Sabtu, 16 Oktober 2010

Apakah hukum memanfaatkan benda najis dan haram secara umum dan menjadikan benda najis sebagai obat ?

Mengenai permasalahan ini para fuqoha’ telah sepakat tentang tidak bolehnya seseorang berobat dengan sesuatu yang haram dan najis secara global. Karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan." (HR. Bukhari dan Baihaqi, dan dishohihkan Ibnu Hibban)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda pula, "Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Dawud)
Para ’ulama mazdahib berbeda pendapat di dalam menentukan status hukum berobat dengan sesuatu yang najis. madzhab Hanafi mensyaratkan pembolehannya jika diketahui dengan jelas di dalamnya ada syifa' (kesembuhan), dan tidak ditemukan obat yang lain. Mereka berpendapat bahwa ’berobat dengan yang haram hukumnya haram’ ini tidak berlaku secara mutlak. Dan bahwasannya tidak diperbolehkan berobat dengan yang haram jika tidak diketahui di dalamnnya akan mendatangkan kesembuhan.
Madzhab Maliki lebih mengglobalkan keharamannnya dan berlaku pada setiap najis dan sesuatu yang haram. Baik itu khomer, bangkai, atau sesuatu yang diharamkan Allah. Baik cara pengobatannya dengan jalan meminumkannya, atau dengan mengusap pada tubuh, baik dengan cara merubahnya, atau mencampurnya dengan obat yang lain. Dan hanya diperbolehkan dalam satu kondisi saja, yaitu ketika dikhawatirkan akan menyebabkan kematian jika tidak mengkomsumsinya (darurat).
Adapun menurut madzhab Syafi'i hukumnya haram menggunakan sesuatu yang haram dan najis dalam pengobatan. Akan tetapi jika dicampur dengan obat yang lain maka diperbolehkan berobat dengannya dengan dua syarat; hendaknya orang yang mencampurnya paham ilmu pengobatan meskipun dia termasuk orang fasik, dan obat ini harus dibedakan jenisnya. Menurut madzhab ini diperbolehkan berobat dengan sesuatu yang najis dan haram untuk mempercepat kesembuhan dengan syarat yang sudah ditetapkan.
Sedangkan menurut madzhab Hambali, bahwa setiap sesuatu yang menjijikkan dikategorikan najis dan haram untuk dikonsumsi. Seperti air kencing hewan yang dagingnya boleh dimakan atau yang selainnya. Kecuali air kencingnya onta, diperbolehkan untuk berobat dengannya. Diperbolehkan pula berobat dengan sesuatu yang beracun jika kemungkinan besar akan mendatangkan keselamatan, yaitu yang jelas manfaatnya. Sehingga diperbolehkannya untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar darinya. Diperbolehkan pula menurut madzhab ini berobat dengan sesuatu yang haram dan najis jika tidak dimakan atau diminum.
Imam Nawawi, beliau menambahkan dengan menukil pendapat pengikut madzhab syafii bahwa diperbolehkan berobat dengan sesuatu yang najis, ”Jika tidak ditemukan sesuatu yang thohir (suci) yang menggantikan kedudukannya. Jika ditemukan sesuatu yang thohir yang mampu menggantikan fungsinya, maka menggunakan sesuatu yang najis untuk pengobatan maka hukumnya haram. Berdasarkan kepada sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam, ”Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak menjadikan kesembuhan kalian pada sesuatu yang diharamkan kepada kalian."
Di dalam hadits ini disimpulkan bahwa haram berobat dengan sesuatu yang najis ketika ada sesuatu yang lain yang mampu menggantikan kedudukannya. Dan keharaman ini tidak berlaku jika tidak ditemukan sesuatu yang lain yang menggantikan kedudukannya.
Dalam masalah ini para ’ulama memang berbeda pendapat. Ada pendapat yang mengharamkan, membolehkannya, membolehkan dalam keadaan darurat dan ada pula yang memakruhkannya.
An-Nabhani, beliau telah menjelaskan kemakruhannya, dengan jalan mengkompromikan dua kelompok hadits yang nampak bertentangan/kontradiktif (ta’arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi, ada hadits-hadits yang melarang berobat dengan yang haram dan najis, misalnya hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan." (HR. Bukhari dan Baihaqi, dan dishohihkan Ibnu Hibban)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda pula, "Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Dawud)
Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram. Misalnya hadits bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam membolehkan berobat dengan meminum air kencing onta. Diriwayatkan oleh Qatadah dari Anas -Rodhiyallohu ’anhu-, ada satu rombongan dari dari suku ‘Ukl dan ‘Uraynah yang mendatangi Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam dan berbincang seputar agama Islam. Lalu mereka terkena penyakit perut. Kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan mereka untuk mencari gerombolan onta dan meminum air susu dan air kencingnya. (HR. Muslim)
Dalam hadits lain dari Anas -Rodhiyallohu ’anhu-, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair dan Abdurrahman bin Auf -Rodhiyallohu ’anhuma- untuk memakai kain sutera karena menderita penyakit gatal-gatal. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits membolehkan berobat dengan benda yang haram (dipakai), sebabnya adalah bahwa sutera haram dipakai oleh laki-laki. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengkompromikan (men-jama’) keduanya. Menurut beliau, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam untuk tidak berobat dengan yang haram “janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram” tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan perbuatan (thalab tarki fi’lin). Dalam hal ini, tuntutan yang ada adalah agar tidak berobat dengan yang haram. Lalu, tuntutan ini apakah akan bersifat tegas (jazim), sehingga hukumnya haram atau tidak tegas (ghairu jazim), sehingga hukumnya makruh, masih membutuhkan dalil lain (qarinah) yang menunjukkan sifat tuntutan tersebut. Dua hadits di atas yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, oleh An-Nabhani dijadikan qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya, tuntutan tersebut adalah tuntutan yang tidak tegas, sehingga hukum syara’ yang dihasilkan adalah makruh, bukan haram.
Maka yang benar adalah menggunakan benda najis sebagai obat adalah diperbolehkan jika tidak ada lagi obat yang lain. Dengan dasar hadits-hadits yang telah lalu. Atau hukumnya adalah makruh sebagaimana yang disimpulkan dari cara penggabungan dua dalil yang bertentangan oleh An-Nabhani. Wallohu a’lam

Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an, hal: 168
Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/110
www.ahlalhdeeth.com
Al-Majmu' Syarhul Muhadzzab

SEMOGA BERMANFAAT.. Allohumma taqobbal,,

1 komentar:

  1. Masalahnya hari ini di hospital, semua ubatannya haram dan disebabkan itulah tiada penyakit yang sembuh. Yang ada hanyalah kesembuhan sementara yang mana pada segi dalamannya menerukkan fungsi organ..
    marilah kita bersatu berubat dengan tunbuh-tumbuhan kerana tiada satu tumbuhan pun yang Allah haramkan ke atas kita..(yang saya tahu)

    BalasHapus