Sabtu, 26 Maret 2011

Mengenal Calon Pasangan Hidup

Teman saya Khoirul Anshor, mengingatkan bahwa petuah orang-orang tua kita dulu, utk tidak mudah mencari jodoh.. Saya katakan itu betul tapi, kita coba aja bahas itu di blog saya ini... Semoga bermanfaat...

Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.


Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:


Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.


Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.


Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا


“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)


Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)


Beberapa hal yang perlu diperhatikan
Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:


 Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ


“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)


 Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ


“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku berbangga- bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)


 Wanita tersebut masih gadis, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.
Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟


“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”


Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)


Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memperkenankan Jabir radhiyallahu 'anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah Radhiallahu'anha.


Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ


“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)

Sudar.M..Anshorullah......

Jumat, 18 Maret 2011

Gus Dur Bicara Aurat Semaunya

Dewasa ini, perkara aurat semakin aja disepelekan. Terkhusus bagi wanita muslimah, tidak sedikit yang dulunya rajin berjilbab, bahkan dulunya pernah nyantri, yang sehari2nya menjadikan jilbab layaknya baju yg menutupi badannya, ia malu membukanya sebagaimana malu membuka bajunya…, tapi sekarang berubah menjadi (maaf) ‘hantu’ gentayangan. Yah, yang gak pake jilbab, yg sukanya cari perhatian manusia, yg sukanya jalan2 ke sana ke mari, ya cuma kuntilanak (dalam dunia film horor), gk ada yg lain. Paling sundel bolong, yah kalo itu sama saja.. lucunya, yg buat permisalan itu pas, kedua-duanya sama-sama dandanannya habis-habisan…. Bedak aja satu senti. Gimana coba…! Hehh,, yah, paling yg beda rambutnya… maklum si kun (kuntilanak maksudnya), kehabisan shampoo.. Kok cewek-cewek skr juga kehabisan shampoo, sudahlah..benar2 jadi mbahnya kuntilanak… ouh satu lagi deng bedanya. Baju putih. Tapi tetap saja sama. kalo cewek2 skr punya baju kesukaan, warna naju kesukaan, yah begitulah dgn si kun, dia juga punya baju kesukaan…so, gak jauh2 amat bedanya..
Maklumlah, selain nafsunya emang gak sukan pake aturan Islam yang menghilangkan kecantikannya, yang namanya setan dan tentara2nya dari kalangan ilmuan islam juga tidak putus asa untuk merabunkan kaum muslimah dari ajaran islam yg benar. Termasuk soal aurat dan keharusan berjilbab. Mesti ada aja alasan kaum Liberal dalam menentang ajran mulia islam ini. Maka gak usa heran dgn mereka2 itu. Termasuk mbah Dur. Orang yg di kalangan Nahdhiyin saja menolak pemikiran2 Liberalnya mesti ngomong soal aurat. Sudahlah, gak tau ntah apa-apa aj yg diomongin orang tua itu.. sekali lagi, gk usa heran, orang waktu gempa bumi di Jogja aja dia ngomong kalo itu gara-gara Nyi Roro Kidul di pantai selatan dipaksa pake jilbab, hehe…. Memang, satu itu ud susah diajak yg bener..
Bagi yang ngefans banget ama mbah Dur, maaf seribu maaf… saya hanya menyampaikan fakta dan hukum Islam. Kiyai juga manusia. Gak ada yg ma’shum selain Nabi. Jadi kalo kiayinya salah, atau bahkan murtad, ya jgn dibela habis-habisan.! Ntar masuk dalam golongan orang2 yg disebut Allah dalam surah Al-Mukmin ato Ghofir ayt 47: orang lemah pengikut yg membebek, yg sombong itu ulamanya…
“Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, Maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "Sesungguhnya Kami adalah pengikut-pengikutmu, Maka dapatkah kamu menghindarkan dari Kami sebahagian azab api neraka?"
Mau tau apa kata mereka…?? Baca aj ayat selanjutnya..
“Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab: "Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka karena Sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba-(Nya)".
Intinya, mereka Cuma bisa bilang, “Yah sudahlah.., gak usa ribut, kita rasakan saja neraka ini. Salah siapa ikut-ikut kami dulu..!”

Udahlah, langsung aja ke pokok pembahasan. Ne ada kutipan pernyataan mbah Dur. Kalo gak percaya ada bukti dan data yg valid…

Gus Dur ngomong gini :
“…yang disebut aurat itu juga perlu dirumuskan dulu sebagai apa. Cara pandang seorang sufi berbeda dengan ahli syara’ tentang aurat, demikian juga dengan cara pandang seorang budayawan. Tukang pakaian melihatnya beda lagi; kalau dia tak bisa meraba-raba, bagaimana bisa jadi pakaian’ ha-ha-ha.. Batasan dokter beda lagi. Kerjanya kan ngutak-ngutik, dan buka-buka aurat, itu, he-he-he.
Saya juga heran, mengapa aurat selalu identik dengan perempuan. Itu tidak benar. Katanya, perempuan bisa merangsang syahwat, karena itu tidak boleh dekat-dekat, tidak patut salaman. Wah’ saya tiap pagi selalu kedatangan tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu bisa sampai dua bis. Mereka semua salaman dengan saya. Masak saya langsung terangsang dan ingin ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha.. Oleh karena itu, kita harus hati-hati. Melihat perempuan tidak boleh hanya sebagai objek seksual. Perempuan itu sama dengan laki-laki; sosok makhluk yang utuh. Jangan melihatnya dari satu aspek saja, apalagi cuma aspek seksualnya.”

Payahkan itu orangnya…?
Ya uda, ne dia Komentar kita :
Oke, komentar kita ini, saya ambil saja dari tulisannya pak Hartono “Al-Qur’an dihina Gus Dur”….
“Dalam perkataannya itu benar-benar mengemukakan jati dirinya yang tidak ada sangkut pautnya dengan Islam. Bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan pribadi yang jadi makhluk, telah diatur oleh Tuhannya. Sehingga seakan-akan dunia ini, atau Indonesia ini, terlepas sama sekali dari aturan Allah swt, maka tidak perlu merujuk kepada wahyu-wahyu yang telah diturunkan lewat malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw lalu disampaikan kepada seluruh manusia. Sehingga yang jadi rujukan justru aneka orang dengan aneka pekerjaan dan pandangannya. Itu benar-benar cara berfikir yang kacau balau. Padahal, kalau kita mengikuti pendapat orang, walaupun mayoritas, dan meninggalkan aturan Allah swt dan Rasul-Nya saw, maka pasti sesat. Allah swt menegaskan,
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’aam/ 6 : 116)
Setelah tidak menggubris aturan dari Allah swt dan Rasul-Nya, lalu Gus Dur menampilkan dirinya sebagai penentang aturan Rasulullah saw. Dia katakan,
“Katanya, perempuan bisa merangsang syahwat, karena itu tidak boleh dekat-dekat, tidak patut salaman. Wah’ saya tiap pagi selalu kedatangan tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu bisa sampai dua bis. Mereka semua salaman dengan saya. Masak saya langsung terangsang dan ingin ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha..”
Ungkapan Gus Dur itu bertentangan dengan hadits.
قَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم فِي مُبَايَعَةِ النِّسَاءِ إنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ وَمَا قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ إلَّا كَقَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَابْنُ حِبَّانَ
Sabda Nabi saw dalam pembai’atan para wanita: “Sesungguhnya aku tidak bersalaman dengan wanita, dan tidaklah perkataanku kepada satu wanita kecuali seperti ucapanku kepada seratus wanita.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, ia berkata, hadits hasan shahih, dan An-Nasa’I, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban).
Penentangan terang-terangan Gus Dur terhadap hadits Nabi saw dan bahkan dia katakan: ‘Katanya, perempuan bisa merangsang syahwat, karena itu tidak boleh dekat-dekat, tidak patut salaman’; itu sangat disayangkan. Apalagi kemudian dengan terang-terangan dia memamerkan lakonnya: ‘Wah’ saya tiap pagi selalu kedatangan tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu bisa sampai dua bis. Mereka semua salaman dengan saya. Masak saya langsung terangsang dan ingin ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha..’
Mestinya, sebagai tokoh Islam, malu dengan lakonnya yang seperti itu. Tetapi ini malahan dijadikan sebagai acuan atau rujukan untuk :
1. Menentang aturan atau tatacara yang disampaikan oleh Rasulullah saw.
2. Menjadikan lakon dan sikap diri Gus Dur yang menyelisihi aturan Rasulullah saw itu sebagai rujukan dalam mengatur masyarakat. Padahal, pewawancara dari JIL itu sendiri telah menyebut Gus Dur sebagai kiai nyentrik.
Dari kondisi ini, berarti Gus Dur menawarkan dirinya pada posisi jauh di atas harga yang seharusnya. Sebaliknya, menjatuhkan harga aturan yang dibawa Rasulullah saw serendah-rendahnya, bahkan agar ditentang memakai pola yang Gus Dur lakukan selama ini. Dalam keadaan ini, Gus Dur yang sudah jelas menentang aturan Rasulullah saw itu justru diusung oleh JIL untuk dijadikan rujukan. Antara Gus Dur dan JIL sama-sama memposisikan sebagai penentang aturan Rasulullah saw. Gus Dur dijadikan figure untuk berteriak, sedang JIL yang menyuruh dan menyebarkan teriakannya.
Semua yang diupayakan Gus Dur, JIL, dan semacamnya yang menolak sejadi-jadinya apa-apa yang berbau Islam, itu sangat berbahaya. Sebab, masyarakat Indonesia ini, yang mayoritas Islam ini, memerlukan aturan yang sesuai dengan agamanya, Islam. Sebagaimana dalam hal pernikahan, talak, rujuk, waris, hibah, dan sebagainya yang merupakan hukum keluarga juga sudah diatur negara, pakai undang-undang. Di antaranya ada undang-undang perkawinan 1974. Masyarakat bisa terlindungi. Mestinya, mengenai aurat pun demikian. Yang muslim, agar mengikuti aturan agamanya dalam menutup aurat. Dalam pelaksanaannya, perlu ada aturan hukum, sehingga masyarakat jadi tertib. Sebenarnya hanya tinggal melangkah lagi, sudah ada contohnya, yaitu Undang-undang Perkawinan 1974, yang bermanfaat untuk ketertiban masyarakat, dan juga tidak mengganggu siapa-siapa. Tentang aurat pun mestinya seperti itu. Tetapi anehnya, Gus Dur, JIL, dan semacamnya, tidak terima dengan adanya aturan itu. Mereka sudah gerah dengan adanya UU Perkawinan 1974. Mereka berupaya keras untuk memberedelnya. Padahal, dengan adanya Undang-undang Perkawinan 1974, umat Islam terlindungi dari perkawinan-perkawinan yang tidak mengikuti aturan. Demikian pula nantinya, kalau tentang anti pornografi dan pornoaksi itu sudah ada undang-undangnya, dan untuk umat Islam, aturannya sesuai dengan Islam, maka umat Islam terlindungi pula dari aneka macam kepornoan. Bangsa ini pun insya Allah aman dari itu, dan tidak ada yang terganggu. Jadi kalau sekarang Gus Dur, JIL, dan semacamnya menolak RUU APP, sebenarnya maunya apa? Tidak lain, mereka hanya tidak ridho apabila Islam dilaksanakan atau terdukung pelaksanaannya di masyarakat. Itu saja…”

So, dari komentar ini, ada yg mau komentar lagi dari antum-antum dan antunna sekalian…? Tafaddhol masykruro…

-sudarM anshory/18032011-