; jika tidak berhasil, maka ru’yat orang lain, yang menyatakan kesaksiannya kepada Amir Makkah. Berdasarkan ketentuan ru’yat global, yang dengan kemajuan teknologi informasi dewasa ini tidak sulit dilakukan, maka Amir Makkah berdasar informasi dari berbagai wilayah Islam dapat menentukan awal Dzulhijjah, Hari Arafah dan Idul Adha setiap tahunnya dengan akurat. Dengan cara seperti itu, kesatuan umat Islam, khususnya dalam ibadah haji dapat diwujudkan, dan kenyataan yang memalukan seperti sekarang ini dapat dihindari.

2. Menyerukan kepada seluruh umat Islam, khususnya di Indonesia agar kembali kepada ketentuan syariah, baik dalam melakukan puasa Arafah maupun Idul Adha 1431 H, dengan merujuk pada ketentuan ru’yat untuk wuquf di Arafah, sebagaimana ketentuan hadits di atas.

3. Menyerukan kepada umat Islam di Indonesia khususnya untuk menarik pelajaran dari peristiwa ini, bahwa demikianlah keadaan umat bila tidak bersatu. Umat akan terus berpecah belah dalam berbagai hal, termasuk dalam perkara ibadah. Bila keadaan ini terus berlangsung, bagaimana mungkin umat Islam akan mampu mewujudkan kerahmatan Islam yang telah dijanjikan Allah? Karena itu, perpecahan ini harus dihentikan. Caranya, umat Islam harus bersungguh-sungguh, dengan segala daya dan upaya masing-masing, untuk berjuang bagi tegaknya kembali Khilafah Islam. Karena hanya khalifah saja yang bisa menyatukan umat. Untuk perjuangan ini, kita dituntut untuk rela berkorban, sebagaimana pelajaran dari peristiwa besar yang selalu diingatkan kepada kita, yaitu kesediaan Nabi Ibrahim as. memenuhi perintah Allah mengorbankan putranya, Ismail as. Keduanya, dengan penuh tawakal menunaikan perintah Allah SWT itu, meski untuk itu mereka harus mengorbankan sesuatu yang paling dicintai. Allah berfirman:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ[
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyeru kalian demi sesuatu yang dapat memberikan kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfal [8]: 24).
Wassalam,
Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismailyusanto@gmail.com

PENDAPAT SHOUM AROFAH DAN IDHUL ADHA MENGIKUTI HILAL NEGRI MASING-MASING

Oelh Ibnu Mukhtar
Wukuf Bukan Muqaddamah Wujud
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Idul Adha ditetapkan berdasarkan waktu wukuf di Arafah. Dengan perkataan lain wukuf itu sebagai standar penetapan Iedul Adha. Istinbath ini ditetapkan berdasarkan sabda Nabi saw. tentang shaum ‘Arafah dalam hadis Abu Qatadah al-Anshari:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
Berdasarkan penamaan shaum ini dengan “shaumu yaumi ‘arafah” maka dipahami bahwa shaum Arafah itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah. Karena Idul Adha didahului oleh shaum hari Arafah, maka Idul Adha pun ditetapkan berdasarkan wukuf di Arafah itu.
Hemat kami, istinbath demikian tidak tepat dilihat dari beberapa aspek:
1. Latar belakang penamaan Arafah
Ibnu Abidin menjelaskan:
عَرَفَةُ إِسْمُ اليَوْمِ وَعَرَفَاتُ إِسْمُ المَكَانِ
“Arafah adalah ismul yaum (nama hari) dan Arafaat adalah ismul makan (nama tempat)” Hasyiah Raddil Mukhtar, II:192
Menurut Imam ar-Raghib, al-Baghawi, dan al-Kirmani Arafah adalah
إِسْمٌ لِلْيَوْمِ التَّاسِعِ مِنْ ذِي الحِجَّةِ
“Nama hari ke-9 dari bulan Dzulhijjah.”
Hari tersebut dinamakan Arafah berkaitan dengan peristiwa mimpinya Nabi Ibrahim yang diperintah untuk menyembelih anaknya. Pada pagi harinya
فَعَرَفَ أَنَّهُ مِنَ اللهِ فَسُمِّيَ يَوْمَ عَرَفَةَ
“Maka ia mengenal/mengetahui bahwa mimpi itu benar-benar (datang) dari Allah. Maka (hari itu) dinamakan hari Arafah”. Lihat, al-Mughni, III:58
Menurut Imam al-‘Aini dan ar-Raghib Arafat adalah
عَلَمٌ لِهذَا المَكَانِ المَخْصُوصِ
“Nama bagi tempat yang khusus ini.” (Lihat, Umdatul Qari, I:263; dalam redaksi ar-Raghib: buq’ah makhshushah [tanah/daerah yang khusus] Lihat, al-Mufradat fi Gharibil Quran, hal. 969)
Adapun tempat tersebut dinamakan Arafah berkaitan dengan peristiwa ta’arufnya antara Nabi Adam dan Hawa ditempat itu, sebagaimana dijelaskan Ibnu Abas
وَتَعَارَفَا بِعَرَفَاتِ فَلِذلِكَ سُمِّيَتْ عَرَفَاتِ
“Dan keduanya ta’aruf di Arafat, karena itu dinamai ‘Arafat.” (Lihat, al-Kamil fit Tarikh, I:12). Keterangan Ibnu Abas itu dijadikan pinjakan oleh para ulama, antara lain Yaqut bin Abdullah al-Hamuwi dalam Mu’jam al-Buldan (IV:104), Ahmad bin Yahya bin al-Murtadha, dalam at-Taj al-Madzhab li Ahkam al-Madzhab, (II:89); ar-Raghib al-Ashfahani dalam al-Mufradat fi Gharibil Quran (hal. 969).
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa
a. Penamaan Arafah, baik sebagai ismul yaum maupun ismul makan, sudah digunakan sebelum disyariatkan ibadah haji.
b. Penamaan Arafah bukan karena fi’lun (wukuf dalam ibadah haji). Dengan perkataan lain, fi’lun (wukuf dalam ibadah haji) bukan muqaddamah wujud penamaan Arafah.

2. Latar belakang penamaan Shaum dengan Arafah
Nabi menyatakan:
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ
Kalimat Yaum Arafah disebut idhafah bayaniyyah, yakni bayan zamani (keterangan waktu), bukan idhafah makaniyyah, apalagi idhafah fi’liyyah. Berdasarkan latar belakang penamaan di atas maka struktur kalimat Shaum Yaum Arafah harus dipahami “Shaum pada hari ke-9 bulan Dzulhijjah yang disebut hari Arafah” Dengan demikian, penyandaran kata shaum pada kalimat Yaum ‘Arafah untuk menunjukkan bahwa Yaum Arafah (hari ke-9) itu sebagai muqaddamah wujud, yaitu syarat sahnya shaum tersebut. Dengan perkataan lain, shaum itu terikat oleh miqat zamani (ketentuan waktu). Apabila struktur kalimat Shaum Yaum Arafah akan dipahami bahwa “shaum itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah”, maka harus disertakan qarinah (keterangan pendukung), karena cara pemahaman seperti ini khilaful qiyas (menyalahi kaidah), dalam hal ini kaidah tentang idhafah bayan zamani, juga dalil-dalil tentang shaum itu. Karena dalam berbagai hadis untuk shaum ini digunakan beberapa sebutan, yaitu:
1) Tis’a Dzilhijjah (9 Dzulhijjah)
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ r قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ r يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ– رواه أبو داود وأحمد والبيهقي -
Dari sebagian istri Nabi saw., ia berkata, “Rasulullah saw. shaum tis’a Dzilhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan” H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz VI:418, No. 2081; Ahmad, Musnad Ahmad, 45:311, No. 21302, 53:424. No. 25263, dan al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:285, Syu’abul Iman, VIII:268
Dalam hadis ini disebut dengan lafal Tis’a Dzilhijjah, yang berarti tanggal 9 Dzulhijjah. Hadis ini memberikan batasan miqat zamani (ketentuan waktu pelaksanaan) shaum ini, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah.

2) Shaum al-‘Asyru
عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ : أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُولُ اللهِ e : صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَ العَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلغَدَاةِ – رواه أحمد و النسائي -
Dari Hafshah, ia berkata,” Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. : shaum Asyura, shaum arafah, shaum tiga hari setiap bulan dan dua rakaat qabla subuh.”.H.r. Ahmad, al-Musnad, X : 167. No. 26521 dan an-Nasai, Sunan an-Nasai, II : 238
Kata al-‘Asyru secara umum menunjukkan jumlah 10 hari. Berdasarkan makna umum itu, maka dapat dipahami dari hadis tersebut bahwa Rasul tidak pernah meninggalkan shaum 10 hari bulan Dzulhijjah. Namun pemahaman itu jelas bertentangan dengan ketetapan Nabi sendiri yang melarang shaum pada hari Iedul Adha (10 Dzulhijjah) (Hr. An-Nasai, as-Sunan al-Kubra, II:150) serta penjelasan Aisyah “Aku sama sekali tidak pernah melihat Nabi shaum pada 10 (Dzulhijjah)” (H.r. Muslim)
Dengan demikian kata al-Asyru pada hadis ini sama maksudnya dengan Tis’a Dzilhijjah pada hadis di atas. Adapun penamaan shaum tanggal 9 Dzulhijjah dengan al-‘Asyru, karena hari pelaksanaan shaum tersebut termasuk pada hari-hari al-‘Asyru (10 hari pertama bulan Dzulhijjah) yang agung sebagaimana dinyatakan Rasul dalam hadis sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلعم وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ – رواه الترمذي
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya ia berkata, ‘Rasulullah saw. Bersabda, ‘Tidak ada dalam hari-hari yang amal shalih padanya lebih dicintai Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini. Para sahabat bertanya, ‘(apakah) jihad fi Sabilillah juga tidak termasuk? Rasul menjawab, ‘Tidak, kecuali seseorang yang berkorban dengan jiwanya dan hartanya kemudian dia tidak mengharapkan apa-apa darinya.’ Hr. At-Tirmidzi, Tuhfah al-Ahwadzi, III: 463
Selain itu penamaan tersebut menunjukkan bahwa hari ‘Arafah itu hari yang paling agung di antara hari-hari yang sepuluh itu, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi saw.
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يَعْتِقَ اللهُ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ المَلاَئِكَةُ فَيَقُولُ : مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟ – رواه مسلم -
“Tiada hari yang Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari neraka melebihi hari Arafah, dan bahwa Ia dekat. Kemudian malaikat merasa bangga dengan mereka, mereka (malaikat) berkata, ‘Duhai apakah gerangan yang diinginkan mereka?’.” (Lihat, Shahih Muslim, I : 472)
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa
a) Penamaan Shaum itu dengan yaum Arafah, Tis’a Dzilhijjah, dan al-Asyru menunjukkan bahwa pelaksanaan shaum tersebut terikat oleh miqat zamani (tanggal 9 Dzulhijjah)
b) Penamaan shaum Arafah bukan karena fi’lun (wukuf dalam ibadah haji). Dengan perkataan lain, fi’lun (wukuf dalam ibadah haji) bukan muqaddamah wujud disyariatkannya shaum Arafah. Karena itu, penamaan tersebut tidak dapat dijadikan dalil bahwa waktu shaum itu harus bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah.

Untuk lebih mempertegas bahwa waktu shaum itu tidak disyaratkan harus bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, maka kita kaji berdasarkan Tarikh Tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha.

3. Tarikh Tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah saw. datang ke Madinah, dan mereka mempunyai dua hari yang mereka bermain-main pada keduanya pada masa jahiliyyah. Maka beliau bersabda, ‘Sungguh Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Adha dan Hari Fitri’.” H.r. Ahmad, Musnad Ahmad, XXIV:114, No. 11568; Abu Daud, Sunan Abu Daud, III:353, No. 959. Dan redaksi di atas versi Ahmad.
Sehubungan dengan hadis itu para ulama menerangkan bahwa Ied yang pertama disyariatkan adalah Iedul Fitri, kemudian Iedul Adha. Keduanya disyariatkan pada tahun ke-2 hijrah. (Lihat, Shubhul A’sya, II:444; Bulughul Amani, juz VI:119; Subulus Salam, I:60)
Dalam hal ini para ulama menerangkan:
وَإِنَّمَا كَانَ يَوْمُ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عِيدًا لِجَمِيعِ هَذِهِ الْأُمَّةِ إشَارَةً لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ قَبْلَهُ كَمَا أَنَّ يَوْمَ النَّحْرِ هُوَ الْعِيدُ الْأَكْبَرُ لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ قَبْلَهُ إذْ لَا يَوْمَ يُرَى أَكْثَرُ عِتْقًا مِنْهُ
“Yaum fitri dari Ramadhan (ditetapkan) sebagai ied bagi semua umat ini tiada lain sebagai isyarat karena banyaknya pembebasan (dari neraka), sebagaimana hari Nahar, yang dia itu ied akbar, karena banyaknya pembebasan (dari nereka) pada hari Arafah sebelum Iedul Adha. Karena tidak ada hari yang dipandang lebih banyak pembebasan daripada hari itu (Arafah)” (Lihat, Hasyiah al-Jumal, VI:203; Hasyiah al-Bajirumi ‘alal Manhaj, IV:235)
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Shaum Arafah mulai syariatkan bersamaan dengan Iedul Adha, yaitu tahun ke-2 hijriah. Keduanya disyariatkan setelah syariatkannya Shaum Ramadhan dan Iedul Fitri pada tahun yang sama.
Adapun ibadah haji (termasuk di dalamnya wukuf di Arafah) mulai disyariatkan pada tahun ke-6 hijriah sebagaimana dinyatakan oleh Jumhur ulama (lihat, Fathul Bari, III:442). Namun menurut Ibnu Qayyim disyariatkan tahun ke-9/ke-10 Hijriah. (lihat, Zaadul Ma’ad, II:101, Manarul Qari, III:64)
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa
a. Waktu tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha lebih dahulu daripada tasyri’ wukuf di Arafah.
b. Wukuf di Arafah bukan muqaddamah wujud shaum Arafah dan Iedul Adha.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan “Istinbat bahwa waktu shaum Arafah dan Iedul Adha harus berdasarkan standard pelaksanaan wukuf di Arafah” tidak berdasarkan dalil dan thuruqul istinbath yang jelas.

MA’LUMAT MA’HAD ‘ALY AN-NUUR
Sehubungan dengan pelaksanaan Shaum Arafah dan Hari Raya Idul Adha, Pengurus Ma’had ‘Aly An-Nuur Waru Baki Sukoharjo menyampaikan maklumat sebagai berikut :

1. Firman Allah Ta’ala :

يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah : "Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (Qs. Al-Baqarah:189)

2. Hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam :

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً فَلاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“(Hitungan) bulan itu adalah 29 malam, maka janganlah kamu melakukan shiyam kecuali sampai kamu melihat hilal, dan jika tidak nampak olehmu maka genapkanlah menjadi tiga puluh.” (Shahih Bukhari, hadits no. 1907; Shahih Muslim, hadits no. 1080; dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu)

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Shiyam dilaksanakan pada hari kamu (umat Islam) melaksanakan shiyam, idul fithri dilaksanakan pada hari kamu (umat Islam) beridul fithri, dan idul adha dilaksanakan pada hari kamu (umat islam) beridul adha.” (Sunan Tirmidzi, hadits no. 697; Sunan Abu Daud, hadits no. 2324; Sunan Ibnu Majah, hadits no.1660; dari sahabat Abu Hurairah. Shahih menurut Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, hadits no. 224).
Imam Tirmidzi berkata : “Hadits ini ditafsirkan oleh sebagian ahlul ilmi, bahwa maknanya adalah pelaksanaan shiyam dan berbuka dilakukan bersama komunitas dan kebanyakan manusia.” (Sunan Tirmidzi, II/163, Darul Fikr, 1414-1994)

3. Pendapat dan Fatwa Ulama’.

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728 H.)

قال : يصومون التاسع في الظاهر المعروف عند الجماعة، وإن كان في نفس الأمر يكون عاشراً، ولو قدر ثبوت تلك الرؤية. فان فـي السنن عن أبي هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم أنه قال : (( صومكم يوم تصومون ، وفطركم يوم تفطرون ، وأضحاكم يوم تضحون )) أخرجه أبو داود، وابن ماجه، والترمذي وصححه. وعن عائشة - رضي الله عنها - أنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( الفطر يوم يفطر الناس ، والأضحى يوم يضح الناس )) رواه الترمذي ، وعلى هذا العمل عند أئمة المسلمين كلهم.

وقال : وصوم اليوم الذي يشك فيه : هل هو تاسع ذي الحجة ؟ أو عاشر ذي الحجة ؟ جائز بلا نزاع بين العلماء ..

“Mereka hendaknya melaksanakan shiyam pada tanggal sembilan dzulhijjah seperti yang nampak lagi diketahui oleh kebanyakan orang, bisa jadi sebenarnya itu tanggal sepuluh, jika perkiraan hasil rukyah sudah dipastikan. Karena sesungguhnya di dalam kitab-kitab As-Sunan disebutkan, bersumber dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda : ((Pelaksanaan shiyam kamu jatuh pada hari kamu shiyam. Pelaksanaan idul fithri kamu jatuh pada hari kamu beridul fithri. Pelaksanaan idul adha kamu jatuh pada hari kamu beridul adha)). Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan dinyatakan shahih olehnya. Dan juga hadits yang bersumber dari Aisyah radhiyallâhu anha bahwasanya dia berkata : Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda : ((Idul fithri itu jatuh pada hari (kebanyakan) manusia beridul fithri, dan idul adha itu jatuh pada hari (kebanyakan) manusia beridul adha)). Diriwayatkan oleh Tirmidzi. Dan berdasarkan amalan inilah para a’immatul muslimin seluruhnya melaksanakan.” (Majmu’ Fatawa, XXV/202)

“Dan shiyam yang dilakukan pada hari yang diragukan kepastian harinya, apakah pada tanggal sembilan atau sepuluh dzulhijjah ? Shiyam tersebut boleh dilakukan tanpa ada pertentangan di antara para ulama’.” (Majmu’ Fatawa, XXV/203)

2. Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (Mufti Kerajaan Arab Saudi)

قال : والذي يظهر لي أن اختلافها لا يؤثر ، وأن الواجب هو العمل برؤية الهلال صوماً وإفطاراً وتضحية متى تثبت رؤيته ثبوتاً شرعياً في أي بلد ما ؛ لعموم الأحاديث ..

وقال : وإذا قلنا باعتبار اختلاف المطالع في الحكم أو لم نقل به ، فالظاهر أن الحكم في رمضان والأضحى سواء ، لا فرق بينهما فيما أعلمه من الشرع .

“Dan yang kuat menurut saya adalah adanya perbedaan terbitnya hilal tidak berpengaruh kepada keabsahannya sebagai sandaran hukum. Dan yang wajib adalah bersandar kepada rukyah hilal dalam masalah shiyam, idul fithri dan idul adha, yaitu tatkala rukyah sudah diputuskan secara syar’i, di negeri manapun juga; berdasarkan keumumam hadits-hadits rukyah.”
“Dan apabila kita berpendapat bahwa perbedaan terbitnya hilal itu sah sebagai sandaran hukum ataupun tidak, yang jelas hukum dalam menentukan Ramadhan dan Idul Adha ini adalah sama, tidak ada perbedaan di antara keduanya, sepanjang yang saya ketahui dari dalil-dalil syari’i.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Bâz, XV/79)

3. Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin.

سئل فضيلة الشيخ ـ رحمه الله تعالى ـ :
إذا اختلف يوم عرفة نتيجة لاختلاف المناطق المختلفة في مطالع الهلال فهل نصوم تبع رؤية البلد التي نحن فيها أم نصوم تبع رؤية الحرمين

فأجاب فضيلته بقوله : هذا يبنى على اختلاف أهل العلم : هل الهلال واحد في الدنيا كلها أم هو يختلف باختلاف المطالع ؟ والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع، فمثلاً إذا كان الهلال قد رؤي بمكة، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد. وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة، هذا هو القول الراجح، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول : « إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا » وهؤلاء الذين لم يُر في جهتهم لم يكونوا يرونه، وكما أن الناس بالإجماع يعتبرون طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها، فكذلك التوقيت الشهري يكون كالتوقيت اليومي.

وقال : وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه ، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه

Syaikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Bila hari Arofah itu berbeda dikarenakan perbedaan negara dalam melihat hilal. Apakah kita shaum mengikuti rukyah hilal di negeri kita tinggal, ataukah mengikuti rukyah Haramain?”
Beliau menjawab, “Hal ini berdasar pada perselisihan ulama, “Apakah hilal di dunia itu satu ataukah berbeda sebagaimana perbedaan mathla’ (terbitnya hilal)? Dan yang benar, bahwa hal itu bisa berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’. Contoh mudah, bila hilal telah dilihat di Makkah dan ketika itu hari ke-9, tapi di negeri lain terlihatnya sehari sebelum Makkah, dan hari Arafah menurut negeri itu adalah hari ke-10, maka tidak boleh bagi mereka shaum pada hari ini karena sudah hari ied. Demikian juga bila diperkirakan rukyah mereka lebih lambat daripada Makkah, yang menurut mereka hari ke-9 di Makkah adalah hari ke-8 di negeri mereka. Maka hendaknya mereka shaum pada hari ke-9 menurut mereka dan hari ke-10 menurut Makkah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallah bersabda, “Bila kalian melihatnya (rukyah hilal) maka shaum, dan bila kalian melihatnya (rukyah hilal) maka berbukalah.” Dan di negeri mereka yang belum terlihat hilal, tentunya mereka belum melihatnya. Sebagaimana berdasarkan ijma’ jika manusia menjadikan terbitnya fajar dan terbenamnya matahari sebagai patokan berdasarkan masing-masing negeri dan tempat, maka begitu juga dengan hitungan waktu perbulan, sama dengan hitungan waktu perhari.” (Fatawa wa Rasa’il Ibnu Utsaimin, XX/47-48)
Beliau juga pernah memfatwakan, “Berdasarkan ini semua, maka lakukanlah shiyam dan idul fithri seperti yang dilakukan oleh penduduk negeri yang kamu tempati, walaupun (rukyah negeri lain) bisa sama atau berbeda dengan rukyah negeri yang kamu tempati. Dan begitu juga hari Arafah, ikuti saja negeri yang kamu bertempat tinggal di dalamnya.” (Fatawa wa Rasa’il Ibnu Utsaimin, XIX/41)

4. Hasil keputusan Dewan Itsbat tentang rukyah hilal yang memutuskan tidak terlihatnya hilal Dzulqa’dah .

Maka kami menetapkan bahwa shaum Arafah jatuh pada hari Selasa, 09 Dzulhijjah 1431 H, bertepatan dengan tanggal 16 November 2010. Dan Iedul Adha 1431 H. jatuh pada hari Rabu, 10 Dzulhijjah 1431 H., bertepatan pada tanggal 17 November 2010.
Demikian maklumat ini kami sampaikan, semoga menjadi perhatian bagi kita semua.

Sukoharjo, 5 Dzulhijjah 1431H.
Mudir Ma’had ‘Aly An-Nuur,
Ust. Imtihan Asy Syafi’i, M.IF

-anshorullah-

Reference Website terkait:
1. http://rendyasylum.wordpress.com/2010/11/08/penentuan-shaum-arafah-dan-iedul-adha-berdasarkan-wukuf/
2. Fatwa dari Asy-Syaikh Dr. Muhammad Al-Maghrawiy hafidhahullah http://www.darcoran.org/?taraf=fatawi&file=displayfatawi&id=119
3. http://hizbut-tahrir.or.id/2010/11/12/perbedaan-penetapan-idul-adha-1431-h/
4. Fatwa dari Asy-Syaikh Al-‘Ubailaan hafidhahullah
http://kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=97989
5. Fatwa Lajnah Daaimah 10/393, ketua : ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Baaz, anggota : ‘Abdullah bin Ghudayaan - http://dean4me.com/play-130.html
6. http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/11/fatwa-lajnah-daaimah-asy-syaikh-al.html

Minggu, 14 November 2010

MA’LUMAT MA’HAD ALY AN-NUUR TENTANG SHOUM AROFAH & IDUL ADLHA 1431 H

Sehubungan dengan pelaksanaan Shaum Arafah dan Hari Raya Idul Adha, kami Pengurus Ma’had ‘Aly An-Nuur Waru Baki Sukoharjo menyampaikan maklumat sebagai berikut :



1. Firman Allah Ta’ala :

يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah : "Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (Qs. Al-Baqarah:189)



2. Hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam :

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً فَلاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ

Artinya : “(Hitungan) bulan itu adalah 29 malam, maka janganlah kamu melakukan shiyam kecuali sampai kamu melihat hilal, dan jika tidak nampak olehmu maka genapkanlah menjadi tiga puluh.” (Shahih Bukhari, hadits no. 1907; Shahih Muslim, hadits no. 1080; dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu)

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

Artinya : “Shiyam dilaksanakan pada hari kamu (umat Islam) melaksanakan shiyam, idul fithri dilaksanakan pada hari kamu (umat Islam) beridul fithri, dan idul adha dilaksanakan pada hari kamu (umat islam) beridul adha.” (Sunan Tirmidzi, hadits no. 697; Sunan Abu Daud, hadits no. 2324; Sunan Ibnu Majah, hadits no.1660; dari sahabat Abu Hurairah. Shahih menurut Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, hadits no. 224).

Imam Tirmidzi berkata : “Hadits ini ditafsirkan oleh sebagian ahlul ilmi, bahwa maknanya adalah pelaksanaan shiyam dan berbuka dilakukan bersama komunitas dan kebanyakan manusia.” (Sunan Tirmidzi, II/163, Darul Fikr, 1414-1994)



3. Pendapat dan Fatwa Ulama’.

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728 H.)

قال : يصومون التاسع في الظاهر المعروف عند الجماعة، وإن كان في نفس الأمر يكون عاشراً، ولو قدر ثبوت تلك الرؤية. فان فـي السنن عن أبي هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم أنه قال : (( صومكم يوم تصومون ، وفطركم يوم تفطرون ، وأضحاكم يوم تضحون )) أخرجه أبو داود، وابن ماجه، والترمذي وصححه. وعن عائشة - رضي الله عنها - أنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( الفطر يوم يفطر الناس ، والأضحى يوم يضح الناس )) رواه الترمذي ، وعلى هذا العمل عند أئمة المسلمين كلهم.

وقال : وصوم اليوم الذي يشك فيه : هل هو تاسع ذي الحجة ؟ أو عاشر ذي الحجة ؟ جائز بلا نزاع بين العلماء ..

Mereka hendaknya melaksanakan shiyam pada tanggal sembilan dzulhijjah seperti yang nampak lagi diketahui oleh kebanyakan orang, bisa jadi sebenarnya itu tanggal sepuluh, jika perkiraan hasil rukyah sudah dipastikan. Karena sesungguhnya di dalam kitab-kitab As-Sunan disebutkan, bersumber dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda : ((Pelaksanaan shiyam kamu jatuh pada hari kamu shiyam. Pelaksanaan idul fithri kamu jatuh pada hari kamu beridul fithri. Pelaksanaan idul adha kamu jatuh pada hari kamu beridul adha)). Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan dinyatakan shahih olehnya. Dan juga hadits yang bersumber dari Aisyah radhiyallâhu anha bahwasanya dia berkata : Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda : ((Idul fithri itu jatuh pada hari (kebanyakan) manusia beridul fithri, dan idul adha itu jatuh pada hari (kebanyakan) manusia beridul adha)). Diriwayatkan oleh Tirmidzi. Dan berdasarkan amalan inilah para a’immatul muslimin seluruhnya melaksanakan.” (Majmu’ Fatawa, XXV/202)

Dan shiyam yang dilakukan pada hari yang diragukan kepastian harinya, apakah pada tanggal sembilan atau sepuluh dzulhijjah ? Shiyam tersebut boleh dilakukan tanpa ada pertentangan di antara para ulama’.” (Majmu’ Fatawa, XXV/203)



1. Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (Mufti Kerajaan Arab Saudi)

قال : والذي يظهر لي أن اختلافها لا يؤثر ، وأن الواجب هو العمل برؤية الهلال صوماً وإفطاراً وتضحية متى تثبت رؤيته ثبوتاً شرعياً في أي بلد ما ؛ لعموم الأحاديث ..

وقال : وإذا قلنا باعتبار اختلاف المطالع في الحكم أو لم نقل به ، فالظاهر أن الحكم في رمضان والأضحى سواء ، لا فرق بينهما فيما أعلمه من الشرع .

“Dan yang kuat menurut saya adalah adanya perbedaan terbitnya hilal tidak berpengaruh kepada keabsahannya sebagai sandaran hukum. Dan yang wajib adalah bersandar kepada rukyah hilal dalam masalah shiyam, idul fithri dan idul adha, yaitu tatkala rukyah sudah diputuskan secara syar’i, di negeri manapun juga; berdasarkan keumumam hadits-hadits rukyah.”

“Dan apabila kita berpendapat bahwa perbedaan terbitnya hilal itu sah sebagai sandaran hukum ataupun tidak, yang jelas hukum dalam menentukan Ramadhan dan Idul Adha ini adalah sama, tidak ada perbedaan di antara keduanya, sepanjang yang saya ketahui dari dalil-dalil syari’i.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Bâz, XV/79)



1. Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin.

سئل فضيلة الشيخ ـ رحمه الله تعالى ـ : إذا اختلف يوم عرفة نتيجة لاختلاف المناطق المختلفة في مطالع الهلال فهل نصوم تبع رؤية البلد التي نحن فيها أم نصوم تبع رؤية الحرمين ؟

فأجاب فضيلته بقوله : هذا يبنى على اختلاف أهل العلم : هل الهلال واحد في الدنيا كلها أم هو يختلف باختلاف المطالع ؟ والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع، فمثلاً إذا كان الهلال قد رؤي بمكة، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد. وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة، هذا هو القول الراجح، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول : « إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا » وهؤلاء الذين لم يُر في جهتهم لم يكونوا يرونه، وكما أن الناس بالإجماع يعتبرون طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها، فكذلك التوقيت الشهري يكون كالتوقيت اليومي.

وقال : وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه ، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه

Syaikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Bila hari Arofah itu berbeda dikarenakan perbedaan negara dalam melihat hilal. Apakah kita shaum mengikuti rukyah hilal di negeri kita tinggal, ataukah mengikuti rukyah Haramain?”

Beliau menjawab, “Hal ini berdasar pada perselisihan ulama, “Apakah hilal di dunia itu satu ataukah berbeda sebagaimana perbedaan mathla’ (terbitnya hilal)? Dan yang benar, bahwa hal itu bisa berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’. Contoh mudah, bila hilal telah dilihat di Makkah dan ketika itu hari ke-9, tapi di negeri lain terlihatnya sehari sebelum Makkah, dan hari Arafah menurut negeri itu adalah hari ke-10, maka tidak boleh bagi mereka shaum pada hari ini karena sudah hari ied. Demikian juga bila diperkirakan rukyah mereka lebih lambat daripada Makkah, yang menurut mereka hari ke-9 di Makkah adalah hari ke-8 di negeri mereka. Maka hendaknya mereka shaum pada hari ke-9 menurut mereka dan hari ke-10 menurut Makkah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallah bersabda, “Bila kalian melihatnya (rukyah hilal) maka shaum, dan bila kalian melihatnya (rukyah hilal) maka berbukalah.” Dan di negeri mereka yang belum terlihat hilal, tentunya mereka belum melihatnya. Sebagaimana berdasarkan ijma’ jika manusia menjadikan terbitnya fajar dan terbenamnya matahari sebagai patokan berdasarkan masing-masing negeri dan tempat, maka begitu juga dengan hitungan waktu perbulan, sama dengan hitungan waktu perhari.” (Fatawa wa Rasa’il Ibnu Utsaimin, XX/47-48)

Beliau juga pernah memfatwakan, “Berdasarkan ini semua, maka lakukanlah shiyam dan idul fithri seperti yang dilakukan oleh penduduk negeri yang kamu tempati, walaupun (rukyah negeri lain) bisa sama atau berbeda dengan rukyah negeri yang kamu tempati. Dan begitu juga hari Arafah, ikuti saja negeri yang kamu bertempat tinggal di dalamnya.” (Fatawa wa Rasa’il Ibnu Utsaimin, XIX/41)



1. 4. Hasil keputusan Dewan Itsbat tentang rukyah hilal yang memutuskan tidak terlihatnya hilal Dzulqa’dah .

Maka kami menetapkan bahwa shaum Arafah jatuh pada hari Selasa, 09 Dzulhijjah 1431 H, bertepatan dengan tanggal 16 November 2010. Dan Iedul Adha 1431 H. jatuh pada hari Rabu, 10 Dzulhijjah 1431 H., bertepatan pada tanggal 17 November 2010.

Demikian maklumat ini kami sampaikan, semoga menjadi perhatian bagi kita semua.



Sukoharjo, 5 Dzulhijjah 1431H.


Mudir Ma’had ‘Aly An-Nuur,


Ust. Imtihan Asy Syafi’i, M.IF

Rabu, 10 November 2010

Bukan orang baik yang nggak paham ilmu Agama

“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapat kebaikan, maka Allah jadikan dia paham agama ini.”
Hadits di atas barangkali jarang kita dengarkan, atau malah baru pertama kali. Tapi tidak mengapa, karena tidak ada yang perlu disesali jika waktu usia kita dahulu sudah berusaha mencari ilmu, namun belum ketemu ilmu mana yang benar, yang sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Semoga sampai saat ini pun, kita masih tetap mencari ilmu yang sesuai dengan sunnah yang benar, merujuk pada pemahaman Salafus sholeh, Ahlus Sunnah Waljama’ah.
Jika kita perhatikan sabda Rasulullah saw di atas, maka jelaslah bahwa orang yang Allah taqdirkan menjadi orang baik dan senantiasa mendapat kebaikan adalah orang yang Allah berikan kepadanya ilmu agama.
Kita perhatikan apa yang disampaikan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullah dalam kitabnya, Fathul Bari (I/222). Beliau mengatakan, “Dari hadits ini dapat dipahami, bahwa orang-orang yang tidak paham agama dan dasar-dasarnya, ia tidak akan mendapat kebaikan sedikitpun.”
Kita setuju dengan yang beliau sampaikan. Bahwa tidak bisa dikatakan orang muslim yang baik, manakala ia tidak mengetahui ilmu tentang agamanya. Alasannya adalah, karena muslim yang baik adalah jika ia telah beribadah dalam rangka melaksanakan tujuan penciptaannya kepada Allah swt, dengan ibadah yang benar. Bagaimana jadinya jika tak paham agama, kemudian melaksanakan ibadah kepada Allah. Shalat, namun tidak paham tata cara shalat. Berwudhu, tapi tidak tahu bahwa buang angin itu membatalkan wudhunya. Dan begitu juga rangkaian ibadah-ibadah lainnya.
Terlebih jika berkenaan dengan perkara aqidah yang erat kaitannya dengan iman kita. Padahal yang kita ketahui, bahwa dengan aqidahnyalah seseorang akan mendapat gelar mukmin ataukah mubtadi’ (pelaku bid’ah), atau kafir dan munafik. Semuanya tergantung aqidah yang diyakini dalam hati. Maka, jika ada orang yang tidak memahami dasar aqidahnya, bisa saja orang itu sudah tidak lagi pantas mendapat gelar mukmin yang sejati. Tanpa sadar bisa menjadi mubtadi’, atau zindik, munafik, mu’tazilah, murjiah, khowarij, atau bahkan kafir!
Semuanya sangat berpotensi menjadi bagian dari sekte dalam Islam itu, karena aqidah yang tidak dipahami, atau salah memahami perkara aqidah. Dia bersyahadat dan menyatakan diri sebagai seorang muslim, namun tak mengerti pembatal syahadat dan keislamannya, dan akhirnya pun melaksanakan pembatal keimanan keislamannya. Sungguh naas sekali nasib seorang muslim yang demikian ini. Ibarat saat melaksanakan shalat, seseorang buang angin, namun tidak mengerti bahwa shalatnya sudah batal dengan batalnya wudhunya. Ia terus saja shalat hingga selesai, dan berkeyakinan bahwa shalatnya sah. Kita tentunya tidak mungkin mau menjadi orang Islam, yang ternyata telah melaksanakan perbuatan yang membatalkan keislaman, dan menyangka kita masih Islam dan Islam kita sah, padahal sebaliknya. Wal’iyadzu billah.
Diceritakan ada seorang ahli ibadah yang sangat rajin beribadah dan besar rasa takutnya kepada Allah. Suatu ketika, ia tidak sengaja membunuh tikus, dan hal itu membuatnya tidak tenang dan sangat takut pada Allah Ta’ala. Sebagai bentuk taubatnya pada Allah Ta’ala, ia membawa bangkai tikus itu saat shalat.
Apakah shalatnya sah? Jawabnya tentu tidak, karena bangkai adalah najis. Tidaklah berguna amalan dan rasa takutnya pada Allah swt, karena Allah tidak memberikan ilmu agama kepadanya.
Hanya dengan ilmu Islamlah seseorang akan menjadi baik di dunia. Jikalau ada seorang muslim yang baik budi pekertinya, namun ia sama sekali tidak mengenal ajaran Islam yang benar, maka sebenarnya akhlaknya yang baik itu hanyalah kebiasaan yang tidak membuahkan pahala. Karena seorang muslim akan beramal sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Bukan karena faktor lingkungan, adat, atau yang sejenisnya. Hanya untuk Allah seorang muslim beramal. Hanya berdasarkan syari’at dan sunnah sajalah seorang muslim beribadah.
Seorang muslim yang tidak Allah pahamkan kepadanya ilmu agama, antara kebaikannya dengan keburukan yang dikerjakanya, lebih dominan keburukannya. Shalat terkadang dilakukan, terkadang tidak. Shalat, tapi tak berjilbab dan makan yang haram. Puasa juga demikian diremehkan. Apatah lagi qiyamullail dan amalan-amalan sunnah lainnya, mungkin sama sekali tidak dilirik.
Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah akan memberikan kebaikan dan menjadikan seseorang baik, diawali dengan diberikannya pemahaman yang baik atas agamanya. Artinya, orang itu tidaklah orang yang baik, jika ia tak tahu soal agama, sekalipun dia Islam (istilah kerennya, islam KTP). Sampai ia paham soal agamanya, baru bisa tergolong orang yang baik. Dan tentunya, ilmu agama yang dimaksud adalah ilmu berkenaan dengan aqidah atau keyakinannya, dan ilmu agama yang berhubungan dengan ibadah yang ia lakukan.
Dari sinilah para ulama’ membagi macam ilmu sesuai dengan hukum menuntutnya. Jangan salah memilih ilmu, sebelum mengetahui hukum ilmu yang akan dicari. Jangan mencari ilmu yang hukumnya sunnah, sedangkan yang wajib belum dicari. Jangan pula asal memilih tempat mengkaji dan mendapat ilmu, sebelum mengetahui tempat kajian itu adalah yang berpegang pada manhaj ahlus sunnah wal jama’ah. Wallahu a’lam. (-Anshorullah-)

Berdo’alah kepada Allah

"Ya Allah, jangan kembalikan aku ke keluargakau, dan limpahkanlah kepadaku kesyahidan."
Doa itu keluar dari mulut `Amru bin Jumuh, ketika ia bersiap-siap mengenakan baju perang dan bermaksud berangkat bersama kaum Muslimin ke medan Uhud. Ini adalah kali pertama bagi `Amru terjun ke medan perang, karena dia kakinya pincang. Didalam Al-Quran disebutkan, “Tiada dosa atas orang-orang buta, atas orang-orang pincang dan atas orang sakit untuk tidak ikut berperang.” (QS. Al-Fath: 17)
Karena kepincangannya itu maka `Amru tidak wajib ikut berperang, di samping keempat anaknya telah pergi ke medan perang. Tidak seorangpun menduga `Amru dengan keadaannya yang seperti itu akan memanggul senjata dan bergabung dengan kaum Muslimin lainnya untuk berperang.
Sebenarnya, kaumnya telah mencegah dia dengan mengatakan, “Sadarilah hai `Amru, bahwa engkau pincang. Tak usahlah ikut berperang bersama Nabi.”
Namun `Amru menjawab, “Mereka semua pergi ke surga, apakah aku harus duduk-duduk bersama kalian?”
Meski `Amru berkeras, kaumnya tetap mencegahnya pergi ke medan perang. Karena itu `Amru kemudian menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, Kaumku mencegahku pergi berperang bersama Tuan. Demi Allah, aku ingin menginjak surga dengan kakiku yang pincang ini.”
“Engkau dimaafkan. Berperang tidak wajib atas dirimu.” Kata Nabi mengingatkan.
“Aku tahu itu, wahai Rasulullah. Tetapi aku ingin berangkat ke sana.” Kata `Amru tetap berkeras.
Melihat semangat yang begitu kuat, Rasulullah kemudian bersabda kepada kaum `Amru, “Biarlah dia pergi. Semoga Allah menganugerahkan kesyahidan kepadanya.”
Dengan terpincang-pincang `Amru akhirnya ikut juga berperang di barisan depan bersama seorang anaknya. Mereka berperang dengan gagah berani, seakan-akan berteriak, “Aku mendambakan surga, aku mendambakan mati, sampai akhirnya ajal menemui mereka.”
Setelah perang usai, kaum wanita yang ikut ke medan perang semuanya pulang. Di antara mereka adalah ‘Aisyah. Di tengah perjalanan pulang itu `Aisyah melihat Hindun, istri `Amru bin Jumuh sedang menuntun unta ke arah Madianh. `Aisyah bertanya, “Bagaimana beritanya?”
“Baik-baik, Rasulullah selamat. Musibah yang ada hanya ringan-ringan saja. Sedang orang-orang kafir pulang dengan kemarahan.” Jawab Hindun.
“Mayat siapakah di atas unta itu?”
“Saudaraku, anakku dan suamiku.”
“Akan dibawa ke mana?”
“Akan dikubur di Madinah.”
Setelah itu Hindun melanjutkan perjalanan sambil menuntun untanya ke arah Madinah. Namun untanya berjalan terseot-seot lalu merebah.
“Barangkali terlalu berat,” kata `Aisyah.
“Tidak. Unta ini kuat sekali. Mungkin ada sebab lain.” Jawab Hindun.
Ia kemudian memukul unta tersebut sampai berdiri dan berjalan kembali. Namun binatang itu berjalan dengan cepat ke arah Uhud dan lagi-lagi merebah ketika di belokkan ke arah Madinah.
Menyaksikan pemandangan aneh itu, Hindun kemudian menghadap kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyampaikan peristiwa yang dialaminya, “Hai Rasulullah. Jasad saudaraku, anakku dan suamiku akan kubawa dengan unta ini untuk dikuburkan di Madinah. Tapi binatang ini tak mau berjalan bahkan berbalik ke Uhud dengan cepat.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Hindun, “Sungguh unta ini sangat kuat. Apakah suamimu tidak berkata apa-apa ketika hendak ke Uhud?”
“Benar ya Rasulullah. Ketika hendak berangkat dia menghadap ke kiblat dan berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau kembalikan aku ke keluargaku dan limpahkanlah kepadaku kesyahidan.”
“Karena itulah unta ini tidak mau berangkat ke Medinah. Allah Ta’ala tidak mau mengembalikan jasad ini ke Madinah.” kata beliau lagi.
“Sesungguhnya diantara kamu sekalian ada orang-orang jika berdoa kepada Allah benar-benar dikabulkan. Diantara mereka itu adalah suamimu, `Amru bin Jumuh,” sambung Nabi.
Setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar ketiga jasad itu dikuburkan di Uhud. Selanjutnya beliau berkata kepada Hindun, “Mereka akan bertemu di surga. `Amru bin Jumuh, suamimu; Khulad, anakmu; dan Abdullah, saudaramu.”
“Ya Rasulullah. Doakan aku agar Allah mengumpulkan aku bersama mereka.” kata Hindun memohon kepada Nabi.
Dalam kisah yang lain, dan mungkin kita pernah mendengar, bahwa imam Ahmad pernah mendo’akan seorang ibu yang lumpuh. Seketika itu ibu tersebut sembuh dari sakitnya.
Imam al-Lalika`iy meriwayatkan di dalam kitabnya Syarh as-Sunnah dan Ghanjar di dalam kitabnya Taariikh Bukhaara mengisahkan sebagai berikut:
”Sejak kecil imam Al-Bukhary kehilangan penglihatan pada kedua matanya alis buta. Suatu malam di dalam mimpi, ibunya melihat Nabi Allah, al-Khalil, Ibrahim yang berkata kepadanya, ‘Wahai wanita, Allah telah mengembalikan penglihatan anakmu karena begitu banyaknya kamu berdoa.”
Pada pagi harinya, ia melihat anaknya dan ternyata benar, Allah telah mengembalikan penglihatannya.
Kisah tentang betapa ampuhnya do’a tersebut amat banyak kita dapatkan pada masa salaf. Bahkan sahabat Sa’ad bin Abi Waqosh adalah sorang sahabat yang dikenal sebagai orang yang tidak pernah tertolak do’anya.
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seorang Nabi yang senantiasa memohon pada Allah Ta’ala. Bahkan dalam satu hadits diriwayatkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja yang tidak meminta (memohon) kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.”
Maka, mulai sekarang juga marilah kita mulai bersungguh-sungguh dan sesering mungkin untuk berdoa kepada Allah. Semoga Allah memudahkan segala urusan kita. Amin.. (-Anshorullah-)

Rabu, 03 November 2010

Mbah Marijan dan Merapi

Indah betul gunung merapi. Walaupun baru satu kali mendakinya (Agustus tahun 2008 lalu), keindahannya tak terlupakan di memori ingatanku. Berbeda dengan gunung-gunung lainnya, setelah melewati pos terakhir -pasar Bubrah-, tak ada lagi pepohonan. Yang ada hanya batu-baru besar dan pasir tanah.
Cukup seru memang, apalagi waktu menjelang subuh, saya dan teman-teman tepat berada di tengah-tengah jalur ke puncak Garuda, padahal jalur yang kami pilih salah. Yang benar jalur kiri. Maka tak heran jika orang-orang di depan kami yang kami ikuti menginjak batu besar -sebesar kepala mobil- dan menjatuhkan tanpa sengaja batu besar itu. seketika orang-orang menjerit -termasuk saya- agar yang berada di bawah dan yang sedang mendaki lewat jalur tengah berhati-hati.
Bayanganku sepertinya ada yang kena batu itu. karena sangat banyak orang yang juga mengikuti jejak kami lewat jalur tengah. Tapi alhamdulillah gak ada satu pun korban. Gak kebayang jika ada yang ditabrak batu segede itu.
Sampai akhirnya, satu persatu pendaki turun tidak melanjutkan ke puncak. karena trauma kejadian batu besar tadi, termasuk teman aku sendiri, Mr. Fajar. Ia pelan-pelan turun ke pasar Bubrah, takut dapat batu yang serupa dan menjatuhkannya lagi.
Luar biasa memang, sholat subuh pun kami di tengah-tengah kepanikan yang sangat. "Tadz, kita subuhan di mana? turun ngeri, naek apalagi?" Hehe, tanya salah seorang anggota kita. Ya, saya jawab saja, "Di sini, pake tayammum en ndak perlu jama'ah, darurat, ne kita gak bisa bergerak."
Tapi, kayaknya gak perlu berpanjang lebar nyeritain pengalaman ndaki gunung merapi. Yang penting ending ceritanya 'Kami semua sampai puncak Garuda'. Takbir.......
So, kalau teringat gunung merapi, jadi pengen berbagi nasehat kepada masyarakat setempat yang sedang ditimpa musibah gunung meletus, atau juga kepada semua pembaca. Karena saya rasa pesan ini, di saat baru saja mendapat kejadian merapi kemaren, sangat dibutuhkan oleh saudara-saudara seislam saya di mana pun berada.
Saya mulai dari nasehatnya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah. Beliau pernah berkata, "Sesungguhnya engkau saksikan banyak dari manusia yang tertimpa sedikit dari musibah, dia mengatakan, 'Wahai Tuhanku, apa dosaku hingga engkau memberikan musibah seberat ini kepadaku?' Dia berprasangka buruk kepada Allah dan merasa dirinya suci, bebas dari dosa. Padahal manusia tidak terlepas dari dosa dan khilaf."
Mungkin ada sebagian masyarakat yang mengucapkan demikian saat mendapatkan musibah. Rasa tidak terima terhadap musibah yang datang, menyebabkan mereka bersangka buruk terhadap Allah yang berkuasa menimpakn segala musibah. merka beranggapan bahwa selayaknya musibah itu diberikan hanya kepada merka yang selalunya berbuat dosa. Padahal tidaklah demikian. Justru jika seseorang semakin mantap imannya kepada Allah, ia akan mendapatkan cobaan seberat kadar keimanannya, dan termasuk bentuk cobaan itu adalah dengan didatangkannya musibah.
Namun lebih parah lagi jika ada yang menisbatkan musibah kepada selain Allah. Bukan lagi keyakinan dzat yang mendatangkan musibah adalah Allah, tetapi berubah menisbatkannya kepada selain Allah. seperti kepada juru kunci gunung, dewa-dewa, dan makhluk-makhluk ghaib sangkaan lainnya.
Kejadian letusan gunung merapi yang baru saja terjadi di akhir pekan bulan lalu, menyisakan banyak khurofat dan paham-paham bid'ah yang rusak. Mulai dari keyakinan penyebab meletusnya gunung, dewa-dewa atau makhluk ghaib penjaga gunung, sampai keyakinan terhadap sang juru kunci gunung merapi, mbah Marijan.
Keyakinan-keyakinan batil seperti di atas, sudah selayaknya dihindari oleh kaum muslimin. Karena sudah sangat jelas ketidakbenarannya di sisi syari'at yang mencacatkan tauhid Rububiyahnya kepada Allah. Tapi namanya juga manusia yang selalunya berkeluh kesah dan cenderung kepada nafsu, semuanya menjadi kesempatan yang empuk untuk dijadikan peluang emas oleh setan.
Sungguh indah apa yang disampaikan Ibnu Qoyyim rohimahullah. Beliau berkata, "Orang yang bodoh mengeluhkan tentang Allah kepada manusia. Orang yang bijak adalah orang yang mengeluh kepada Allah. Sebijak-bijak manusia adalah orang yang mengeluh kepada Allah tentang dirinya; dia mengeluh kepada Allah tentang penindasan dan musibah yang menimpanya itu tidak lain disebabkan dirinya sendiri (bukan karena keyakinan karena Allah menzhaliminya).
Teladanilah para Nabi 'alaihimus salam yang mendapat pujian Allah karena mereka mengeluh hanya kepada Allah. Allah berfirman tentang nabi Ya'kub 'alaihis salam,
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Ya'qub menjawab, "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya."
Sampai akhirnya nabi Ya'qub 'alaihis salam dapat melihat kembali setelah sebelumnya beliau buta (lihat surah Yusuf ayat 96). Dan beliau pun dapat berjumpa kembali dangan nabi Yusuf 'alaihis salam yang sangat dirindukannya (lihat surah Yusuf ayat 99-100).
Mengeluh kepada manusia atas musibah yang menimpanya menodai kesabaran dan keridhoan, bahkan dapat menghilangkannya. Para salafush sholeh jika tertimpa musibah, mereka menyembunyikannya dan tidak menampakkkannya kepada manusia. Imam Al-Manabi berkata, "Maksud dari pembicaraan ini adalah menyembunyikan musibah adalah puncak kesabaran."
Lantas, bagaimana jadinya jika musibah yang menimpa masyarakat gunung merapi kemudian mereka mengeluhkannya kepada manusia lantaran manusia itu -seperti mbah Marijan- berpengaruh terhadap letusan gunung ? Jawabnya adalah; hal itu merupakan kesyirikan yang bisa mengeluarkannya dari Islam. Karena mengeluh saat dapat musibah kepada manusia yang tidak diyakini sebagai biang musibah saja adalah dilarang, apalagi mengeluhnya kepada manusia yang diyakini berpengaruh terhadap musibah

3 Nov 2010...