Minggu, 12 Desember 2010

Klarifikasi Hukum Nikah

Fuqaha menyebutkan bahwa pada nikah diberlakukan hukum yang lima. Sehingga bisa jadi dalam satu keadaan hukumnya wajib, pada keadaan lain hukumnya mustahab/sunnah atau hanya mubah, bahkan terkadang makruh atau haram.
Adapun hukum asal menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan riwayat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad. Sebagaimana hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama, menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyyah yang mengatakan wajib.


Nikah ini merupakan sunnah para rasul, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً


“Sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri dan anak turunan.” (Ar-Ra’d: 38)


Utsman bin Mazh’un radhiyallahu 'anhu, seorang dari sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berkata, “Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkan kami, niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar tidak memiliki syahwat terhadap wanita sehingga tidak ada kebutuhan untuk menikah, pent.). Akan tetapi beliau melarang kami dari hidup membujang (tidak menikah).” (HR. Al-Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 3390)


Bagi seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina bila tidak menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadi wajib karena syahwatnya yang kuat. Ditambah lagi bila di negerinya bebas melakukan hubungan zina. Hukum nikah baginya menjadi wajib untuk menolak mafsadat tersebut. Karena meninggalkan zina hukumnya wajib, dan kewajiban tersebut tidak akan sempurna penunaiannya kecuali dengan nikah.


Hukumnya mubah bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan harta. Mubah baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya.
Adapun orang yang tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan baginya. Karena ia tidak punya kebutuhan untuk menikah dan ia akan menanggung beban yang berat. Namun terkadang pada orang yang lemah syahwat atau tidak memiliki syahwat ini, karena usia tua atau karena impoten misalnya, diberlakukan hukum makruh tanpa membedakan ia punya harta atau tidak. Karena ia tidak dapat memberikan nafkah batin kepada istrinya, sehingga pada akhirnya dapat memudaratkan si istri.
Dan haram hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan perkara- perkara yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena, menikah disyariatkan semata-mata untuk memberikan maslahat. Kalau ada tindakan aniaya seperti ini, akan hilanglah maslahat yang diharapkan, terlebih lagi jika dia berbuat dosa dan melakukan perkara-perkara yang diharamkan.


Haram pula bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah lagi namun dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً


“Maka apabila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil (bila memiliki lebih dari satu istri) maka menikahlah dengan seorang wanita saja.” (An-Nisa`: 3)


[Bada`i’ush Shana`i’, 3/331-335, Al-Ikmal 4/524, Al-Majmu’, 17/204-205, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’, Al- Ahkamusy Syar’iyyah fil Ahwalisy Syakhshiyyah, 1/36, Asy-Syarhul Mumti’, 12/6-9)


Berikut ini ucapan sejumlah ulama dari lima mazhab [Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Zhahiriyyah] tentang hukum nikah:


 Ibnu Abidin Al-Hanafi rahimahullahu dalam Hasyiyah-nya menyatakan, nikah lebih utama daripada menyibukkan diri dengan belajar dan mengajar, dan lebih utama daripada mengkhususkan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah nafilah/sunnah. (Raddul Mukhtar ‘Alad Durril Mukhtar Syarhu Tanwiril Abshar, 4/65)


 Al-Qarafi Al-Maliki rahimahullahu berkata, “Nikah –tanpa melihat keadaan orang- orang yang menikah– hukumnya mandub (sunnah). Menurut mazhab kami (Maliki) dan menurut pendapat Asy-Syafi’i, meninggalkan nikah karena ingin mengerjakan ibadah-ibadah nafilah bagi orang yang jiwanya tidak condong kepada nikah adalah afdhal. Adapun menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, nikah lebih afdhal, karena ulama berbeda pendapat tentang kewajibannya. Minimal keadaannya adalah nikah lebih dikedepankan karena dengan nikah akan menjaga kehormatan diri sepasang suami istri, akan melahirkan anak-anak yang mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dapat membanggakan banyaknya umat beliau. Dengan demikian nikah bisa meraih maslahat-maslahat yang besar. Orang yang bisa memberikan kemanfaatan/kebaikan kepada orang lain adalah lebih utama/afdhal daripada orang yang membatasi kemanfaatan untuk dirinya sendiri. Juga, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengedepankan nikah daripada puasa sebagaimana dalam hadits:
: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ


“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060 dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu) (Adz-Dzakhirah, 4/190)


 Asy-Syairazi Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata, “Siapa yang dibolehkan untuk menikah dan jiwanya sangat berkeinginan untuk melangsungkannya sementara ia mampu memberikan mahar dan nafkah kepada wanita yang dinikahinya maka mustahab baginya untuk menikah, berdasarkan hadits Abdullah. Juga, karena dengan menikah lebih menjaga kemaluannya dan lebih menyelamatkan agamanya. Namun hukum nikah tidak sampai diwajibkan atasnya.” (Al-Muhadzdzab dengan Al-Majmu’ 17/203)


 Ibnu Qudamah Al-Hanbali rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa nikah disyariatkan. Orang-orang dalam mazhab kami berbeda pendapat tentang hukum wajibnya. Namun yang masyhur dalam mazhab ini, hukumnya tidaklah wajib kecuali bila seseorang mengkhawatirkan dirinya jatuh ke dalam perkara yang dilarang bila ia meninggalkan nikah, maka wajib baginya menjaga kehormatan dirinya. Ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha.” (Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’)


 Ibnu Hazm Azh-Zhahiri rahimahullahu berkata, “Diwajibkan kepada setiap orang yang mampu untuk jima’ bila ia mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak agar melakukan salah satunya, dan ini suatu keharusan. Namun bila ia tidak bisa mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak, hendaklah ia memperbanyak puasa.” (Al-Muhalla bil Atsar, 9/3)

Selasa, 07 Desember 2010

Fatwa Perayaan Tahun Baru Hijriyah dan Tahun Baru Masehi

Fatwa Tahun Baru Hijriyah

Tanya :
“Bagaimana hukum yang berkenaan dengan ‘ucapan selamat’ saat memasuki tahun baru hijriyah, dan bagaimana tanggapan (kita) atas mereka yang menyambut (tahun baru Hijriyah) tersebut?

Jawaban :
Jika seseorang memberikan ucapan selamat kepada anda, kemudian bereaksi terhadap dia, tetapi seseorang tersebut tidak memulainya;maka ini adalah sikap yang benar dalam kasus ini. Jika seorang laki-laki, sebagai contoh, berkata : "Kami ucapkan selamat tahun baru (hijriyah)," maka katakan, "Semoga Allah memberikan kebaikan kepada anda dan menjadikannya sebagai tahun kebaikan dan barakah." Namun, jangan engkau memulai sendiri (ucapan ini), sebab saya tidak mengetahui hal ini datang dari pendahulu (Salafus Sholih) kita, dimana mereka dulu memberi selamat satu sama lain untuk tahun baru. Bahkan, (saya) mengetahui bahwa Salaf tidak mengambil Muharram sebagai bulan pertama tahun hijriyah, kecuali setelah kepemimpinan Umar bin Khattab, semoga Allah merahmatinya. (Syaikh Muhammad Sholih Al Utsaimin)

Fatwa Tahun Baru Masehi
Lajnah Daimah atau tim ulama’ Saudi bidang fatwa dan kajian ilmiyah menyampaikan fatwa mengenai perayaan tahun baru masehi.
1. Tidak boleh hukumnya seorang Muslim yang beriman kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai agama serta Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, mengadakan perayaan-perayaan hari-hari besar yang tidak ada landasannya dalam dien Islam, termasuk diantaranya pesta 'Milenium’ rekaan. Juga, tidak boleh hadir pada acaranya, berpartisipasi dan membantu dalam pelaksanaannya dalam bentuk apapun, karena hal itu termasuk dosa dan melampaui aturan-aturan Allah.
2. Seorang Muslim tidak boleh saling tolong menolong dengan orang-orang kafir dalam bentuk apapun dalam hari-hari besar mereka.
3. Tidak boleh menjadikannya sebagai momentum-momentum yang membahagiakan atau waktu-waktu yang diberkahi, sehingga karenanya meliburkan pekerjaan, menjalin ikatan perkawinan, memulai aktifitas bisnis, membuka proyek-proyek baru dan lain sebagainya. Tidak boleh dia meyakini bahwa hari-hari seperti itu memiliki keistimewaan yang tidak ada pada hari selainnya, karena hari-hari tersebut sama saja dengan hari-hari biasa lainnya.
4. Seorang Muslim tidak boleh mengucapkan selamat terhadap hari-hari besar orang-orang kafir karena hal itu merupakan bentuk kerelaan terhadap kebatilan yang tengah mereka lakukan dan membuat mereka bergembira. Keharamannya disepakati para ulama.
5. Adalah suatu kehormatan bagi kaum Muslimin untuk berkomitmen terhadap sejarah hijrah Nabi mereka, Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang disepakati pula orang para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam secara ijma' dan mereka jadikan kalender tanpa perayaan apapun.
[Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, No. 21049, tgl. 12-08-1420]

-anshor-
7 Des '10

Kamis, 02 Desember 2010

Memberi Hadiah Kepada Orang Kafir Di Hari Raya Mereka

Seorang muslim boleh menerima hadiah dari orang kafir. Ini dilakukan sebagai bentuk ta'lif bagi mereka dan agar mereka mempunyai kecintaan terhadap islam. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah yaitu dengan menerima hadiah dari sebagian orang kafir seperti hadiah dari Muqauqis.
Demikian juga boleh bagi seorang muslim memberikan hadiah kepada orang kafir atau musyrik dengan maksud untuk ta'lif bagi mereka atau agar mereka cinta terhadap islam. Terlebih lagi orang kafir tersebut adalah saudara atau tetangga. Hal ini sebagaimana Umar bin al-Khattab memberikan hadiah kepada saudaranya yang musyrik.
Akan tetapi tidak boleh memberikan hadiah orang kafir di hari raya mereka. Karena hal tersebut dianggap sebagai pengakuan dan keikut sertaan dalam hari raya yang batil. Apabila hadiah berupa sesuatu yang membantu terhadap hari raya mereka seperti makanan, lilin atau lainnya, maka hal ini lebih diharamkan. Bahkan sebagian ahlu ilmi mengatakan bahwa hal tersebut adalah kekufuran.
Abu Hafsh al-Kabir berkata "seandainya seseorang beribadah kepada Allah selama 50 tahun kemudian mendatangi hari Nairuz (hari raya orang kafir) kemudian memberikan hadiah kepada sebagian orang kafir sebutir telur dengan maksud untuk mengagungkan hari raya tersebut maka ia telah kafir dan terhapuslah amal perbuatannya”.
Shahibul al-jami' al-ashghar berkata "apabila seorang muslim memberikan hadiah kepada saudaranya semuslim di hari raya Nairuz dan tidak bermaksud untuk mengagungkan hari tersebut maka hal ini tidak bisa mengkafirkannya. Akan tetapi sepatutnya untuk tidak melakukan hal tersebut di hari Nairuz secara khusus sehingga tidak bertasyabuh dengan mereka.
Beliau juga berkata "seseorang yang membeli sesuatu di hari Nairuz yang ia tidak membelinya sebelumnya, jika dimaksudkan dengannya mengagungkan hari tersebut dan mengagungkan orang-orang musyrik maka ia telah kafir akan tetapi kalau hanya sekedar untuk makan, minum atau hanya bersenang-senang maka tidak dikafirkan". (Fatawa al-Islam Su'al Wa Jawab, Syaikh Muhammad Shalih al-Munjid 1/6363)
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata "tidak boleh seseorang memberikan hadiah kepada seorang muslim di hari raya orang kafir lantaran hari raya tersebut, apalagi hadiah tersebut sesuatu yang dapat membantunya untuk bertasyabuh kepada orang-orang kafir" (Iqtidha' Siratil Mustaqim : 1/227).
Adapun menerima hadiah dari orang kafir di hari raya mereka tidaklah mengapa dan tidak dianggap sebagai bentuk keikutsertaan dan pengakuan terhadap pesta hari raya mereka. Akan tetapi mengambil hadiah tersebut karena bentuk kebaikan dan meniatkan untuk ta'lim atau dakwah kepada islam. Allah membolehkan untuk berbuat baik dan adil kepada orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin. Hal ini dalam surat al-Mumtahanah : 8
Berbuat baik dan adil terhadap orang kafir tidak menandakan kecintaan terhadap mereka. Karena kecintaan terhadap orang kafir tidak diperbolehkan. Al-Mumtahanah : 1, al-Mujadilah : 22
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata "adapun menerima hadiah dari orang kafir pada hari raya mereka adalah pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib beliau diberi hadiah Nairuz dan menerimanya".
Dan riwayat dari Abu Barzah bahwa beliau mendapatkan hadiah dari orang majusi di hari Nairuz dan Mahrajan lantas beliau berkata kepada keluarganya "sesuatu yang berasal dari buah-buahan maka makanlah sedangkan yang selainnya maka kembalikanlah"
Riwayat diatas menunjukkan kebolehan menerima hadiah dari orang kafir di hari raya mereka. Sehingga hukum menerima hadiah pada hari raya mereka atau hari lainnya adalah sama. Karena yang demikian tidaklah membantu syiar-syiar mereka. (Iqtidha' Siratal Mustaqim 1/251)

Kesimpulan yang bisa diambil adalah boleh menerima hadiah dari orang kafir di hari raya mereka dengan beberapa syarat :
1. Hadiah yang diterima tidak berupa sembilan yang disembelih lantaran hari raya tersebut.
2. Hadiah tersebut tidak berupa sesuatu yang dapat membantunya untuk tasyabuh kepada orang kafir di hari raya mereka seperti lilin dan lain-lain.
3. Dalam menerima hadiah disertai penjelasan tentang akidah wala' wal bara' kepada anak-anak kita sehingga tidak muncul kecintaan mereka terhadap hari raya orang kafir tersebut atau tidak adanya ketergantuangan mereka terhadap pemberi hadiah.
4. Menjadikan dakwah kepada islam sebagai tujuan dalam menerima hadiah mereka. Dan bukan karena kecintaan atau hanya sekedar basa-basi saja.
5. Apabila hadiah berupa sesuatu yang tidak boleh diterima oleh muslim maka hendaknya ditolak dengan cara halus dan menjelaskan alasan penolakan secara syar'I sehingga penolakan tersebut sekaligus sebagai dakwah kepada mereka.
(fatawa al-islam su'al wa jawab, Muhammad Shalih al-Munjid 1/6363)
Syaikh Doktor Abdullah al-Faqih berkata "boleh bagi seorang muslim menerima hadiah dari orang kafir" fatawa asy-Syubkah al-islamiyah : 4/119. boleh juga menerima hadiah berupa makanan asalkan tidak mengandung komposisi bahan yang haram. Ibid : 174/19
Imam an-nawawi menyebutkan dalam kitabnya bahwa tentang penerimaan Rasulullah hadiah dari orang kafir ada dua jalur riwayat yang seakan-akan saling bertentangan. Al-Qadhi berkata "sebagian ahlu ilmi berkata ; riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah menerima hadiah dari orang kafir telah mansukh dengan hadits-hadits yang dibawa Rasulullah tentang tidak menerimanya atau bahkan mengembalikan hadiah orang kafir kepadanya.
Adapun menurut jumhur ulama', hadits tersebut tidaklah menaskh. Sehingga Rasulullah mau menerima hadiah dari mereka yang diharapkan keislamannya adapun yang tidak diharapkan keislamannya beliau juga menolaknya. (Imam An-Nawawi syrh Imam Muslim : 6/229)

-anshor-
3 Des '10