Rabu, 29 Juni 2011

MACAM-MACAM NAJIS

1. Defenisi Najis
Najis adalah lawan dari thoharoh (suci) yaitu sebuah benda yang dianggap kotor secara syara’ (Al-Qur'an dan Al-Hadits).
Dari defenisi di atas dapat diketahui bahwa najis mempunyai dua sifat utama:
Pertama. Sebuah benda. Hal ini untuk membedakan najis dengan hadats. Artinya, najis itu harus berupa benda sedangkan hadats tidak harus. Keluar angin (kentut) misalnya, dia termasuk hadats tetapi tidak termasuk najis.
Kedua. Kotor. Tidak ada barang najis kecuali kotor. Bila dianggap oleh sebagian pihak sebagai barang yang suci, maka akalnya perlu dipertanyakan.
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “Setiap yang halal itu suci. Setiap yang najis itu haram. Dan tidaklah setiap yang haram itu najis.”

2. Kaedah Tentang Najis
a. Hendaknya setiap muslim benar-benar memahami ‘asal segala sesuatu adalah suci.’
Hal ini berdasarkan firman Allah, “Dia-lah Allah, yang menjadikah segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqoroh: 29).
Ayat mulia di atas menunjukkan bahwa asal segala sesuatu dalam urusan dunia adalah boleh dan suci.

b. Tidak boleh bagi seorang untuk menajiskan suatu barang kecuali berdasarkan dalil.
Hal ini sebagaimana firman Allah, “Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu,” (QS. Al-An' am: 119).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan kedua kaidah di atas dengan pembahasan yang menarik dalam Majmu’ Fatawa (21/534-542).

c. Sesuatu yang najis pasti haram, tapi sesuatu yang haram belum tentu najis. Barang haram tidak mesti najis.
Contohnya, ganja, obat-obat memabukkan dan racun hukumnya adalah haram dikonsumsi, tetapi tidak najis untuk disentuh. Tidak ada satu dalilpun yang menyatakan hal itu najis.
Demikian pula kain sutra dan emas, hukumnya haram dipakai kaum pria tetapi keduanya adalah suci menurut syari’at dan ijma’ (kesepakatan).
Kaidah ini diperkuat dengan firman Allah, “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan.” (QS. An-Nisa: 23).
Seandainya barang haram itu mesti najis, maka para wanita yang tersebut dalam ayat di atas seperti ibu, kakak perempuan dan seterusnya adalah najis!

3. Macam-macam Najis dan Cara Mensucikannya
Para ulama berbeda-beda dalam membagi-bagi macam najis. Penulis I’anatut Tholibin, sebagai yang mewakili dari madzhab Syafi’i membagi najis kepada empat bagian.
Pertama, najis yang tidak dimaafkan yang mengenai baju dan air. Yaitu kotoran dan air kencing. Kedua, yang dimaafkan yang mengenai keduanya karena tidak diketahui letaknya. Ketiga, najis yang dimaafkan yang mengenai pakaian bukan air, yaitu darah yang sedikit. Keempat, najis yang dimaafkan yang mengenai air bukan pakaian, yaitu bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya.
Sedangkan yang lain mengatakan bahwa najís terbagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu; Pertama, najis mukhaffafah (ringan). Yaitu najis yang berasal dari air kencing bayi laki - laki yang belum berumur 2 tahun dan belum pernah makan sesuatu kecuali air susu ibunya.
Kedua, najis mughallazhah (berat). Yaitu najis yang berasal dari hewan babi dan anjing serta keturunannya.
Ketiga, najis mutawassithah (sedang). Yaitu najis selain diatas, seperti keluarnya sesuatu dari kubul dan dubur manusia dan binatang kecuali air mani, barang yang memabukkan, susu binatang haram dimakan, bangkai, tulang dan bulunya, kecuali bangkai manusia ikan dan belalang
Najis muthawasithah ini di bagi menjadi 2 bagian pula; 1) Najis 'ainiyah : adalah jenis najis yang berwujud yaitu yang nampak dan dapat dilihat. 2) Najis hukmiyah, adalah najis yang tidak kelihatan bentuk atau bendanya, contoh bekas dari minuman keras yang sudah kering, bekas air kencing dan lain sebagainya.

1) Kotoran

1. Kotoran Manusia
Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu (2/529) telah menukil ijma’ tentang najisnya kotoran manusia baik anak kecil maupun orang dewasa.
Dalilnya adalah hadits Abu Said Al-Khudri, beliau berkata, “Ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam sholat bersama para sahabatnya, tiba-tiba beliau melepaskan kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya. Melihat hal itu, maka para sahabat langsung juga melepaskan sandal mereka.
Seusai sholat, Rasulullah bertanya, ‘Mengapa kalian melepas sandal kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami melihat engkau melepas sandal, maka kamipun melepas sandal. Shallallaahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Jibril telah datang mengabarkanku bahwa pada sandal tersebut ada kotoran.’ Lalu beliau bersabda, ‘Apabila seorang diantara kalian datang ke Masjid, maka hendaknya dia melihat; bila pada sandalnya terdapat kotoran (najis), hendaknya dia mengusapnya dan sholat dengan rnemakai kedua sandalnya.’

2. Kotoran Binatang Yang Halal Dimakan
Dalam masalah kotoran hewan, kita akan mendapatkan adanya perselisihan di kalangan ulama. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa kotoran hewan -baik yang halal dimakan dagingnya maupun tidak- adalah najis, sebagaimana pendapat jumhur ulama (Abu Hanifah dan Syafi’i).
Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah, beliau berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam pergi ke WC, lalu beliau memerintahkan aku membawakan tiga buah batu. Aku hanya mendapatkan dua batu, lalu aku mencari batu yang ketiga, namun aku tidak mendapatkannya hingga aku pun mengambil kotoran hewan yang sudah kering. Kemudian semua itu aku bahwa ke hadapan Nabi. Namun beliau hanya mengambil dua batu dan membuang kotoran hewan yang telah kering tersebut seraya bersabda: "Ini najis."
Sebagian yang lain berpendapat, status kotoran hewan sesuai dengan hukum memakan dagingnya. Hewan yang haram dimakan, maka kotorannya najis. Sebaliknya, hewan yang halal dimakan, kotorannya tidak dianggap najis kecuali jika hewan itu makan sesuatu yang najis. Dalilnya adalah hadits Jabir bin Samurah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam pernah memberi izin sahabat melakukan solat di tempat pemeliharaan (kandang) unta.
Dasarnya lainnya adalah hadits Ibnu Mas’ud, beliau berkata, “Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam shalat di dekat Ka'bah sementara Abu Jahal dan teman-temannya duduk di dekat beliau. Lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, 'Siapa dari kalian yang dapat mendatangkan isi perut (jerohan) unta milik bani fulan, lalu ia letakkan di punggung Muhammad saat dia sujud? 'Maka berangkatlah orang yang paling celaka dari mereka, ia lalu datang kembali dengan membawa kotoran unta tersebut. Orang itu lantas menunggu dan memperhatikan, maka ketika Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam sujud kotoran itu ia letakkan di punggung beliau di antara kedua pundaknya. Sementara aku hanya bisa melihatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Duh, sekiranya aku bisa mencegah!'
Abdullah bin Mas'ud melanjutkan kisahnya, "Lalu mereka pun tertawa-tawa dan saling menyindir satu sama lain sedang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan sujud, beliau tidak mengangkat kepalanya hingga datang Fatimah. Fatimah lalu membersihkan kotoran itu dari punggung beliau, setelah itu baru Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kepalanya seraya berdo'a: "Ya Allah, aku serahkan (urusan) Quraisy kepada-Mu." Sebanyak tiga kali…
Dimaklumi bahwa onta adalah binatang yang halal dimakan. Berdasarkan hal itu penulis Shohih Fiqhus Sunnah mengatakan, “Jika kotoran onta dihukumi najis, niscaya Rasulullah melepaskan pakaiannya atau membatalkan sholatnya.”
Maka yang rojih dalam masalah ini adalah hukum kotoran binatang yang halal dimakan adalah suci, tidak najis. Karena hukum segala sesuatu asalnya adalah suci, dan samapai adanya dalil yang menetapkan kenajisannya. Dan yang dalil yang didapati menunjukkan kesuciannya. Hadits yang dijadikan dalil najisnya kotoran semua binatang di atas, dipahami kepada kotoran binatang yang haram dimakan.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dalam Al-Fatawa Al-Kubra (5/313), “Kencing dan tinja hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah suci, tidak ada seorangpun dari para sahabat yang berpendapat najisnya. Bahkan pendapat yang menyatakan najisnya adalah pendapat yang muhdats (baru muncul), tidak ada pendahulunya –yang mencontohkan- dari kalangan para sahabat.”

3. Kotoran Binatang Yang Haram Dimakan
Hukum kotoran binatang yang haram dimakan berbeda dengan hukum kotoran binatang yang halal dimakan. Jika kotoran binatang yang halal dimakan adalah suci, maka kotoran binatang yang haram dimakan adalah najis. Sebagaimana yang dipahami oleh ulama dari hadits ‘Abdullah, beliau berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam pergi ke WC, lalu beliau memerintahkan aku membawakan tiga buah batu. Aku hanya mendapatkan dua batu, lalu aku mencari batu yang ketiga, namun aku tidak mendapatkannya hingga aku pun mengambil kotoran hewan yang sudah kering. Kemudian semua itu aku bahwa ke hadapan Nabi. Namun beliau hanya mengambil dua batu dan membuang kotoran hewan yang telah kering tersebut seraya bersabda: "Ini najis."
Namun demikian, kotoran binatang yang haram dimakan ini, tidak semuanya dikatakan najis. Karena adanya dalil yang jelas menetapkan kesuciannya, atau sifat kotorannya yang dimaafkanoleh syar’i. Seperti kotoran cicak. Binatang cicak hukum memakannya adalah haram. Namun kotorannya tidak dikatakan najis karena………
Sementara pendapat yang lain dari kalangan ulama dan -wallahu Ta’ala a’lamu bishshawab- ini adalah pendapat yang kuat menurut Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsary dalam salah satu situsnya, mereka menyatakan bahwa pada asalnya semua kotoran hewan suci, kecuali ada nash yang mengatakan najis, maka barulah dikatakan najis. Al-Ustadz menyatakan bahwa ini merupakan pendapatnya Ibnul Mundzir, dan dinukilkan oleh Imam An-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab bahwa ini adalah perkataan Daud Azh-Zhahiri, Ibrahim An-Nakha’i dan Asy-Sya’bi. Pendapat ini juga didukung oleh Imam Asy-Syaukani di dalam kitab-kitab beliau, diantaranya Nailul Authar dan Ad-Daraari.
Artinya pendapat ketiga ini meyakini bahwa kotoran binatang yang haram adalah suci, apalagi binatang yang halal dimakan. Kata Al-Ustadz, “Dengan apa yang telah diterangkan di atas, maka jelaslah bahwa tidak semua yang kotor pada wujudnya itu najis, kecuali ada nash yang menerangkan kenajisannya. Misalnya tahi cicak, tidak ada nash yang menunjukkan kenajisannya, maka itu bukan najis. Namun bila dikatakan kotoran (sesuatu yang kotor) maka tahi cicak itu memang termasuk kotoran.
Menurut saya, yang tampak jelas dari dalil di atas adalah hujjah yang menyatakan kotoran binatang yang haram dimakan adalah najis. Wallohu a’lam. Termasuk di antaranya adalah kotoran kucing. Kucing yang haram dimakan, walaupun bekas jilatannya adalah suci –sebagaimana dalah hadits- kotorannya dihukumi najis. Karena riwayat tentang kucing ini hanya ada pada masalah jilatan dan bekas makan minumnya saja. Dan tidak menyamakannya dengan kotorannya. Sehingga antara bekas jilatan dan kotoran –termasuk air kencingnya- adalah berbeda.
Dalil jilatan kucing adalah suci adalah hadits dari Dawud bin Shalih bin Dinar At Tammar dari Ibunya. Bahwasanya tuan wanita ibu Dawud memerintahkan kepadanya untuk membawa kue (terbuat dari tepung gandum) kepada Aisyah radhiallahu 'anha. Namun dia mendapati Aisyah sedang shalat. Maka Aisyah memberikan isyarat kepadanya untuk meletakkan apa yang dia bawa. Lalu seekor kucing datang dan langsung memakan sesuatu darinya. Setelah Aisyah selesai shalat, dia memakan dari bagian yang dimakan oleh kucing tersebut seraya berkata; ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda: "Sesungguhnya kucing tidaklah najis, ia di antara binatang yang selalu mengelilingi kalian." Dan aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam berwudhu dengan air sisa jilatan kucing.
Dari hadits ini semakin jelaslah, bahwa yang suci dari binatang kucing adalah bekas jilatan atau bekas makan dan minumnya saja. Adapun kotorannya beserta air kencingnya termasuk yang dihukumi najis, sebagaimana kotoran binatang-binatang yang haram dimakan lainnya.

2) Air kencing

1. Kencing bayi belum memakan selain ASI (susu)
Mengenai kencing anak-anak yang masih menyusui, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam bersadba, “Kencing anak laki-laki itu dengan diperciki, sedangkan kencing anak perempuan dengan dicuci. (Hal ini dilakukan selama keduanya belum mengkonsumsi makanan. Adapun bila sudah mengkonsumsi makanan, maka harus dibasuh kedua-duanya).”
Akan tetapi pendapat yang kuat menyatakan bahwa kencing anak laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan itu adalah najis sebagaimana dinyatakan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim, namun najis ringan. Dalil keringanan diisyaratkan dengan ringan cara membersihkannya. Seperti dalam hadits Ummu Qais binti Mihshan yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, “Ummu Qais binti Mihshan Al-Asadiyah membawa anak yang masih kecil dan belum makan makanan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, lalu Rasulullah mendudukkan anak itu di pangkuannya. Kemudian anak itu kencing di baju beliau. Karena itu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam meminta air dan mengguyurkan ke bajunya dan tidak mencucinya.

2. Air Kencing Orang Dewasa
Berbeda dengan air kencing anak bayi, air kencingnya orang dewasa atau orang yang telah makan selain ASI dihukumi najis. Imam An-Nawawi menjelaskan, “Adapun air kencing orang dewasa, maka hukumnya najis dengan kesepakatan kaum muslimin. Ijma’ ini telah dinukil oleh Ibnu Mundzir dan sahabat-sahabat kami serta selain mereka.”
Kesimpulannya, kalau kotoran orang dewasa atau bayi dihukumi najis. Berbeda dengan air kencing, air kencing orang dewasa adalah najis, sedangkan bayi yang belum makan selain ASI tidak najis.

3. Air Kencing Binatang Yang Halal Dimakan
Sebagaimana hukum kotorannya, air kencing binatang yang halal dimakan adalah suci. Dikuatkan dengan pernyataannya Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, yang beliau katakana percis dengan sebelumnya, “Kencing dan tinja hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah suci, tidak ada seorangpun dari para sahabat yang berpendapat najisnya. Bahkan pendapat yang menyatakan najisnya adalah pendapat yang muhdats
(baru muncul), tidak ada salafnya dari kalangan para sahabat.”
Di antara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat Muslim dimana Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam mengizinkan shalat di kandang kambing. Maka ini menunjukkan tinja dan kencing kambing (dan dia adalah hewan yang halal dimakan) adalah suci dan bukan najis, karena tidak boleh shalat pada tempat yang ada najisnya.
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Sekelompok orang dari Bani ‘Akl -atau Bani ‘Urainah- datang menemui Nabi namun mereka merasa tidak betah tinggal di Madinah karena sakit yang menimpa mereka. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan agar didatangkan seekor unta betina yang banyak susu dan menyuruh mereka minum air kencing dan susunya. Mereka pun beranjak melakukannya. Ketika telah sehat mereka membunuh penggembala ternak Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan meminum susu ternak itu. Datanglah berita tentang peristiwa itu menjelang siang, sehingga Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam memerintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Pada siang hari mereka didatangkan ke hadapan Nabi lalu beliau memerintahkan agar dipotong tangan dan kaki mereka, dicungkil matanya dan dilemparkan ke tengah padang pasir yang panas. Mereka meminta-minta minum namun tidak diberi minum.”
Namun hadits ini dijawab oleh ulama Syafi’iyah yang mengatakan najisnya hewan yang haram dimakan, bahwa hal ini hanyalah sebagai obat, dan tidak menunjukkan bahwa kencing onta adalah tidak najis.

4. Air Kencing Binatang Yang Haram Dimakan
Hukum air kencing binatang yang haram dimakan adalah sama dengan hukum kotorannya. Yaitu najis, sebgaimana yang dibahas sebelumnya.

3) Nanah
Menurut DR. Wahbah Zuhaili, sebagaimana beliau menghukumi darah, hukum nanah adalah najis. Namun dalam bukunya Fiqhul Islam -yang menyatakan keduanya adalah najis- tidak beliau tampilkan dasar syar’inya. Beliau hanya mengatakan karena nanah adalah darah mustahil. Mungkin yang beliau maksud adalah darah yang aneh. Wallahu a’lam. Beliau pun menyatakan, yang dihukumi najis adalah nanah yang banyak. Adapun nanah yang sedikit tidak tergolong najis. Pun demikian tidak saya ketahui ukuran banyak dan sedikit yang beliau maksud.
Pendapat beliau ini percis yang dikemukakan dalam kitab I’anatut Tholibin disebutkan bahwa air bisul dan nanah adalah najis karena bercampur dengan darah. Sedangkan darah menurut penulis kitab itu adalah najis. Dan yang banyak saja dihukumi najis. Atau bahasa lainnya –sebagaimana dalam kitab Al-Asybah wan Nazhoir Imam Asy- Syafi’i (1/160)- adalah najis yang dimaafkan karena jumlahnya yang sedikit.
Namun yang terlihat jelas dari hukum nanah ini adalah bahwa dalil yang menyatakan nanah najis tidak ada. Yang ada dalil hukum sucinya darah dan dalil sucinya segala sesuatu yang ada di bumi ini. Maka, yang rojih menurut saya adalah hukum nanah adalah suci, sedikit maupuan banyak. Wallahu a’lam. Lihat dalam Shohih Fiqhus Sunnah dan lainnya. Alasannya adalah karena darah yang berasal dari tubuh manusia adalah suci, dan nanah adalah sesuatu yang berasal dari tubuh manusia, ia berada dan bercampur dengan darah, atau bisa disebut bahwa nanah adalah darah busuk, sehingga hukumnya sama dengan darah. Asalkan darah dan nanah yang keluar dari dua lubang. Hal itu menjadi kesepakatan kebanyakan ulama akan kenajisannya.

4) Madzi
Yaitu air berwarna putih, kental, melekat (lengket) keluar ketika memuncaknya syahwat tetapi tidak terasa nikmat, tidak memancar dan tidak terasa lemas setelahnya, bahkan kadang-kadang seorang tidak merasakan keluarnya air tersebut. Hal ini berlaku bagi kaum pria dan wanita.
Madzi adalah najis menurut kesepakatan ulama’. Berdasarkan hadits 'Ali. beliau berkata, “Dulu aku adalah seorang yang sering mengeluarkan madzi. Maka aku minta seseorang untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam. karena kedudukan putri Beliau Shallallahu 'alaihi Wasallam. Maka orang itu bertanya, lalu Jawab Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam. “Dia harus berwudhu dan mencuci kemaluannya”.

5) Wadi
Yaitu air berwarna putih agak keruh dan kental yang keluar setelah kencing. Imam Nawawi mengatakan, “Umat Islam telah bersepakat akan najisnya air madi dan wadi.”
Dasar najisnya wadi adalah ucapan sahabat Ibnu Abbas. Beliau mengatakan, “Mani, wadi dan madzi. Keluarnya mani mengharuskan mandi wajib. Adapun wadi dan madzi, maka cucilah kemaluanmu dan berwudhulah sebagaimana wudhu untuk sholat.”
Syaikh Utsaimin menyatakan bahwa madzi dan wadi jika telah dijaga dengan baik dan memperhatikan betul agar tidak terkena oleh keduanya, maka keduanya dimaafkan jika tetapa mengenai pakaian dan badan.

6) Mani
Ummu Sulaim pernah bercerita bahwa dia bertanya kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam tentang wanita yang bermimpi (bersenggama) sebagaimana yang terjadi pada seorang lelaki. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila perempuan tersebut bermimpi keluar mani, maka dia wajib mandi."
Ummu Sulaim berkata, "Maka aku menjadi malu karenanya". Ummu Sulaim kembali bertanya, "Apakah keluarnya mani memungkinkan pada perempuan?"
Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Ya (wanita juga keluar mani, kalau dia tidak keluar) maka dari mana terjadi kemiripan (anak dengan ibunya)? Ketahuilah bahwa mani lelaki itu kental dan berwarna putih, sedangkan mani perempuan itu encer dan berwarna kuning. Manapun mani dari salah seorang mereka yang lebih mendominasi atau menang, niscaya kemiripan terjadi karenanya."
Imam An-Nawawi menjelaskan dalam Syarh Muslim (3/222), “Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung dalam menjelaskan bentuk dan sifat mani, dan apa yang tersebut di sini itulah sifatnya di dalam keadaan biasa dan normal. Para ulama menyatakan: Dalam keadaan sehat, mani lelaki itu berwarna putih pekat dan memancar sedikit demi sedikit di saat keluar. Biasa keluar bila dikuasai dengan syahwat dan sangat nikmat saat keluarnya. Setelah keluar dia akan merasakan lemas dan akan mencium bau seperti bau mayang kurma, yaitu seperti bau adunan tepung.
Warna mani bisa berubah disebabkan beberapa hal di antaranya: Sedang sakit, maninya akan berubah cair dan kuning, atau kantung testis melemah sehingga mani keluar tanpa dipacu oleh syahwat, atau karena terlalu sering bersenggama sehingga warna mani berubah merah seperti air perahan daging dan kadangkala yang keluar adalah darah.”
Mengenai hukum mani, para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa mani adalah najis. Sedangkan yang menganggapnya suci adalah Imam Syafi’i, Ahmad, dan Daud.
Dalil yang dijadikan hujjah pendapat pertama adalah hadits Aisyah yang mengatakan, “Aku pernah mencuci pakaian Nabi (yang terkena mani), dan beliau shalat dengan menggunakan pakaian yang ada bekas cucian tadi.”
Hadits ini dipahami, bahwa mencuci (ghuslu) pakaian yang terkena mani menunjukkan bahwa mani adalah najis. Karena menghilangkan najis adalah dengan mencuci. Namun demikian, ulama kedua menjawab bahwa ingus dan dahak yang mengenai baju juga dibersihkan dengan mencuci. Sehingga mani disamakan hukumnya sebagaimana ingus dan dahak, yaitu tidak najis.
Adapun hujjah yang mengatakan mani tidak najis adalah hadits Aisyah juga. Beliau berkata, “Sungguh aku pernah mengerik air mani yang terdapat pada pakaian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, lalu beliau menggunakan pakaian tersebut untuk mendirikan shalat.”
Berbeda dengan riwayat pertama yang menggunakan kalimat ghuslu, riwayat kedua ini disebutkan kalimat fark atau mengerik. Dengan itu dipahami bahwa sesuatu yang dikerik adalah bukan najis. Namun demikian ulama pertama membantah dengan mengatakan, “Mengerik itu tidak menunjukkan mani adalah suci. Akan tetapi ia hanya menunjukkan keterangan cara mensucikan sebagaimana najis di sandal yang disucikan dengan cara menghusapnya dengan tanah.”
Imam An-Nawawi menjelaskan, “Perbuatan Aisyah (keduanya) adalah tergolong ikhtiyar (pilihan) cara untuk membersihkan saja.”
Maka, yang rojih menurut saya adalah, mani tidak termasuk najis, dengan alas an tidak adanya nash syar’i dari Rasulullah yang memerintahkan sahabatnya untuk membersihkan mani sebagaimana Rasulullah perintahkan mereka untuk membersihkan kotoran dengan isitnja’. Seandainya mani najis, niscaya Rasulullah akan menjelaskan kepada para sahabat, bahwa mani itu najis sebagaimana beliau menjelaskan najis lainnya seperti daging keledai jinak, kotoran manusia dan lainnya. Wallohu a’lam.

7) Air liur, air kencing dan kotoran anjing
Tubuh luar anjing itu suci, yang najis hanyalah air liur, air kencing dan tinjanya. Ini pendapat Abu Hanifah yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah.
Berbeda dengan Syafi’iyah dan Hanabilah, mereka berpendapat bahwa semuanya yang ada pada tubuh anjing dan babi, air liur, bekas jilatan, bahkan keringatnya adalah najis. Namun yang rojih dalam masalah ini adalah tubuh luar anjing adalah suci, namun jilatan, dan air liurnya saja yang najis. Wallahu a’lam
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda, “Jika anjing menjilat bejana seorang dari kalian, maka hendaklah ia cuci hingga tujuh kali.” Dari hadits ini air liur anjing tergolong najis. Karena bejana yang dijjilat oleh anjing diperintahkan untuk mencucinya (samak).
Hukum air liur anjing adalah najis. Dan itu berbeda dengan air liur binatang buas lainnya. Air liur semua binatang buas selain anjing adalah suci. Seperti singa, harimau dan srigala, air liurnya adalah suci. Ini adalah pendapatnya Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya.
Dasar sucinya air liur seluruh binatang buas selain anjing adalah hadits Jabir. Suatu ketika ditanyakan kepada Rasulullah, “Apakah kami boleh berwudhu dengan air bekas minum keledai?” Jawab beliau, ‘Ya, bahkan air bekas minum semua binatang buas.”

8) Daging babi
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa semua bagian tubuh babi adalah najis. Kulit, rambut, dan tulang babi semua najis walaupun disamak. Berdasarkan firman Allah,
       •          ••        •           •    
Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang”. (QS. Al-An’am : 145)
Hanyasanya Ulama’ Malikiyah berpendapat, “Keringat babi hidup, air matanya, ingusnya, dan air liurnya adalah suci.”

9) Darah

1. Darah yang keluar dari kemaluan dan anus manusia. Seperti haidh, nifas dan istihadhoh, juga yang keluar dari dubur dan semisalnya.
• Darah haidh adalah najis. Hal ini berdasarkan hadits dari Asma’ binti Abu Bakar berkata, “Seorang wanita pernah datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam seraya mengatakan, ‘Apa yang kami perbuat bila darah haidh mengenai pakaian seorang diantara kami?’ Beliau menjawab, ‘Hendaknya dia menggosoknya, membasahinya dengan air dan mencucinya kemudian dia boleh sholat dengan pakaian tersebut.”
Imam Asy-Syaukani berkata, “Ketahuilah bahwasanya darah haidh itu najis secara kesepakatan kaum muslimin sebagaimana dikatakan An-Nawawi.”
• Darah nifas juga dihukumi najis. Adapun hujjah bahwa darah nifas adalah najis berdasarkan ijma’ di kalangan ulama. Ijma’ ini dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam Asy-Syarh Al-Kabir (1/157) dan Asy-Syirbini dalam Mughni Al-Muhtaj (1/120). Karenanya, sebagaimana darah haidh, darah nifas juga najis karena tidak ada dalil yang mengecualikannya dari ijma’ di atas.
• Berbeda dengan darah istihadhah. Hukumnya adalah suci, karena wanita yang terkena istihadhah tetap wajib mengerjakan shalat berdasarkan kesepakatan ulama. Ibnu Jarir dan selainnya menukil ijma’ ulama akan bolehnya wanita yang terkena istihadhah untuk membaca Al-Qur`an dan wajib atasnya untuk mengerjakan semua kewajiban yang dibebankan kepada wanita yang suci. Lihat nukilan ijma’ lainnya dalam Al-Majmu’ (2/542), Ma’alim As-Sunan (1/217). Walaupun demikian, ulama yang lain juga menyatakan kenajisan darah istihadhoh. Yang membolehkan seorang wanita sholat dengan darah istihadhohnya adalah karena hal itu rukhsoh baginya. Sebagaimana penyakit beser dan sejenisnya. Maka, jika darah istihadhoh sedikit, hukumnya adalah najis. Karena Islam mengajarkan kepada wanita istihadhoh untuk membersihkan terlebih dahulu darahnya sebelum sholat. Hal itu menunjukkan darah itu adalah najis. Wallahu a’lam.

2. Darah manusia.
Alasannya adalah hukum asalnya adalah suci. Sedangkan tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisan darah manusia, kecuali darah haidh. Maka, darah mimisan, bekam, atau luka, semua tergolong suci. Sebagaimana yang dikuatkan oleh hadits yang menerangkan bahwa ketika sahabat shalat, darah yang keluar dari luka-luka mereka mengenai pakaian yang mereka pakai. Sementara itu, Rasulullah tidak menyuruh mereka untuk mencuci dan tidak pula menyuruh berhati-hati terhadapnya.
Dalil lainnya adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam, “Sesungguhnya mukmin itu bukanlah najis.” Jika bangkai manusia itu suci maka darahnya pun juga suci sebagaimana ikan.
Dalil lainnya adalah, orang yang mati syahid tidak dimandikan, bahkan dia dikuburkan bersama pakaian dan darahnya. Maka ini dalil yang sangat tegas menunjukkan sucinya darah, karena tidak dibenarkan seorang muslim membiarkan saudaranya terkena bahkan diliputi oleh najis, baik dia dalam keadaan hidup maupun telah meninggal. Maka seandainya darah itu najis niscaya syariat yang mulia akan memerintahkan untuk membersihkannya terlebih dahulu sebelum dikubur.
Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam beserta para sahabat beliau sangat sering melakukan jihad, dan sudah dimaklumi bahwa orang yang berjihad itu pasti sering terluka. Akan tetapi bersamaan dengan itu, tidak ada satupun perintah dari syariat yang memerintahkan mereka untuk mencuci darah mereka yang mengucur. Tatkala tidak ada nash yang shahih lagi tegas yang menunjukkan hal tersebut maka dari sini diketahui bahwa darah adalah suci.
Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam juga pernah mengizinkan para sahabat yang terluka dan juga para wanita yang mengalami istihadhah untuk masuk ke dalam masjid. Seandainya darah itu najis maka tidak mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam membiarkan mereka masuk ke masjid karena beresiko mengotori masjid dengan darah yang najis.
Berbeda dengan Syaikh Sayyid Sabiq, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Fiqhus Sunnah (I/45-46) menganggap darah yang mengalir dari tubuh manusia dan hewan yang halal dagingnya terhukumi sebagai najis, kecuali darah yang sedikit.
Namun Syaikh Al-Albani telah memberi komentar dan penjelasan dalam kitabnya Tamaamul Minnah (hal. 49-52) berkaitan dengan masalah ini. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa tidak bisa menyamakan hukum darah haidh dengan darah manusia yang lain (selain darah haidh dan nifas) dan darah binatang yang halal dimakan. Karena tidak ada dalil dari As-Sunnah Ash-Shahihah, terlebih dari Al-Qur’an yang mendukung pernyataan ini. Karena hukum asal darah adalah suci, kecuali ada bukti tekstual yang menyatakan kenajisannya. Dan pernyataan ini juga menyelisihi ketetapan sunnah. Meskipun ada referensi dari beberapa ahli hukum terdahulu dalam membedakan antara darah yang sedikit maupun banyak, namun tidak ada dalilnya dari sunnah. Bahkan disebutkan juga dalam sebuah riwayat bahwa Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu pernah dilempari panah oleh orang musyrik ketika sedang shalat di malam hari. Lalu ia mencabutnya, tetapi ia dipanah lagi hingga tiga kali. Ia melanjutkan shalatnya dalam keadaan bercucuran darah.
Hasan Al-Bashri berkata, “Kaum muslimin senantiasa shalat dengan luka-luka mereka.”
Imam Syaukani berkata, “Apabila masalah ini telah jelas bagi anda, maka anda dapat mengetahui bahwa kaidah hukum asal darah adalah suci. Karena tidak ada dalil yang kuat untuk menajiskannya.”
Namun demikian, kita harus tetap mengembalikan masalah ini kepada dalil-dalil yang shahih. Dan pendapat yang paling dekat dengan dalil yang shahih, maka itulah yang paling benar. Wallahu a’lam.

3. Darah binatang laut dan semua binatang yang halal dimakan
Hukum darah binatang laut adalah suci menurut kebanyakan ulama. Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, bahwa darah ikan, darah lalat, dan darah dari kuku binatang yang mengalir adalah najis.
Pun demikian, Abu Malik Kamal dalam kitabnya Shohih Fiqhus Sunnah melanjutkan, bahwa yang beliau pilih adalah pendapat yang menajiskan darah binatang yang halal dimakan. Terlebih lagi jika darah binatang yang tidak halal dimakan.
Dasarnya adalah sebagaimana yang beliau tuliskan, adanya ketetapan ijma’ atas najisnya darah. Namun yang paling rojih dalam masalah ini adalah yang mengatakan suci. Wallahu a’lam.

4. Darah yang tertumpahkan (mengalir)
Darah yang mengalir, baik darah manusia maupun binatang adalah darah yang keluar dari urat ketika terluka atau teriris benda tajam. Pada point kedua dan ketiga, disimpulkan bahwa darah manusia dan binatang yang halal dimakan adalah suci. Namun bagaimana jika keduanya mengalir atau banyak? Ada dua pendapat di kalangan ulama akan hukumnya:
Pertama. Dia najis. Ini merupakan mazhab Imam Empat, hanya saja mereka berpendapat bahwa darah yang jumlahnya sedikit bisa dimaafkan, walaupun mereka berbeda pendapat mengenai ukuran sedikit tersebut. Bahkan sebagian ulama ada yang menukil adanya ijma’ akan najisnya darah yang mengalir, di antaranya: Imam Ahmad -sebagaimana dalam Syarh Al-Umdah Ibnu Taimiah (1/105), Ibnu Hazm dalam Maratib Al-Ijma’ (hal. 19), An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (2/511), Al-Qurthubi dalam Tafsirnya (2/222), dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/352)
Di antara dalil mereka adalah surah Al-An’am yang tersebut di atas, mereka mengatakan bahwa kata ‘rijs’ bermakna najis. Dan juga mengkiaskan darah yang mengalir kepada darah haidh.
Kedua. Hukumnya suci. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Ad-Durar Al-Madhiyah (1/26) dan Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah (1/81). Di antara dalil-dalil mereka adalah:
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Aisyah riwayat Al-Bukhari (563) dan Muslim (1769) dimana Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam membuatkan kemah di dalam masjid bagi Sa’ad bin Muadz yang tengah terluka agar beliau bisa sering menjenguknya. Karenanya mengkiaskan darah yang mengalir kepada darah istihadhah (dan dia bukan najis), itu lebih tepat daripada mengkiaskannya dengan darah haidh. Karena darah yang mengalir dan darah istihadhah sama-sama keluar dari urat yang pecah, sementara darah haidh keluarnya dari rahim.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu pernah berlumuran darah dan kotoran binatang yang sedang disembelihnya. Kemudian ketika shalat mulai ditegakkan, ia melaksanakan shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu.
Syaikh Al-Albani mengatakan, “Seandainya keluarnya darah yang banyak itu membatalkan shalat pasti Nabi menjelaskannya. Dan seandainya hal ini tersembunyi dari Nabi (yakni tidak diketahui Nabi), pasti Allah mengetahuinya. Maka, jika darah itu membatalkan shalat atau bersifat najis, pasti Allah mewahyukan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam.”

Pendapat yang lebih benar.
Yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa darah yang mengalir dari manusia (selain dari dua lubang) dan dari biantnag yang halal dimakan bukanlah najis, berdasarkan semua dalil yang disebutkan di atas. Di antara yang merajihkan pendapat ini dari kalangan muta`akhkhirin adalah Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin Rahimahumallah. Adapun ayat yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama maka bisa dijawab dari dua sisi:
Pertama. Ayat itu hanya menjelaskan haramnya memakan darah yang mengalir, sementara pengharaman sesuatu tidaklah melazimkan najisnya sesuatu tersebut. Ganja dan rokok sudah jelas haramnya, akan tetapi tidak ada ulama yang mengatakan kalau daun ganja dan tembakau itu najis.
Kedua. Kata ‘rijs’ dalam syariat bisa bermakna najis aini (zatnya) tapi bisa juga bermakna najis ma’nawi (sifatnya) tapi bukan najis aini. Allah Ta’ala berfirman tentang kaum munafiqin, “Berpalinglah kalian darinya karena sesungguhnya mereka adalah rijs,” (QS. At-Taubah: 95) yakni najis kekafirannya tapi tidak kafir tubuhnya. Semisal dengannya ayat 33 dari surah Al-Ahzab.
Adapun nukilan ijma’ maka mungkin yang dimaksudkan adalah ijma’ ulama madzhab ataukah dikatakan bahwa para ulama ini menukil ijma’ berdasarkan nukilan ijma’ dari ulama yang lainnya, yakni mereka saling menukil satu sama lain.
Kesimpulannya adalah darah manusia dan binatang yang halal dimakan adalah suci tidak najis. Baik yang mengalir (banyak) atau sedikit. Karena darah najis disebabkan sifatnya yang mengalir adalah darah binatang yang haram dimakan. Wallahu a’lam.

5. Darah binatang yang haram dimakan yang sedikit dan tidak sampai mengalir. Seperti darah nyamuk atau lalat.
Darah semacam ini adalah suci, karena sedikit dan tidak bisa dihindari. Bahkan, menurut Hanafiyah darah kutu manusia dan hewan dan kutu busuk walaupun jumlahnya banyak tidak najis.

6. Darah yang menempel pada daging-daging hewan sembelihan udh-hiyah.
Darah yang masih menempel pada urat, hati, atau limpa binatang, semuanya adalah suci baik sedikit atau banyak. Dasarnya adalah riwayat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, hal mana beliau pernah berlumuran darah dan kotoran binatang yang sedang disembelihnya. Kemudian ketika shalat mulai ditegakkan, ia melaksanakan shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu.

7. Darah hati dan limpa
Sucinya darah hati dan limpa berdasarkan ijma’ di kalangan ulama, sebagaimana yang dinukil oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (2/578) dan selainnya.

10) Bangkai

1. Bangkai hewan (selain binatang air) yang memiliki darah
Untuk bangkai ulama sepakat tentang kenajisannya sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid juga Imam Nawawi dalam Al-Majmu’.
Para ulama’ juga sepakat bahwa daging adalah bagian dari bangkai yang dihukumi najis. Berbeda dengan bulu atau rambut dan tulang bangkai, sebagian mereka berselisih pendapat mengenai kenajisannya. Imam Syafi’i berpendapat, bulu atau rambut dan tulang bangkai dihukumi najis. Adapun Abu Hanifah tidak menganggap najis keduanya. Sedangkan Imam Malik membedakan antara bulu dan tulang. Tulang bangkai menurut beliau adalah najis sedangkan bulunya tidak.
Dari Abdullah bin Abbas dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda, “Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci.”
Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati itu najis sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu.
Bangkai hewan ini dibagi menjadi dua bagian :
Pertama. Bagian jasad yang keras adalah suci. Seperti tulang, gigi, bulu, dan yang sejenisnya. Ini pendapat madzhab Abu Hanifah, dan dikuatkan Syaikhul Islam. Bahkan pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama salaf.
Dalilnya, hadits Ibnu Abbas, “Suatu ketika, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam melewati bangkai seekor kambing. Kemudian beliau bersabda, ‘Tidakkah kalian memanfaatkan kulitnya?’ Jawab mereka, ‘Bukankah ia bangkai?’. Rasulullah bersabda, ‘Sesunggunya yang diharamkan adalah memakannya.’
Kedua. Bagian jasad yang basah. Seperti daging, darah, dan urat adalah najis. Ini merupakan ijma’ para ulama.

2. Bangkai manusia (jenazah)
Bangkai manusia (jenazah) tidak dihukumi najis. Berdasarkan keumumam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, “Sesungguh mukmin itu tidak najis.”

3. Bangkai hewan air, dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir
Madzhab Malik dan sahabat-sahabatnya menganggap bangkai hewan air, dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir adalah suci. Madzhab Syafi’i memandang tidak ada perbedaan antara hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir dengan yang memiliki darah. Keduanya adalah najis. Berbeda dengan bangkai hewan laut, menurut madzhab ini tidak najis. Namun, sesuai dengan yang lain, pendapat madzhab Syafi’i juga menyepakati bahwa bangkai cacing dan ulat tidak najis. Dalam masalah ini madzhab Abu Hanifah menyatakan kesamaan antara bangkai hewan darat dan laut, namun tidak menajiskan bangkai hewan laut.
Pendapat bahwa hewan air tidak najis -dan inilah pendapat yang rajah- dikuatkan dengan pernyataan Imam Thabari, beliau menukilkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa yang dimaksud dengan صَيْدُهُ adalah binatang laut itu diambil dalam keadaan hidup dan طَعَامُهُ adalah binatang itu diambil dalam keadaan mati .
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Laut itu suci air dan halal bangkainya.”
Sedangkan pendapat “tidak najisnya setiap hewan yang tidak memiliki darah yakni darah tidak mengalir ketika hewan itu dibunuh atau terluka seperti lalat belalang kalajengking dan lainnya”, berdalil dengan hadits, “Apabila jatuh lalat dalam bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah ia mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya.”
Imam Ash-Shan`ani Rahimahullah berkata, “Dimaklumi bahwa lalat akan mati apabila jatuh ke dalam air ataupun makanan terlebih lagi apabila makanan dalam keadaan panas, maka seandainya lalat itu menajisi makanan tersebut niscaya makanan tersebut rusak sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk memperbaiki makanan yang ada tidak merusakkannya.”

4. Kulit bangkai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya.”
Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati itu najis sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu.
Adapun hukum memanfaatkan kulit binatang, para ulama menjelaskan, (BIDAYATUL MUJTAHID)……..
Dalilnya, hadits Ibnu Abbas, “Suatu ketika, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam melewati bangkai seekor kambing. Kemudian beliau bersabda, ‘Tidakkah kalian memanfaatkan kulitnya?’ Jawab mereka, ‘Bukankah ia bangkai?’. Rasulullah bersabda, ‘Sesunggunya yang diharamkan adalah memakannya.’

11) Potongan tubuh hewan yang terputus saat masih hidup, kecuali rambut dan yang sejenis dengannya
Dasar najisnya adalah hadits Rasullah, “Setiap yang terputus dari tubuh hewan –dalam kedaan hidup- maka itu adalah najis.”
Tidak ada perselisihan di antara ulama tentang kenajisannya. Yang ada hanyalah bagian potongan tubuh hewan itu saja. Sebagian mengatakan bulu dan kulitnya tidak najis, hanya daging saja. Sedangkan yang lain mengtakatan, bahwa semua yang terpotong dari tubuh hewan yang masih hidup, baik daging, kulit, atau bulunya pun termasuk najis. Ibnu Ruysd dan DR. Wahbah dalam Fiqhul Islamnya menguatkan pendapat pertama. Wallahu a’lam.

12) Daging dan susu hewan yang dilarang memakannya
Menurut kebanyakan ulama, daging hewan yang haram dimakan adalah najis. Berdasarkan hadits Anas, beliau mengatakan, “Kami memakan daging keledai pada waktu Khoibar. Rasulullah pun menyahut kami, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian memakan daging himar (keledai), karena itu adalah rijs (kotor) atau najis.”
Demikian pula dalam hadits Ali bin Abi Thalib, bahwa pada saat perang Khaibar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam melarang melakukan nikah mut'ah, melarang memakan daging keledai jinak (humurul insiyah).
Namun dalam hadits riwayat Muslim lainnya dinyatakan bahwa keledai liar atau humur wahsy adalah halal. Abu Qatadah dari bapaknya Radliallahu 'anhu, ia berkata; “Kami pernah pergi melaksanakan haji bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sebagian sahabat menempuh jalan yang lain, termasuk Abu Qatadah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda, "Tempuhlah jalan pantai hingga kalian menemuiku." Mereka pun kemudian menempuh jalan pesisir pantai. Ketika mereka semua berangkat lebih dulu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, semuanya berihram kecuali Abu Qatadah. Di tengah-tengah perjalanan, tiba-tiba mereka melihat beberapa ekor keledai liar, kemudian Abu Qatadah berhasil menangkap seekor darinya yang betina dan menyembelihnya. Rombongan kemudian berhenti, lalu memakan daging himar tersebut. Kemudian mereka berkata, "Kita telah memakan daging binatang buruan, padahal kita sedang berihram." Lalu sisa daging tersebut mereka bawa. Dan tatkala mereka sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mereka pun berkata, "Wahai Rasulullah, kami tadi telah berihram, sedangkan Abu Qatadah tidak berihram, lalu kami melihat beberapa ekor himar liar, kemudian ditangkap oleh Abu Qatadah, lalu disembelihnya. Kemudian kami berhenti untuk memakan dagingnya. Dan kami pun berkata, 'Kita makan daging hewan buruan, padahal kita sedang ihram.' Maka sisa daging tersebut pun kami bawa." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bertanya: "Apakah ada seorang dari kalian yang telah menyuruh atau memberinya petunjuk (isyarat) terhadap buruan tersebut?" Mereka menjawab, "Tidak ada." Akhirnya beliau pun bersabda: "Kalau begitu, makanlah dagingnya yang masih tersisa."
Dari hadits ini disimpulkan bahwa keledai jinak (humurul insiyah) saja yang tergolong haram. Dan dagingnya pun dihukumi najis. Adapun keledai liar (humur wahsy) adalah halal dan hukum dagingnya pun tidak tergolong najis. Wallohu a’alam
Sedangkan hukum susu binatang tersebut disamakan dengan hukum dagingnya adalah keterangan yang dikuatkan oleh DR. Wahbah Zuhaili dan ulama’ lainnya, “karena susunya adalah sesuatu yang berasal dari daging, sehingga dijadikan hukumnya sama najis.”

13) Khomer
Imam Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Ahmad bin Hambal) sepakat mengatakan bahwa khomer itu adalah najis karena memabukkan. Berdalil pada firman Allah Ta'ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. Al Maidah: 90)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa khomer termasuk rijs yang diartikan sebagai najis. Najis adalah kotor maka harus dijauhi. Atas dasar ini, mereka menetapkan bahwa semua yang memabukkan adalah najis, sebagaimana khomer.
Pendapat mayoritas ulama’ ini juga pernah disampaikan DR. Shalah Shawi, ”Telah terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang najis atau sucinya khomer, sedangkan jumhur ulama berpendapat alkohol itu najis...”
Berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain, seperti; Imam Rabi'ah (guru Imam Malik), Imam Laits bin Sa'd, Al-Muzany (murid Imam Syafi'i) dan selain mereka dari ulama salaf serta sebagian ulama' al-mutaakhkhirun (kontemporer) berpendapat, bahwa khomer adalah suci. Pendapat ini pula yang telah dianggap lebih rojih (kuat) oleh Imam Syaukani, As-Shon'ani, Ahmad Syakir, Utsaimin dan Al-Albani. Pendapat ini mengambil dalil dari perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam membuang air khomer di jalan-jalan umum ketika turun ayat yang mengharamkannya.
Dalil dan alasan pendapat yang menyatakan bahwa khomer atau alkohol adalah bukan najis:
1. Dalam ayat tersebut tidak ada yang menunjukkan najisnya khomer, di mana hal ini ditinjau dari beberapa segi;
a) Makna lafazh rijsun mempunyai banyak makna. Di antaranya; kotoran, sesuatu yang haram, keburukan, adzab, laknat, kekufuran, keburukan, dosa dan najis serta makna yang lainnya.
b) Khomer termaktub dalam ayat berpasangan dengan al-ansab (berjudi), Azlam (mengundi nasib), semua memiliki makna rjis. Namun tidak najis secara Syar'i seperti yang tertera dalam firman Allah Ta’ala, ”Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah najis,” (QS. At-Taubah: 28), hal ini seperti tertera dalam dalil–dalil yang shahih yang memiliki makna bahwa sebenarnya orang-orang musyrik tidak najis.
c) Sesungguhnya pengharaman terhadap khomer tidak menunjukkan hukum najisnya khomer itu sendiri, namun hukum najis yang dimaksud untuk hukum haram pada hal-hal tersebut. Oleh karena itu, diharamkannya mengenakan sutera dan emas untuk orang laki-laki tidak menunjukkan keduanya najis. Sebab keduanya adalah suci baik ditinjau secara syara' dan ijma'.
d) Lafazh rijs termaktub dalam al-qura'an tidak hanya pada satu tempat, ia terdapat pada tiga tempat dan tidak satu pun yang memaknai rijs sebagai sesuatu yang najis.
e) Ar-Rijs yang ada pada ayat tersebut dikaitkan dengan kalimat ”min amalis syaithan” yaitu bentuk amal yang najis, artinya jelek, haram atau dosa, karena hal ini memang hukumnya najis.

2. Di antara dalil yang dijadikan dasar kesucian khomer adalah hadits Anas -Rodhiyallohu ’anhu-, di dalamnya terdapat kalimat; ”….maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan dengan berseru, 'Bukankah khomer telah diharamkan.?' Ia berkata, ”Maka aku pun mengeluarkan dan menumpahkannya sampai berceceran di jalan-jalan Madinah.”
3. Hukum asal dari khomer adalah suci dan tidak ada perubahan dari kesucian itu melainkan dengan perubahan yang benar, serta belum ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Dengan demikian hal ini tetap pada hukum asalnya.
4. Jika khomer itu najis, pasti Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk menyiram dengan air pada tanah itu guna mensucikannya. Sebagaimana Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk menyiram air seni seorang Badui, dan juga Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam pasti memerintahkan untuk senantiasa berhati-hati dan menjaga darinya.
Pendapat yang benar
Yang benar bahwa makna kata najis di atas bukanlah najis secara hakiki, tetapi najis secara maknawi (najis pada makna di dalamnya). Sehingga, jika mengenai pakaian, pakaian tersebut tidak harus dicuci. Diartikan demikian karena judi, berhala, undian pada ayat tersebut tidaklah dikatakan najis secara hakiki. Maka alkohol (khomer) boleh disentuh (tidak najis), sebagaimana juga berhala dan lainnya. Bahkan terdapat dalil tentang sucinya alkohol dalam hadits dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri -Rodhiyallohu ’anhu-, bahwa ketika ayat pelarangan khomer itu turun, para sahabat menumpahkan khomer-khomer mereka di jalan-jalan kota Madinah (HR. Muslim)
Sekalipun Imam Madzhab yang empat sepakat mengatakan bahwa alkohol itu adalah najis, akan tetapi ada riwayat-riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam pernah menggunakan hal-hal yang najis, seperti :
a. Maimunah binti Harits Al-Hilaliyah -Rodhiyallohu ’anha- mengemukakan hadits Dabghul Ihab (menyamak kulit), yakni perintah Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam agar menyamak kulit bangkai kambing dan memanfaatkannya.
b. Hadits Abu Hurairah -Rodhiyallohu ’anhu- tentang perintah menenggelamkan lalat atau bangkai lalat yang masuk dalam air minum.
c. HR. Ibnu Kuwaiz Mandad, bahwa seseorang bertanya pada Nabi perihal pemanfaatan bulu babi hutan untuk keperluan jahit-menjahit, dan Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam berkata tidak apa-apa.
Hal ini dikuatkan oleh pendapatnya Syaikh Al-Albani yang mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu isyarat tentang sucinya khomer sekalipun haram hukumnya. Sebab seandainya khomer tidak suci, tentu para sahabat tidak akan menuangkannya di jalan-jalan dan tempat lewat banyak orang, tetapi mereka akan membuangnya ke tempat yang jauh sebagaimana layaknya barang-barang najis lainnya.”
Dari kaidah fiqhiyyah dapat juga dibuktikan bahwa alkohol tidaklah najis. Sebagaimana Syaikh Ibnu ’Utsaimin juga mengatakan, “Tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya zat khomer. Dan jika tidak ada dalil yang menunjukan demikian maka zat khomer adalah suci karena (kaidah mengatakan) asal segala sesuatu adalah suci dan tidak setiap yang haram itu najis, sebagaimana racun itu haram namun tidak najis.”
Jika telah jelas bahwa zat alkohol tidaklah najis, maka tidaklah wajib untuk mencuci sesuatu yang terkena alkohol.” Wallohu a’lam.


14) Air Quruh (bisul yang memburuk, penyakit cacar)

15) Yang keluar dari mulut manusia saat tidur
16) Muntah
Sebagian ulama memandang muntah manusia najis baik orang dewasa atau anak-anak kecuali hanya sedikit, maka hal itu dimaafkan (tidak najis).
Dalam Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq maupun dalam Al-Majmu karya Imam Nawawi, atau kitab fikih lainnya menyebutkan bahwa muntah itu najis dan menjadi kesepakatan para ulama. Namun tidak disebutkan dalil yang menunjukan dalil najisnya muntah. Sehingga oleh sebagian ahli fikih kontemporer semisal Syeikh Al-Albany, Syaikh Kamil Uwaidah berpendapat bahwa muntah itu suci karena tidak ada dalil yang menunjukan kenajisannya.
Dalil ulama yang mengatakan najisnya muntah adalah hadits Ammar, Rasulullah bersabda, “Cucilah bajumu yang terkena air kencing, tahi, muntah, darah dan mani.” Namun derajat hadits ini dho’if dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Dalil shohih yang dijadikan hujjah adalah hadits Abu Darda’, “Suatu ketika Nabi muntah, maka beliau berbuka dan berwudhu.”
Abu Malik Kamal menjelaskan, “Hadits ini tidak menunjukkan kenajisan muntah. Tidak pula menunjukkan wajibnya wudhu karena muntah itu, dan membatalkan wudhu. Hanyasanya hadits dipahami untuk anjuran berwudhu setelah muntah. Karena perbuatan yang semata-mata dilakukan Nabi tidal semua menunjukkan hukumnya wajib. Lagi pula tidaklah setiap yang membatalkan wudhu (buang angin misalnya) dihitung najis. Demikianlah madzhabnya Ibnu Hazm dan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawanya.”

4. Kadar yang Dimaafkan Kenajisannya
Dalam Mudzakarotu Fiqh milik Syaikh Utsaimin, disebutkan enam macam bentuk najis yang dimaafkan.
Pertama. Sedikit darah yang keluar dari selain dua lubang. Adapun darah binatang seperti anjing dan binatang najis lainnya, sedikit dan banyaknya sama saja dihukumi najis.
Adapun ukuran sedikit menurut ulama adalah sebagai berikut; 1) kembali kepada urf dan adat (kebiasaan) masyarakat. 2) kembali kepada pribadi masing-masing. Yang benar adalah pendapat pertama. Karena manusia berbeda-beda, sebagian meremehkan dan sebagian lagi berlebihan. Maka, yang lebih adil dan benar adalah yang pertama.
Kedua. Madzi dan air kencing yang terus menerus keluar setelah menjaganya dengan sebaik mungkin.
Ketiga. Sedikit muntahan. Menurut Syaikh muntah adalah cairan najis. Namun sebagaimana yang saya bahas di awal, muntah menurut pendapat yang rojih adalah tidak najis.
Keempat. Sedikit air kencing dan kotoran keledai jinak dan bighol.
Kelima. Sedikit air kencing khofasy.
Keenam. Semua benda najis yang sedikit. Hal ini dikuatkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dengan dasar, bahwa din ini adalah mudah.

5. Cara menghilangkan Najis

Reference dari : Shohih Fiqhus Sunnah, Al-Mulakhos, Qoulur Rojih Ma’ad dalil, Fiqhul Islam dll…..
Mencuci dari najis
من أصابته نجاسة في ثوبه أو بدنه و جهل موضعها يجب غسله كله
Alasybah wan nazhoir syafiif (1/145)

Bab 5, belum sempat disempurnkan.. masih proses.. Afwan....

..Anshor... SOLO

MACAM-MACAM NAJIS

1. Defenisi Najis
Najis adalah lawan dari thoharoh (suci) yaitu sebuah benda yang dianggap kotor secara syara’ (Al-Qur'an dan Al-Hadits).
Dari defenisi di atas dapat diketahui bahwa najis mempunyai dua sifat utama:
Pertama. Sebuah benda. Hal ini untuk membedakan najis dengan hadats. Artinya, najis itu harus berupa benda sedangkan hadats tidak harus. Keluar angin (kentut) misalnya, dia termasuk hadats tetapi tidak termasuk najis.
Kedua. Kotor. Tidak ada barang najis kecuali kotor. Bila dianggap oleh sebagian pihak sebagai barang yang suci, maka akalnya perlu dipertanyakan.
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “Setiap yang halal itu suci. Setiap yang najis itu haram. Dan tidaklah setiap yang haram itu najis.”

2. Kaedah Tentang Najis
a. Hendaknya setiap muslim benar-benar memahami ‘asal segala sesuatu adalah suci.’
Hal ini berdasarkan firman Allah, “Dia-lah Allah, yang menjadikah segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqoroh: 29).
Ayat mulia di atas menunjukkan bahwa asal segala sesuatu dalam urusan dunia adalah boleh dan suci.

b. Tidak boleh bagi seorang untuk menajiskan suatu barang kecuali berdasarkan dalil.
Hal ini sebagaimana firman Allah, “Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu,” (QS. Al-An' am: 119).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan kedua kaidah di atas dengan pembahasan yang menarik dalam Majmu’ Fatawa (21/534-542).

c. Sesuatu yang najis pasti haram, tapi sesuatu yang haram belum tentu najis. Barang haram tidak mesti najis.
Contohnya, ganja, obat-obat memabukkan dan racun hukumnya adalah haram dikonsumsi, tetapi tidak najis untuk disentuh. Tidak ada satu dalilpun yang menyatakan hal itu najis.
Demikian pula kain sutra dan emas, hukumnya haram dipakai kaum pria tetapi keduanya adalah suci menurut syari’at dan ijma’ (kesepakatan).
Kaidah ini diperkuat dengan firman Allah, “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan.” (QS. An-Nisa: 23).
Seandainya barang haram itu mesti najis, maka para wanita yang tersebut dalam ayat di atas seperti ibu, kakak perempuan dan seterusnya adalah najis!

3. Macam-macam Najis dan Cara Mensucikannya
Para ulama berbeda-beda dalam membagi-bagi macam najis. Penulis I’anatut Tholibin, sebagai yang mewakili dari madzhab Syafi’i membagi najis kepada empat bagian.
Pertama, najis yang tidak dimaafkan yang mengenai baju dan air. Yaitu kotoran dan air kencing. Kedua, yang dimaafkan yang mengenai keduanya karena tidak diketahui letaknya. Ketiga, najis yang dimaafkan yang mengenai pakaian bukan air, yaitu darah yang sedikit. Keempat, najis yang dimaafkan yang mengenai air bukan pakaian, yaitu bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya.
Sedangkan yang lain mengatakan bahwa najís terbagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu; Pertama, najis mukhaffafah (ringan). Yaitu najis yang berasal dari air kencing bayi laki - laki yang belum berumur 2 tahun dan belum pernah makan sesuatu kecuali air susu ibunya.
Kedua, najis mughallazhah (berat). Yaitu najis yang berasal dari hewan babi dan anjing serta keturunannya.
Ketiga, najis mutawassithah (sedang). Yaitu najis selain diatas, seperti keluarnya sesuatu dari kubul dan dubur manusia dan binatang kecuali air mani, barang yang memabukkan, susu binatang haram dimakan, bangkai, tulang dan bulunya, kecuali bangkai manusia ikan dan belalang
Najis muthawasithah ini di bagi menjadi 2 bagian pula; 1) Najis 'ainiyah : adalah jenis najis yang berwujud yaitu yang nampak dan dapat dilihat. 2) Najis hukmiyah, adalah najis yang tidak kelihatan bentuk atau bendanya, contoh bekas dari minuman keras yang sudah kering, bekas air kencing dan lain sebagainya.

1) Kotoran

1. Kotoran Manusia
Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu (2/529) telah menukil ijma’ tentang najisnya kotoran manusia baik anak kecil maupun orang dewasa.
Dalilnya adalah hadits Abu Said Al-Khudri, beliau berkata, “Ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam sholat bersama para sahabatnya, tiba-tiba beliau melepaskan kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya. Melihat hal itu, maka para sahabat langsung juga melepaskan sandal mereka.
Seusai sholat, Rasulullah bertanya, ‘Mengapa kalian melepas sandal kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami melihat engkau melepas sandal, maka kamipun melepas sandal. Shallallaahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Jibril telah datang mengabarkanku bahwa pada sandal tersebut ada kotoran.’ Lalu beliau bersabda, ‘Apabila seorang diantara kalian datang ke Masjid, maka hendaknya dia melihat; bila pada sandalnya terdapat kotoran (najis), hendaknya dia mengusapnya dan sholat dengan rnemakai kedua sandalnya.’

2. Kotoran Binatang Yang Halal Dimakan
Dalam masalah kotoran hewan, kita akan mendapatkan adanya perselisihan di kalangan ulama. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa kotoran hewan -baik yang halal dimakan dagingnya maupun tidak- adalah najis, sebagaimana pendapat jumhur ulama (Abu Hanifah dan Syafi’i).
Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah, beliau berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam pergi ke WC, lalu beliau memerintahkan aku membawakan tiga buah batu. Aku hanya mendapatkan dua batu, lalu aku mencari batu yang ketiga, namun aku tidak mendapatkannya hingga aku pun mengambil kotoran hewan yang sudah kering. Kemudian semua itu aku bahwa ke hadapan Nabi. Namun beliau hanya mengambil dua batu dan membuang kotoran hewan yang telah kering tersebut seraya bersabda: "Ini najis."
Sebagian yang lain berpendapat, status kotoran hewan sesuai dengan hukum memakan dagingnya. Hewan yang haram dimakan, maka kotorannya najis. Sebaliknya, hewan yang halal dimakan, kotorannya tidak dianggap najis kecuali jika hewan itu makan sesuatu yang najis. Dalilnya adalah hadits Jabir bin Samurah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam pernah memberi izin sahabat melakukan solat di tempat pemeliharaan (kandang) unta.
Dasarnya lainnya adalah hadits Ibnu Mas’ud, beliau berkata, “Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam shalat di dekat Ka'bah sementara Abu Jahal dan teman-temannya duduk di dekat beliau. Lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, 'Siapa dari kalian yang dapat mendatangkan isi perut (jerohan) unta milik bani fulan, lalu ia letakkan di punggung Muhammad saat dia sujud? 'Maka berangkatlah orang yang paling celaka dari mereka, ia lalu datang kembali dengan membawa kotoran unta tersebut. Orang itu lantas menunggu dan memperhatikan, maka ketika Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam sujud kotoran itu ia letakkan di punggung beliau di antara kedua pundaknya. Sementara aku hanya bisa melihatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Duh, sekiranya aku bisa mencegah!'
Abdullah bin Mas'ud melanjutkan kisahnya, "Lalu mereka pun tertawa-tawa dan saling menyindir satu sama lain sedang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan sujud, beliau tidak mengangkat kepalanya hingga datang Fatimah. Fatimah lalu membersihkan kotoran itu dari punggung beliau, setelah itu baru Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kepalanya seraya berdo'a: "Ya Allah, aku serahkan (urusan) Quraisy kepada-Mu." Sebanyak tiga kali…
Dimaklumi bahwa onta adalah binatang yang halal dimakan. Berdasarkan hal itu penulis Shohih Fiqhus Sunnah mengatakan, “Jika kotoran onta dihukumi najis, niscaya Rasulullah melepaskan pakaiannya atau membatalkan sholatnya.”
Maka yang rojih dalam masalah ini adalah hukum kotoran binatang yang halal dimakan adalah suci, tidak najis. Karena hukum segala sesuatu asalnya adalah suci, dan samapai adanya dalil yang menetapkan kenajisannya. Dan yang dalil yang didapati menunjukkan kesuciannya. Hadits yang dijadikan dalil najisnya kotoran semua binatang di atas, dipahami kepada kotoran binatang yang haram dimakan.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dalam Al-Fatawa Al-Kubra (5/313), “Kencing dan tinja hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah suci, tidak ada seorangpun dari para sahabat yang berpendapat najisnya. Bahkan pendapat yang menyatakan najisnya adalah pendapat yang muhdats (baru muncul), tidak ada pendahulunya –yang mencontohkan- dari kalangan para sahabat.”

3. Kotoran Binatang Yang Haram Dimakan
Hukum kotoran binatang yang haram dimakan berbeda dengan hukum kotoran binatang yang halal dimakan. Jika kotoran binatang yang halal dimakan adalah suci, maka kotoran binatang yang haram dimakan adalah najis. Sebagaimana yang dipahami oleh ulama dari hadits ‘Abdullah, beliau berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam pergi ke WC, lalu beliau memerintahkan aku membawakan tiga buah batu. Aku hanya mendapatkan dua batu, lalu aku mencari batu yang ketiga, namun aku tidak mendapatkannya hingga aku pun mengambil kotoran hewan yang sudah kering. Kemudian semua itu aku bahwa ke hadapan Nabi. Namun beliau hanya mengambil dua batu dan membuang kotoran hewan yang telah kering tersebut seraya bersabda: "Ini najis."
Namun demikian, kotoran binatang yang haram dimakan ini, tidak semuanya dikatakan najis. Karena adanya dalil yang jelas menetapkan kesuciannya, atau sifat kotorannya yang dimaafkanoleh syar’i. Seperti kotoran cicak. Binatang cicak hukum memakannya adalah haram. Namun kotorannya tidak dikatakan najis karena………
Sementara pendapat yang lain dari kalangan ulama dan -wallahu Ta’ala a’lamu bishshawab- ini adalah pendapat yang kuat menurut Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsary dalam salah satu situsnya, mereka menyatakan bahwa pada asalnya semua kotoran hewan suci, kecuali ada nash yang mengatakan najis, maka barulah dikatakan najis. Al-Ustadz menyatakan bahwa ini merupakan pendapatnya Ibnul Mundzir, dan dinukilkan oleh Imam An-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab bahwa ini adalah perkataan Daud Azh-Zhahiri, Ibrahim An-Nakha’i dan Asy-Sya’bi. Pendapat ini juga didukung oleh Imam Asy-Syaukani di dalam kitab-kitab beliau, diantaranya Nailul Authar dan Ad-Daraari.
Artinya pendapat ketiga ini meyakini bahwa kotoran binatang yang haram adalah suci, apalagi binatang yang halal dimakan. Kata Al-Ustadz, “Dengan apa yang telah diterangkan di atas, maka jelaslah bahwa tidak semua yang kotor pada wujudnya itu najis, kecuali ada nash yang menerangkan kenajisannya. Misalnya tahi cicak, tidak ada nash yang menunjukkan kenajisannya, maka itu bukan najis. Namun bila dikatakan kotoran (sesuatu yang kotor) maka tahi cicak itu memang termasuk kotoran.
Menurut saya, yang tampak jelas dari dalil di atas adalah hujjah yang menyatakan kotoran binatang yang haram dimakan adalah najis. Wallohu a’lam. Termasuk di antaranya adalah kotoran kucing. Kucing yang haram dimakan, walaupun bekas jilatannya adalah suci –sebagaimana dalah hadits- kotorannya dihukumi najis. Karena riwayat tentang kucing ini hanya ada pada masalah jilatan dan bekas makan minumnya saja. Dan tidak menyamakannya dengan kotorannya. Sehingga antara bekas jilatan dan kotoran –termasuk air kencingnya- adalah berbeda.
Dalil jilatan kucing adalah suci adalah hadits dari Dawud bin Shalih bin Dinar At Tammar dari Ibunya. Bahwasanya tuan wanita ibu Dawud memerintahkan kepadanya untuk membawa kue (terbuat dari tepung gandum) kepada Aisyah radhiallahu 'anha. Namun dia mendapati Aisyah sedang shalat. Maka Aisyah memberikan isyarat kepadanya untuk meletakkan apa yang dia bawa. Lalu seekor kucing datang dan langsung memakan sesuatu darinya. Setelah Aisyah selesai shalat, dia memakan dari bagian yang dimakan oleh kucing tersebut seraya berkata; ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda: "Sesungguhnya kucing tidaklah najis, ia di antara binatang yang selalu mengelilingi kalian." Dan aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam berwudhu dengan air sisa jilatan kucing.
Dari hadits ini semakin jelaslah, bahwa yang suci dari binatang kucing adalah bekas jilatan atau bekas makan dan minumnya saja. Adapun kotorannya beserta air kencingnya termasuk yang dihukumi najis, sebagaimana kotoran binatang-binatang yang haram dimakan lainnya.

2) Air kencing

1. Kencing bayi belum memakan selain ASI (susu)
Mengenai kencing anak-anak yang masih menyusui, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam bersadba, “Kencing anak laki-laki itu dengan diperciki, sedangkan kencing anak perempuan dengan dicuci. (Hal ini dilakukan selama keduanya belum mengkonsumsi makanan. Adapun bila sudah mengkonsumsi makanan, maka harus dibasuh kedua-duanya).”
Akan tetapi pendapat yang kuat menyatakan bahwa kencing anak laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan itu adalah najis sebagaimana dinyatakan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim, namun najis ringan. Dalil keringanan diisyaratkan dengan ringan cara membersihkannya. Seperti dalam hadits Ummu Qais binti Mihshan yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, “Ummu Qais binti Mihshan Al-Asadiyah membawa anak yang masih kecil dan belum makan makanan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, lalu Rasulullah mendudukkan anak itu di pangkuannya. Kemudian anak itu kencing di baju beliau. Karena itu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam meminta air dan mengguyurkan ke bajunya dan tidak mencucinya.

2. Air Kencing Orang Dewasa
Berbeda dengan air kencing anak bayi, air kencingnya orang dewasa atau orang yang telah makan selain ASI dihukumi najis. Imam An-Nawawi menjelaskan, “Adapun air kencing orang dewasa, maka hukumnya najis dengan kesepakatan kaum muslimin. Ijma’ ini telah dinukil oleh Ibnu Mundzir dan sahabat-sahabat kami serta selain mereka.”
Kesimpulannya, kalau kotoran orang dewasa atau bayi dihukumi najis. Berbeda dengan air kencing, air kencing orang dewasa adalah najis, sedangkan bayi yang belum makan selain ASI tidak najis.

3. Air Kencing Binatang Yang Halal Dimakan
Sebagaimana hukum kotorannya, air kencing binatang yang halal dimakan adalah suci. Dikuatkan dengan pernyataannya Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, yang beliau katakana percis dengan sebelumnya, “Kencing dan tinja hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah suci, tidak ada seorangpun dari para sahabat yang berpendapat najisnya. Bahkan pendapat yang menyatakan najisnya adalah pendapat yang muhdats
(baru muncul), tidak ada salafnya dari kalangan para sahabat.”
Di antara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat Muslim dimana Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam mengizinkan shalat di kandang kambing. Maka ini menunjukkan tinja dan kencing kambing (dan dia adalah hewan yang halal dimakan) adalah suci dan bukan najis, karena tidak boleh shalat pada tempat yang ada najisnya.
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Sekelompok orang dari Bani ‘Akl -atau Bani ‘Urainah- datang menemui Nabi namun mereka merasa tidak betah tinggal di Madinah karena sakit yang menimpa mereka. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan agar didatangkan seekor unta betina yang banyak susu dan menyuruh mereka minum air kencing dan susunya. Mereka pun beranjak melakukannya. Ketika telah sehat mereka membunuh penggembala ternak Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan meminum susu ternak itu. Datanglah berita tentang peristiwa itu menjelang siang, sehingga Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam memerintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Pada siang hari mereka didatangkan ke hadapan Nabi lalu beliau memerintahkan agar dipotong tangan dan kaki mereka, dicungkil matanya dan dilemparkan ke tengah padang pasir yang panas. Mereka meminta-minta minum namun tidak diberi minum.”
Namun hadits ini dijawab oleh ulama Syafi’iyah yang mengatakan najisnya hewan yang haram dimakan, bahwa hal ini hanyalah sebagai obat, dan tidak menunjukkan bahwa kencing onta adalah tidak najis.

4. Air Kencing Binatang Yang Haram Dimakan
Hukum air kencing binatang yang haram dimakan adalah sama dengan hukum kotorannya. Yaitu najis, sebgaimana yang dibahas sebelumnya.

3) Nanah
Menurut DR. Wahbah Zuhaili, sebagaimana beliau menghukumi darah, hukum nanah adalah najis. Namun dalam bukunya Fiqhul Islam -yang menyatakan keduanya adalah najis- tidak beliau tampilkan dasar syar’inya. Beliau hanya mengatakan karena nanah adalah darah mustahil. Mungkin yang beliau maksud adalah darah yang aneh. Wallahu a’lam. Beliau pun menyatakan, yang dihukumi najis adalah nanah yang banyak. Adapun nanah yang sedikit tidak tergolong najis. Pun demikian tidak saya ketahui ukuran banyak dan sedikit yang beliau maksud.
Pendapat beliau ini percis yang dikemukakan dalam kitab I’anatut Tholibin disebutkan bahwa air bisul dan nanah adalah najis karena bercampur dengan darah. Sedangkan darah menurut penulis kitab itu adalah najis. Dan yang banyak saja dihukumi najis. Atau bahasa lainnya –sebagaimana dalam kitab Al-Asybah wan Nazhoir Imam Asy- Syafi’i (1/160)- adalah najis yang dimaafkan karena jumlahnya yang sedikit.
Namun yang terlihat jelas dari hukum nanah ini adalah bahwa dalil yang menyatakan nanah najis tidak ada. Yang ada dalil hukum sucinya darah dan dalil sucinya segala sesuatu yang ada di bumi ini. Maka, yang rojih menurut saya adalah hukum nanah adalah suci, sedikit maupuan banyak. Wallahu a’lam. Lihat dalam Shohih Fiqhus Sunnah dan lainnya. Alasannya adalah karena darah yang berasal dari tubuh manusia adalah suci, dan nanah adalah sesuatu yang berasal dari tubuh manusia, ia berada dan bercampur dengan darah, atau bisa disebut bahwa nanah adalah darah busuk, sehingga hukumnya sama dengan darah. Asalkan darah dan nanah yang keluar dari dua lubang. Hal itu menjadi kesepakatan kebanyakan ulama akan kenajisannya.

4) Madzi
Yaitu air berwarna putih, kental, melekat (lengket) keluar ketika memuncaknya syahwat tetapi tidak terasa nikmat, tidak memancar dan tidak terasa lemas setelahnya, bahkan kadang-kadang seorang tidak merasakan keluarnya air tersebut. Hal ini berlaku bagi kaum pria dan wanita.
Madzi adalah najis menurut kesepakatan ulama’. Berdasarkan hadits 'Ali. beliau berkata, “Dulu aku adalah seorang yang sering mengeluarkan madzi. Maka aku minta seseorang untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam. karena kedudukan putri Beliau Shallallahu 'alaihi Wasallam. Maka orang itu bertanya, lalu Jawab Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam. “Dia harus berwudhu dan mencuci kemaluannya”.

5) Wadi
Yaitu air berwarna putih agak keruh dan kental yang keluar setelah kencing. Imam Nawawi mengatakan, “Umat Islam telah bersepakat akan najisnya air madi dan wadi.”
Dasar najisnya wadi adalah ucapan sahabat Ibnu Abbas. Beliau mengatakan, “Mani, wadi dan madzi. Keluarnya mani mengharuskan mandi wajib. Adapun wadi dan madzi, maka cucilah kemaluanmu dan berwudhulah sebagaimana wudhu untuk sholat.”
Syaikh Utsaimin menyatakan bahwa madzi dan wadi jika telah dijaga dengan baik dan memperhatikan betul agar tidak terkena oleh keduanya, maka keduanya dimaafkan jika tetapa mengenai pakaian dan badan.

6) Mani
Ummu Sulaim pernah bercerita bahwa dia bertanya kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam tentang wanita yang bermimpi (bersenggama) sebagaimana yang terjadi pada seorang lelaki. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila perempuan tersebut bermimpi keluar mani, maka dia wajib mandi."
Ummu Sulaim berkata, "Maka aku menjadi malu karenanya". Ummu Sulaim kembali bertanya, "Apakah keluarnya mani memungkinkan pada perempuan?"
Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Ya (wanita juga keluar mani, kalau dia tidak keluar) maka dari mana terjadi kemiripan (anak dengan ibunya)? Ketahuilah bahwa mani lelaki itu kental dan berwarna putih, sedangkan mani perempuan itu encer dan berwarna kuning. Manapun mani dari salah seorang mereka yang lebih mendominasi atau menang, niscaya kemiripan terjadi karenanya."
Imam An-Nawawi menjelaskan dalam Syarh Muslim (3/222), “Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung dalam menjelaskan bentuk dan sifat mani, dan apa yang tersebut di sini itulah sifatnya di dalam keadaan biasa dan normal. Para ulama menyatakan: Dalam keadaan sehat, mani lelaki itu berwarna putih pekat dan memancar sedikit demi sedikit di saat keluar. Biasa keluar bila dikuasai dengan syahwat dan sangat nikmat saat keluarnya. Setelah keluar dia akan merasakan lemas dan akan mencium bau seperti bau mayang kurma, yaitu seperti bau adunan tepung.
Warna mani bisa berubah disebabkan beberapa hal di antaranya: Sedang sakit, maninya akan berubah cair dan kuning, atau kantung testis melemah sehingga mani keluar tanpa dipacu oleh syahwat, atau karena terlalu sering bersenggama sehingga warna mani berubah merah seperti air perahan daging dan kadangkala yang keluar adalah darah.”
Mengenai hukum mani, para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa mani adalah najis. Sedangkan yang menganggapnya suci adalah Imam Syafi’i, Ahmad, dan Daud.
Dalil yang dijadikan hujjah pendapat pertama adalah hadits Aisyah yang mengatakan, “Aku pernah mencuci pakaian Nabi (yang terkena mani), dan beliau shalat dengan menggunakan pakaian yang ada bekas cucian tadi.”
Hadits ini dipahami, bahwa mencuci (ghuslu) pakaian yang terkena mani menunjukkan bahwa mani adalah najis. Karena menghilangkan najis adalah dengan mencuci. Namun demikian, ulama kedua menjawab bahwa ingus dan dahak yang mengenai baju juga dibersihkan dengan mencuci. Sehingga mani disamakan hukumnya sebagaimana ingus dan dahak, yaitu tidak najis.
Adapun hujjah yang mengatakan mani tidak najis adalah hadits Aisyah juga. Beliau berkata, “Sungguh aku pernah mengerik air mani yang terdapat pada pakaian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, lalu beliau menggunakan pakaian tersebut untuk mendirikan shalat.”
Berbeda dengan riwayat pertama yang menggunakan kalimat ghuslu, riwayat kedua ini disebutkan kalimat fark atau mengerik. Dengan itu dipahami bahwa sesuatu yang dikerik adalah bukan najis. Namun demikian ulama pertama membantah dengan mengatakan, “Mengerik itu tidak menunjukkan mani adalah suci. Akan tetapi ia hanya menunjukkan keterangan cara mensucikan sebagaimana najis di sandal yang disucikan dengan cara menghusapnya dengan tanah.”
Imam An-Nawawi menjelaskan, “Perbuatan Aisyah (keduanya) adalah tergolong ikhtiyar (pilihan) cara untuk membersihkan saja.”
Maka, yang rojih menurut saya adalah, mani tidak termasuk najis, dengan alas an tidak adanya nash syar’i dari Rasulullah yang memerintahkan sahabatnya untuk membersihkan mani sebagaimana Rasulullah perintahkan mereka untuk membersihkan kotoran dengan isitnja’. Seandainya mani najis, niscaya Rasulullah akan menjelaskan kepada para sahabat, bahwa mani itu najis sebagaimana beliau menjelaskan najis lainnya seperti daging keledai jinak, kotoran manusia dan lainnya. Wallohu a’lam.

7) Air liur, air kencing dan kotoran anjing
Tubuh luar anjing itu suci, yang najis hanyalah air liur, air kencing dan tinjanya. Ini pendapat Abu Hanifah yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah.
Berbeda dengan Syafi’iyah dan Hanabilah, mereka berpendapat bahwa semuanya yang ada pada tubuh anjing dan babi, air liur, bekas jilatan, bahkan keringatnya adalah najis. Namun yang rojih dalam masalah ini adalah tubuh luar anjing adalah suci, namun jilatan, dan air liurnya saja yang najis. Wallahu a’lam
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda, “Jika anjing menjilat bejana seorang dari kalian, maka hendaklah ia cuci hingga tujuh kali.” Dari hadits ini air liur anjing tergolong najis. Karena bejana yang dijjilat oleh anjing diperintahkan untuk mencucinya (samak).
Hukum air liur anjing adalah najis. Dan itu berbeda dengan air liur binatang buas lainnya. Air liur semua binatang buas selain anjing adalah suci. Seperti singa, harimau dan srigala, air liurnya adalah suci. Ini adalah pendapatnya Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya.
Dasar sucinya air liur seluruh binatang buas selain anjing adalah hadits Jabir. Suatu ketika ditanyakan kepada Rasulullah, “Apakah kami boleh berwudhu dengan air bekas minum keledai?” Jawab beliau, ‘Ya, bahkan air bekas minum semua binatang buas.”

8) Daging babi
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa semua bagian tubuh babi adalah najis. Kulit, rambut, dan tulang babi semua najis walaupun disamak. Berdasarkan firman Allah,
       •          ••        •           •    
Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang”. (QS. Al-An’am : 145)
Hanyasanya Ulama’ Malikiyah berpendapat, “Keringat babi hidup, air matanya, ingusnya, dan air liurnya adalah suci.”

9) Darah

1. Darah yang keluar dari kemaluan dan anus manusia. Seperti haidh, nifas dan istihadhoh, juga yang keluar dari dubur dan semisalnya.
• Darah haidh adalah najis. Hal ini berdasarkan hadits dari Asma’ binti Abu Bakar berkata, “Seorang wanita pernah datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam seraya mengatakan, ‘Apa yang kami perbuat bila darah haidh mengenai pakaian seorang diantara kami?’ Beliau menjawab, ‘Hendaknya dia menggosoknya, membasahinya dengan air dan mencucinya kemudian dia boleh sholat dengan pakaian tersebut.”
Imam Asy-Syaukani berkata, “Ketahuilah bahwasanya darah haidh itu najis secara kesepakatan kaum muslimin sebagaimana dikatakan An-Nawawi.”
• Darah nifas juga dihukumi najis. Adapun hujjah bahwa darah nifas adalah najis berdasarkan ijma’ di kalangan ulama. Ijma’ ini dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam Asy-Syarh Al-Kabir (1/157) dan Asy-Syirbini dalam Mughni Al-Muhtaj (1/120). Karenanya, sebagaimana darah haidh, darah nifas juga najis karena tidak ada dalil yang mengecualikannya dari ijma’ di atas.
• Berbeda dengan darah istihadhah. Hukumnya adalah suci, karena wanita yang terkena istihadhah tetap wajib mengerjakan shalat berdasarkan kesepakatan ulama. Ibnu Jarir dan selainnya menukil ijma’ ulama akan bolehnya wanita yang terkena istihadhah untuk membaca Al-Qur`an dan wajib atasnya untuk mengerjakan semua kewajiban yang dibebankan kepada wanita yang suci. Lihat nukilan ijma’ lainnya dalam Al-Majmu’ (2/542), Ma’alim As-Sunan (1/217). Walaupun demikian, ulama yang lain juga menyatakan kenajisan darah istihadhoh. Yang membolehkan seorang wanita sholat dengan darah istihadhohnya adalah karena hal itu rukhsoh baginya. Sebagaimana penyakit beser dan sejenisnya. Maka, jika darah istihadhoh sedikit, hukumnya adalah najis. Karena Islam mengajarkan kepada wanita istihadhoh untuk membersihkan terlebih dahulu darahnya sebelum sholat. Hal itu menunjukkan darah itu adalah najis. Wallahu a’lam.

2. Darah manusia.
Alasannya adalah hukum asalnya adalah suci. Sedangkan tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisan darah manusia, kecuali darah haidh. Maka, darah mimisan, bekam, atau luka, semua tergolong suci. Sebagaimana yang dikuatkan oleh hadits yang menerangkan bahwa ketika sahabat shalat, darah yang keluar dari luka-luka mereka mengenai pakaian yang mereka pakai. Sementara itu, Rasulullah tidak menyuruh mereka untuk mencuci dan tidak pula menyuruh berhati-hati terhadapnya.
Dalil lainnya adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam, “Sesungguhnya mukmin itu bukanlah najis.” Jika bangkai manusia itu suci maka darahnya pun juga suci sebagaimana ikan.
Dalil lainnya adalah, orang yang mati syahid tidak dimandikan, bahkan dia dikuburkan bersama pakaian dan darahnya. Maka ini dalil yang sangat tegas menunjukkan sucinya darah, karena tidak dibenarkan seorang muslim membiarkan saudaranya terkena bahkan diliputi oleh najis, baik dia dalam keadaan hidup maupun telah meninggal. Maka seandainya darah itu najis niscaya syariat yang mulia akan memerintahkan untuk membersihkannya terlebih dahulu sebelum dikubur.
Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam beserta para sahabat beliau sangat sering melakukan jihad, dan sudah dimaklumi bahwa orang yang berjihad itu pasti sering terluka. Akan tetapi bersamaan dengan itu, tidak ada satupun perintah dari syariat yang memerintahkan mereka untuk mencuci darah mereka yang mengucur. Tatkala tidak ada nash yang shahih lagi tegas yang menunjukkan hal tersebut maka dari sini diketahui bahwa darah adalah suci.
Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam juga pernah mengizinkan para sahabat yang terluka dan juga para wanita yang mengalami istihadhah untuk masuk ke dalam masjid. Seandainya darah itu najis maka tidak mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam membiarkan mereka masuk ke masjid karena beresiko mengotori masjid dengan darah yang najis.
Berbeda dengan Syaikh Sayyid Sabiq, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Fiqhus Sunnah (I/45-46) menganggap darah yang mengalir dari tubuh manusia dan hewan yang halal dagingnya terhukumi sebagai najis, kecuali darah yang sedikit.
Namun Syaikh Al-Albani telah memberi komentar dan penjelasan dalam kitabnya Tamaamul Minnah (hal. 49-52) berkaitan dengan masalah ini. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa tidak bisa menyamakan hukum darah haidh dengan darah manusia yang lain (selain darah haidh dan nifas) dan darah binatang yang halal dimakan. Karena tidak ada dalil dari As-Sunnah Ash-Shahihah, terlebih dari Al-Qur’an yang mendukung pernyataan ini. Karena hukum asal darah adalah suci, kecuali ada bukti tekstual yang menyatakan kenajisannya. Dan pernyataan ini juga menyelisihi ketetapan sunnah. Meskipun ada referensi dari beberapa ahli hukum terdahulu dalam membedakan antara darah yang sedikit maupun banyak, namun tidak ada dalilnya dari sunnah. Bahkan disebutkan juga dalam sebuah riwayat bahwa Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu pernah dilempari panah oleh orang musyrik ketika sedang shalat di malam hari. Lalu ia mencabutnya, tetapi ia dipanah lagi hingga tiga kali. Ia melanjutkan shalatnya dalam keadaan bercucuran darah.
Hasan Al-Bashri berkata, “Kaum muslimin senantiasa shalat dengan luka-luka mereka.”
Imam Syaukani berkata, “Apabila masalah ini telah jelas bagi anda, maka anda dapat mengetahui bahwa kaidah hukum asal darah adalah suci. Karena tidak ada dalil yang kuat untuk menajiskannya.”
Namun demikian, kita harus tetap mengembalikan masalah ini kepada dalil-dalil yang shahih. Dan pendapat yang paling dekat dengan dalil yang shahih, maka itulah yang paling benar. Wallahu a’lam.

3. Darah binatang laut dan semua binatang yang halal dimakan
Hukum darah binatang laut adalah suci menurut kebanyakan ulama. Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, bahwa darah ikan, darah lalat, dan darah dari kuku binatang yang mengalir adalah najis.
Pun demikian, Abu Malik Kamal dalam kitabnya Shohih Fiqhus Sunnah melanjutkan, bahwa yang beliau pilih adalah pendapat yang menajiskan darah binatang yang halal dimakan. Terlebih lagi jika darah binatang yang tidak halal dimakan.
Dasarnya adalah sebagaimana yang beliau tuliskan, adanya ketetapan ijma’ atas najisnya darah. Namun yang paling rojih dalam masalah ini adalah yang mengatakan suci. Wallahu a’lam.

4. Darah yang tertumpahkan (mengalir)
Darah yang mengalir, baik darah manusia maupun binatang adalah darah yang keluar dari urat ketika terluka atau teriris benda tajam. Pada point kedua dan ketiga, disimpulkan bahwa darah manusia dan binatang yang halal dimakan adalah suci. Namun bagaimana jika keduanya mengalir atau banyak? Ada dua pendapat di kalangan ulama akan hukumnya:
Pertama. Dia najis. Ini merupakan mazhab Imam Empat, hanya saja mereka berpendapat bahwa darah yang jumlahnya sedikit bisa dimaafkan, walaupun mereka berbeda pendapat mengenai ukuran sedikit tersebut. Bahkan sebagian ulama ada yang menukil adanya ijma’ akan najisnya darah yang mengalir, di antaranya: Imam Ahmad -sebagaimana dalam Syarh Al-Umdah Ibnu Taimiah (1/105), Ibnu Hazm dalam Maratib Al-Ijma’ (hal. 19), An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (2/511), Al-Qurthubi dalam Tafsirnya (2/222), dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/352)
Di antara dalil mereka adalah surah Al-An’am yang tersebut di atas, mereka mengatakan bahwa kata ‘rijs’ bermakna najis. Dan juga mengkiaskan darah yang mengalir kepada darah haidh.
Kedua. Hukumnya suci. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Ad-Durar Al-Madhiyah (1/26) dan Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah (1/81). Di antara dalil-dalil mereka adalah:
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Aisyah riwayat Al-Bukhari (563) dan Muslim (1769) dimana Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam membuatkan kemah di dalam masjid bagi Sa’ad bin Muadz yang tengah terluka agar beliau bisa sering menjenguknya. Karenanya mengkiaskan darah yang mengalir kepada darah istihadhah (dan dia bukan najis), itu lebih tepat daripada mengkiaskannya dengan darah haidh. Karena darah yang mengalir dan darah istihadhah sama-sama keluar dari urat yang pecah, sementara darah haidh keluarnya dari rahim.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu pernah berlumuran darah dan kotoran binatang yang sedang disembelihnya. Kemudian ketika shalat mulai ditegakkan, ia melaksanakan shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu.
Syaikh Al-Albani mengatakan, “Seandainya keluarnya darah yang banyak itu membatalkan shalat pasti Nabi menjelaskannya. Dan seandainya hal ini tersembunyi dari Nabi (yakni tidak diketahui Nabi), pasti Allah mengetahuinya. Maka, jika darah itu membatalkan shalat atau bersifat najis, pasti Allah mewahyukan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam.”

Pendapat yang lebih benar.
Yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa darah yang mengalir dari manusia (selain dari dua lubang) dan dari biantnag yang halal dimakan bukanlah najis, berdasarkan semua dalil yang disebutkan di atas. Di antara yang merajihkan pendapat ini dari kalangan muta`akhkhirin adalah Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin Rahimahumallah. Adapun ayat yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama maka bisa dijawab dari dua sisi:
Pertama. Ayat itu hanya menjelaskan haramnya memakan darah yang mengalir, sementara pengharaman sesuatu tidaklah melazimkan najisnya sesuatu tersebut. Ganja dan rokok sudah jelas haramnya, akan tetapi tidak ada ulama yang mengatakan kalau daun ganja dan tembakau itu najis.
Kedua. Kata ‘rijs’ dalam syariat bisa bermakna najis aini (zatnya) tapi bisa juga bermakna najis ma’nawi (sifatnya) tapi bukan najis aini. Allah Ta’ala berfirman tentang kaum munafiqin, “Berpalinglah kalian darinya karena sesungguhnya mereka adalah rijs,” (QS. At-Taubah: 95) yakni najis kekafirannya tapi tidak kafir tubuhnya. Semisal dengannya ayat 33 dari surah Al-Ahzab.
Adapun nukilan ijma’ maka mungkin yang dimaksudkan adalah ijma’ ulama madzhab ataukah dikatakan bahwa para ulama ini menukil ijma’ berdasarkan nukilan ijma’ dari ulama yang lainnya, yakni mereka saling menukil satu sama lain.
Kesimpulannya adalah darah manusia dan binatang yang halal dimakan adalah suci tidak najis. Baik yang mengalir (banyak) atau sedikit. Karena darah najis disebabkan sifatnya yang mengalir adalah darah binatang yang haram dimakan. Wallahu a’lam.

5. Darah binatang yang haram dimakan yang sedikit dan tidak sampai mengalir. Seperti darah nyamuk atau lalat.
Darah semacam ini adalah suci, karena sedikit dan tidak bisa dihindari. Bahkan, menurut Hanafiyah darah kutu manusia dan hewan dan kutu busuk walaupun jumlahnya banyak tidak najis.

6. Darah yang menempel pada daging-daging hewan sembelihan udh-hiyah.
Darah yang masih menempel pada urat, hati, atau limpa binatang, semuanya adalah suci baik sedikit atau banyak. Dasarnya adalah riwayat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, hal mana beliau pernah berlumuran darah dan kotoran binatang yang sedang disembelihnya. Kemudian ketika shalat mulai ditegakkan, ia melaksanakan shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu.

7. Darah hati dan limpa
Sucinya darah hati dan limpa berdasarkan ijma’ di kalangan ulama, sebagaimana yang dinukil oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (2/578) dan selainnya.

10) Bangkai

1. Bangkai hewan (selain binatang air) yang memiliki darah
Untuk bangkai ulama sepakat tentang kenajisannya sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid juga Imam Nawawi dalam Al-Majmu’.
Para ulama’ juga sepakat bahwa daging adalah bagian dari bangkai yang dihukumi najis. Berbeda dengan bulu atau rambut dan tulang bangkai, sebagian mereka berselisih pendapat mengenai kenajisannya. Imam Syafi’i berpendapat, bulu atau rambut dan tulang bangkai dihukumi najis. Adapun Abu Hanifah tidak menganggap najis keduanya. Sedangkan Imam Malik membedakan antara bulu dan tulang. Tulang bangkai menurut beliau adalah najis sedangkan bulunya tidak.
Dari Abdullah bin Abbas dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda, “Apabila kulit telah disamak, maka sungguh ia telah suci.”
Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati itu najis sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu.
Bangkai hewan ini dibagi menjadi dua bagian :
Pertama. Bagian jasad yang keras adalah suci. Seperti tulang, gigi, bulu, dan yang sejenisnya. Ini pendapat madzhab Abu Hanifah, dan dikuatkan Syaikhul Islam. Bahkan pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama salaf.
Dalilnya, hadits Ibnu Abbas, “Suatu ketika, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam melewati bangkai seekor kambing. Kemudian beliau bersabda, ‘Tidakkah kalian memanfaatkan kulitnya?’ Jawab mereka, ‘Bukankah ia bangkai?’. Rasulullah bersabda, ‘Sesunggunya yang diharamkan adalah memakannya.’
Kedua. Bagian jasad yang basah. Seperti daging, darah, dan urat adalah najis. Ini merupakan ijma’ para ulama.

2. Bangkai manusia (jenazah)
Bangkai manusia (jenazah) tidak dihukumi najis. Berdasarkan keumumam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, “Sesungguh mukmin itu tidak najis.”

3. Bangkai hewan air, dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir
Madzhab Malik dan sahabat-sahabatnya menganggap bangkai hewan air, dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir adalah suci. Madzhab Syafi’i memandang tidak ada perbedaan antara hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir dengan yang memiliki darah. Keduanya adalah najis. Berbeda dengan bangkai hewan laut, menurut madzhab ini tidak najis. Namun, sesuai dengan yang lain, pendapat madzhab Syafi’i juga menyepakati bahwa bangkai cacing dan ulat tidak najis. Dalam masalah ini madzhab Abu Hanifah menyatakan kesamaan antara bangkai hewan darat dan laut, namun tidak menajiskan bangkai hewan laut.
Pendapat bahwa hewan air tidak najis -dan inilah pendapat yang rajah- dikuatkan dengan pernyataan Imam Thabari, beliau menukilkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa yang dimaksud dengan صَيْدُهُ adalah binatang laut itu diambil dalam keadaan hidup dan طَعَامُهُ adalah binatang itu diambil dalam keadaan mati .
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Laut itu suci air dan halal bangkainya.”
Sedangkan pendapat “tidak najisnya setiap hewan yang tidak memiliki darah yakni darah tidak mengalir ketika hewan itu dibunuh atau terluka seperti lalat belalang kalajengking dan lainnya”, berdalil dengan hadits, “Apabila jatuh lalat dalam bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah ia mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya.”
Imam Ash-Shan`ani Rahimahullah berkata, “Dimaklumi bahwa lalat akan mati apabila jatuh ke dalam air ataupun makanan terlebih lagi apabila makanan dalam keadaan panas, maka seandainya lalat itu menajisi makanan tersebut niscaya makanan tersebut rusak sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk memperbaiki makanan yang ada tidak merusakkannya.”

4. Kulit bangkai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya.”
Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati itu najis sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu.
Adapun hukum memanfaatkan kulit binatang, para ulama menjelaskan, (BIDAYATUL MUJTAHID)……..
Dalilnya, hadits Ibnu Abbas, “Suatu ketika, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wasallam melewati bangkai seekor kambing. Kemudian beliau bersabda, ‘Tidakkah kalian memanfaatkan kulitnya?’ Jawab mereka, ‘Bukankah ia bangkai?’. Rasulullah bersabda, ‘Sesunggunya yang diharamkan adalah memakannya.’

11) Potongan tubuh hewan yang terputus saat masih hidup, kecuali rambut dan yang sejenis dengannya
Dasar najisnya adalah hadits Rasullah, “Setiap yang terputus dari tubuh hewan –dalam kedaan hidup- maka itu adalah najis.”
Tidak ada perselisihan di antara ulama tentang kenajisannya. Yang ada hanyalah bagian potongan tubuh hewan itu saja. Sebagian mengatakan bulu dan kulitnya tidak najis, hanya daging saja. Sedangkan yang lain mengtakatan, bahwa semua yang terpotong dari tubuh hewan yang masih hidup, baik daging, kulit, atau bulunya pun termasuk najis. Ibnu Ruysd dan DR. Wahbah dalam Fiqhul Islamnya menguatkan pendapat pertama. Wallahu a’lam.

12) Daging dan susu hewan yang dilarang memakannya
Menurut kebanyakan ulama, daging hewan yang haram dimakan adalah najis. Berdasarkan hadits Anas, beliau mengatakan, “Kami memakan daging keledai pada waktu Khoibar. Rasulullah pun menyahut kami, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian memakan daging himar (keledai), karena itu adalah rijs (kotor) atau najis.”
Demikian pula dalam hadits Ali bin Abi Thalib, bahwa pada saat perang Khaibar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam melarang melakukan nikah mut'ah, melarang memakan daging keledai jinak (humurul insiyah).
Namun dalam hadits riwayat Muslim lainnya dinyatakan bahwa keledai liar atau humur wahsy adalah halal. Abu Qatadah dari bapaknya Radliallahu 'anhu, ia berkata; “Kami pernah pergi melaksanakan haji bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sebagian sahabat menempuh jalan yang lain, termasuk Abu Qatadah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda, "Tempuhlah jalan pantai hingga kalian menemuiku." Mereka pun kemudian menempuh jalan pesisir pantai. Ketika mereka semua berangkat lebih dulu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, semuanya berihram kecuali Abu Qatadah. Di tengah-tengah perjalanan, tiba-tiba mereka melihat beberapa ekor keledai liar, kemudian Abu Qatadah berhasil menangkap seekor darinya yang betina dan menyembelihnya. Rombongan kemudian berhenti, lalu memakan daging himar tersebut. Kemudian mereka berkata, "Kita telah memakan daging binatang buruan, padahal kita sedang berihram." Lalu sisa daging tersebut mereka bawa. Dan tatkala mereka sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mereka pun berkata, "Wahai Rasulullah, kami tadi telah berihram, sedangkan Abu Qatadah tidak berihram, lalu kami melihat beberapa ekor himar liar, kemudian ditangkap oleh Abu Qatadah, lalu disembelihnya. Kemudian kami berhenti untuk memakan dagingnya. Dan kami pun berkata, 'Kita makan daging hewan buruan, padahal kita sedang ihram.' Maka sisa daging tersebut pun kami bawa." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bertanya: "Apakah ada seorang dari kalian yang telah menyuruh atau memberinya petunjuk (isyarat) terhadap buruan tersebut?" Mereka menjawab, "Tidak ada." Akhirnya beliau pun bersabda: "Kalau begitu, makanlah dagingnya yang masih tersisa."
Dari hadits ini disimpulkan bahwa keledai jinak (humurul insiyah) saja yang tergolong haram. Dan dagingnya pun dihukumi najis. Adapun keledai liar (humur wahsy) adalah halal dan hukum dagingnya pun tidak tergolong najis. Wallohu a’alam
Sedangkan hukum susu binatang tersebut disamakan dengan hukum dagingnya adalah keterangan yang dikuatkan oleh DR. Wahbah Zuhaili dan ulama’ lainnya, “karena susunya adalah sesuatu yang berasal dari daging, sehingga dijadikan hukumnya sama najis.”

13) Khomer
Imam Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Ahmad bin Hambal) sepakat mengatakan bahwa khomer itu adalah najis karena memabukkan. Berdalil pada firman Allah Ta'ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. Al Maidah: 90)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa khomer termasuk rijs yang diartikan sebagai najis. Najis adalah kotor maka harus dijauhi. Atas dasar ini, mereka menetapkan bahwa semua yang memabukkan adalah najis, sebagaimana khomer.
Pendapat mayoritas ulama’ ini juga pernah disampaikan DR. Shalah Shawi, ”Telah terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang najis atau sucinya khomer, sedangkan jumhur ulama berpendapat alkohol itu najis...”
Berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain, seperti; Imam Rabi'ah (guru Imam Malik), Imam Laits bin Sa'd, Al-Muzany (murid Imam Syafi'i) dan selain mereka dari ulama salaf serta sebagian ulama' al-mutaakhkhirun (kontemporer) berpendapat, bahwa khomer adalah suci. Pendapat ini pula yang telah dianggap lebih rojih (kuat) oleh Imam Syaukani, As-Shon'ani, Ahmad Syakir, Utsaimin dan Al-Albani. Pendapat ini mengambil dalil dari perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam membuang air khomer di jalan-jalan umum ketika turun ayat yang mengharamkannya.
Dalil dan alasan pendapat yang menyatakan bahwa khomer atau alkohol adalah bukan najis:
1. Dalam ayat tersebut tidak ada yang menunjukkan najisnya khomer, di mana hal ini ditinjau dari beberapa segi;
a) Makna lafazh rijsun mempunyai banyak makna. Di antaranya; kotoran, sesuatu yang haram, keburukan, adzab, laknat, kekufuran, keburukan, dosa dan najis serta makna yang lainnya.
b) Khomer termaktub dalam ayat berpasangan dengan al-ansab (berjudi), Azlam (mengundi nasib), semua memiliki makna rjis. Namun tidak najis secara Syar'i seperti yang tertera dalam firman Allah Ta’ala, ”Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah najis,” (QS. At-Taubah: 28), hal ini seperti tertera dalam dalil–dalil yang shahih yang memiliki makna bahwa sebenarnya orang-orang musyrik tidak najis.
c) Sesungguhnya pengharaman terhadap khomer tidak menunjukkan hukum najisnya khomer itu sendiri, namun hukum najis yang dimaksud untuk hukum haram pada hal-hal tersebut. Oleh karena itu, diharamkannya mengenakan sutera dan emas untuk orang laki-laki tidak menunjukkan keduanya najis. Sebab keduanya adalah suci baik ditinjau secara syara' dan ijma'.
d) Lafazh rijs termaktub dalam al-qura'an tidak hanya pada satu tempat, ia terdapat pada tiga tempat dan tidak satu pun yang memaknai rijs sebagai sesuatu yang najis.
e) Ar-Rijs yang ada pada ayat tersebut dikaitkan dengan kalimat ”min amalis syaithan” yaitu bentuk amal yang najis, artinya jelek, haram atau dosa, karena hal ini memang hukumnya najis.

2. Di antara dalil yang dijadikan dasar kesucian khomer adalah hadits Anas -Rodhiyallohu ’anhu-, di dalamnya terdapat kalimat; ”….maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan dengan berseru, 'Bukankah khomer telah diharamkan.?' Ia berkata, ”Maka aku pun mengeluarkan dan menumpahkannya sampai berceceran di jalan-jalan Madinah.”
3. Hukum asal dari khomer adalah suci dan tidak ada perubahan dari kesucian itu melainkan dengan perubahan yang benar, serta belum ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Dengan demikian hal ini tetap pada hukum asalnya.
4. Jika khomer itu najis, pasti Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk menyiram dengan air pada tanah itu guna mensucikannya. Sebagaimana Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk menyiram air seni seorang Badui, dan juga Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam pasti memerintahkan untuk senantiasa berhati-hati dan menjaga darinya.
Pendapat yang benar
Yang benar bahwa makna kata najis di atas bukanlah najis secara hakiki, tetapi najis secara maknawi (najis pada makna di dalamnya). Sehingga, jika mengenai pakaian, pakaian tersebut tidak harus dicuci. Diartikan demikian karena judi, berhala, undian pada ayat tersebut tidaklah dikatakan najis secara hakiki. Maka alkohol (khomer) boleh disentuh (tidak najis), sebagaimana juga berhala dan lainnya. Bahkan terdapat dalil tentang sucinya alkohol dalam hadits dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri -Rodhiyallohu ’anhu-, bahwa ketika ayat pelarangan khomer itu turun, para sahabat menumpahkan khomer-khomer mereka di jalan-jalan kota Madinah (HR. Muslim)
Sekalipun Imam Madzhab yang empat sepakat mengatakan bahwa alkohol itu adalah najis, akan tetapi ada riwayat-riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam pernah menggunakan hal-hal yang najis, seperti :
a. Maimunah binti Harits Al-Hilaliyah -Rodhiyallohu ’anha- mengemukakan hadits Dabghul Ihab (menyamak kulit), yakni perintah Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam agar menyamak kulit bangkai kambing dan memanfaatkannya.
b. Hadits Abu Hurairah -Rodhiyallohu ’anhu- tentang perintah menenggelamkan lalat atau bangkai lalat yang masuk dalam air minum.
c. HR. Ibnu Kuwaiz Mandad, bahwa seseorang bertanya pada Nabi perihal pemanfaatan bulu babi hutan untuk keperluan jahit-menjahit, dan Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam berkata tidak apa-apa.
Hal ini dikuatkan oleh pendapatnya Syaikh Al-Albani yang mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu isyarat tentang sucinya khomer sekalipun haram hukumnya. Sebab seandainya khomer tidak suci, tentu para sahabat tidak akan menuangkannya di jalan-jalan dan tempat lewat banyak orang, tetapi mereka akan membuangnya ke tempat yang jauh sebagaimana layaknya barang-barang najis lainnya.”
Dari kaidah fiqhiyyah dapat juga dibuktikan bahwa alkohol tidaklah najis. Sebagaimana Syaikh Ibnu ’Utsaimin juga mengatakan, “Tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya zat khomer. Dan jika tidak ada dalil yang menunjukan demikian maka zat khomer adalah suci karena (kaidah mengatakan) asal segala sesuatu adalah suci dan tidak setiap yang haram itu najis, sebagaimana racun itu haram namun tidak najis.”
Jika telah jelas bahwa zat alkohol tidaklah najis, maka tidaklah wajib untuk mencuci sesuatu yang terkena alkohol.” Wallohu a’lam.


14) Air Quruh (bisul yang memburuk, penyakit cacar)

15) Yang keluar dari mulut manusia saat tidur
16) Muntah
Sebagian ulama memandang muntah manusia najis baik orang dewasa atau anak-anak kecuali hanya sedikit, maka hal itu dimaafkan (tidak najis).
Dalam Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq maupun dalam Al-Majmu karya Imam Nawawi, atau kitab fikih lainnya menyebutkan bahwa muntah itu najis dan menjadi kesepakatan para ulama. Namun tidak disebutkan dalil yang menunjukan dalil najisnya muntah. Sehingga oleh sebagian ahli fikih kontemporer semisal Syeikh Al-Albany, Syaikh Kamil Uwaidah berpendapat bahwa muntah itu suci karena tidak ada dalil yang menunjukan kenajisannya.
Dalil ulama yang mengatakan najisnya muntah adalah hadits Ammar, Rasulullah bersabda, “Cucilah bajumu yang terkena air kencing, tahi, muntah, darah dan mani.” Namun derajat hadits ini dho’if dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Dalil shohih yang dijadikan hujjah adalah hadits Abu Darda’, “Suatu ketika Nabi muntah, maka beliau berbuka dan berwudhu.”
Abu Malik Kamal menjelaskan, “Hadits ini tidak menunjukkan kenajisan muntah. Tidak pula menunjukkan wajibnya wudhu karena muntah itu, dan membatalkan wudhu. Hanyasanya hadits dipahami untuk anjuran berwudhu setelah muntah. Karena perbuatan yang semata-mata dilakukan Nabi tidal semua menunjukkan hukumnya wajib. Lagi pula tidaklah setiap yang membatalkan wudhu (buang angin misalnya) dihitung najis. Demikianlah madzhabnya Ibnu Hazm dan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawanya.”

4. Kadar yang Dimaafkan Kenajisannya
Dalam Mudzakarotu Fiqh milik Syaikh Utsaimin, disebutkan enam macam bentuk najis yang dimaafkan.
Pertama. Sedikit darah yang keluar dari selain dua lubang. Adapun darah binatang seperti anjing dan binatang najis lainnya, sedikit dan banyaknya sama saja dihukumi najis.
Adapun ukuran sedikit menurut ulama adalah sebagai berikut; 1) kembali kepada urf dan adat (kebiasaan) masyarakat. 2) kembali kepada pribadi masing-masing. Yang benar adalah pendapat pertama. Karena manusia berbeda-beda, sebagian meremehkan dan sebagian lagi berlebihan. Maka, yang lebih adil dan benar adalah yang pertama.
Kedua. Madzi dan air kencing yang terus menerus keluar setelah menjaganya dengan sebaik mungkin.
Ketiga. Sedikit muntahan. Menurut Syaikh muntah adalah cairan najis. Namun sebagaimana yang saya bahas di awal, muntah menurut pendapat yang rojih adalah tidak najis.
Keempat. Sedikit air kencing dan kotoran keledai jinak dan bighol.
Kelima. Sedikit air kencing khofasy.
Keenam. Semua benda najis yang sedikit. Hal ini dikuatkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dengan dasar, bahwa din ini adalah mudah.

5. Cara menghilangkan Najis

Reference dari : Shohih Fiqhus Sunnah, Al-Mulakhos, Qoulur Rojih Ma’ad dalil, Fiqhul Islam dll…..
Mencuci dari najis
من أصابته نجاسة في ثوبه أو بدنه و جهل موضعها يجب غسله كله
Alasybah wan nazhoir syafiif (1/145)

Bab 5, belum sempat disempurnkan.. masih proses.. Afwan....

..Anshor... SOLO