Kamis, 06 Januari 2011

Sikap Terhadap Konsep Emansipasai

Mari kita meluruskan konsep emansipasi wanita yang ada di banyak benak manusia saat ini. Ada beberapa hal yang perlu di realisasikan:

Pertama, memformat dan menyuara ulang konsep emansipasi wanita. Karena bila salah dalam menafsirkan kebebasan, akan berakibat kebablasan.

Perlu diingat, bahwa konsep emansipasi gagasan seorang Ibu Indonesia bernama Ibu Kartini sangat bertolak belakang dengan konsep emansipasi kaum feminis.
Dalam Declaration of Feminism (1971), disebutkan, ”The end of the institution of marriage is a necessary condition for the liberation of women.” Dari deklarasi tersebut, kaum feminis menganggap institusi pernikahan sebagai The Frakenstein Monster, yang harus diperangi demi kebebasan perempuan.

Selain itu, Robin Morgan, Editor Ms. Magazine (majalah kebangsaan kaum feminis), mengatakan bahwa pernikahan hanya akan menghambat kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Bahkan Sheila Cronin, tokoh terkemuka kaum feminis menganggap pernikahan tak ubah sebagai praktik perbudakan terhadap perempuan.

Kedua, memberikan pemahaman bahwa gerakan feminisme yang menyuarakan emansipasi dan kesamaan gender adalah kontraproduktif.

Inilah Kontraproduktif Feminisme
Jika di negara-negara Islam para penyeru gerakan feminisme amat antusias mempropagandakan feminisme dan gender, di negara Barat sinyal gerakan ini justru semakin meredup, karena sudah terasa dampak negatif yang ditimbulkan dari gerakan ini di lapangan kehidupan.

Di balik kemajuan partisipasi angkatan kerja wanita di dunia maskulin, tidak sedikit dari kalangan cendekiawan Barat yang mengkritik bahwa kondisi wanita bukan menjadi lebih baik, melainkan menjadi memburuk.

Dalam buku A Lesser Life: The Myth of Womens Liberation America (1986), Sylvia Hewlett mengulas dengan rinci kondisi wanita yang menyedihkan karena adanya gerakan feminisme. Istilah feminization of poverty (pemiskinan wanita) semakin terdengar pada pertengahan tahun 1980-an.

Bahkan, Miles Markjanli, penulis Amerika kenamaan, menyuarakan dengan lantang agar kaum hawa kembali ke rumah. Dalam makalah berjudul ‘Rumah Kerajaan Perempuan Tanpa Sengketa’ ia menulis, “Aku selalu berupaya meyakinkan para perempuan bahwa mereka lebih berhak untuk berlaku sebagai pendidik di rumah.”

Ketiga, gerakan penyadaran sedini mungkin terhadap generasi laki-laki muda akan hakikat emansipasi wanita. Sejak dini, kaum mudi sudah harus dikenalkan dan diberi penjelasan terhadap batasan-batasan kebebasan dan hak mutlak yang harus dimiliki oleh wanita. Sehingga, cara ini akan mampu memfilter kaum mudi dari kebebasan tanpa arti, sekaligus menyelamatkan kaum mudi dari pengaruh kebebasan dalam lingkup kebablasan”.

Keempat, menanamkan prinsip bahwa wanita tidak akan pernah sama dengan pria. Kesadaran wanita akan kodrat, akan mampu mengurangi resiko sebuah persaingan tanpa batas antara pria dan wanita dalam memenuhi peran dan menjalankan pelbagai aktivitas. Memang, sudah hukum alam peranan kaum perempuan tidak bisa disamakan dengan kaum laki-laki.

-anshor/07012011-